JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian menyeluruh atas korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah mendesak dilakukan mengingat penangkapan terhadap kepala daerah yang terlibat korupsi tidak akan pernah berhenti sebelum masalah utamanya diatasi. Mekanisme pemilihan bakal calon kepala daerah untuk diusung partai politik dalam pemilihan kepala daerah yang bersifat transaksional pun berkontribusi memicu korupsi kepala daerah.
Sejak berdiri tahun 2004 hingga 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menangkap 80 kepala daerah, baik bupati/wakil bupati maupun gubernur/wakil gubernur. Semua kepala daerah ditangkap melalui operasi tangkap tangan KPK ataupun pengembangan kasus korupsi. Modus korupsi kepala daerah tersebut beragam, mulai dari jual-beli jabatan, jual-beli perizinan pengelolaan sumber daya alam, hingga menyelewengkan dana kapitasi BPJS Kesehatan seperti yang dilakukan Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono S Wihandoko.
Adapun penangkapan Bupati Ngada, sekaligus bakal calon gubernur Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae, Minggu (11/2), terkait suap proyek jalan di Nusa Tenggara Timur.
Setelah menangkap dua kepala daerah peserta pilkada serentak 2018, KPK menangkap Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih, di rumah dinasnya di Subang, Selasa (13/2) malam.
Imas ditangkap atas dugaan menerima suap terkait perizinan pembangunan pabrik oleh dua perusahaan, yaitu PT ASP dan PT PBM. Sejumlah orang dekat Imas diduga mengumpulkan komisi untuk bupati Rp 1,5 miliar.
”Sebagian uang yang diterima diduga dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye bupati,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Bagi Kabupaten Subang, penangkapan ini ironis karena bupati sebelumnya, Ojang Sohandi, juga ditangkap KPK tahun 2016. Ojang ditangkap karena menyuap jaksa dalam kasus korupsi dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk Kabupaten Subang tahun 2014. Imas sebelumnya adalah Wakil Bupati Subang dan dilantik menggantikan Ojang, yang divonis 8 tahun penjara.
Sementara itu, hingga Rabu malam, KPK telah menangkap 14 orang yang terdiri dari anggota DPRD Lampung Tengah, pejabat Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah, dan pihak swasta.
Penanganan menyeluruh
Penanganan menyeluruh perlu dilakukan untuk mengatasi korupsi kepala daerah. Pasalnya, semua kepala daerah yang ditangkap KPK adalah hasil perhelatan pilkada.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, mengatakan, penangkapan kepala daerah ini membuktikan telah terjadi politik transaksional dalam pilkada. Mekanisme pemilihan langsung kepala daerah ternyata bukan hanya menjadi ajang sirkulasi elite, melainkan juga menjadi wadah sirkulasi para koruptor.
”Mahar politik yang semakin tinggi serta biaya politik pilkada yang semakin mahal mendorong para kepala daerah melakukan korupsi,” ujarnya.
Ini juga membuktikan demokrasi belum dinikmati rakyat. ”Demokrasi masih sangat prosedural dan baru dinikmati secara terbatas oleh para operator konflik, politisi koruptor, kaum radikalis agama, dan pebisnis hitam,” kata Syamsuddin.
Secara terpisah, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, biaya politik tinggi, terutama untuk didukung parpol dalam pilkada, membuat kepala daerah berupaya mengembalikan modalnya dalam pilkada. Ada yang melalui obral izin pengelolaan sumber daya alam, bagi-bagi proyek, sampai memungut dana lainnya.
”Parpol harus menghentikan politik transaksional dan mengajukan calon kepala daerah atas dasar merit system, bukan atas dasar kemampuan membayar mahar yang mahal,” ujarnya.
Pemiskinan koruptor
Penangkapan beruntun tiga bupati menunjukkan upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan lebih tegas lagi. Tindakan hukum di luar pidana penjara, seperti perampasan harta sampai pemiskinan koruptor, mendesak dilakukan. Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi perlu mengatur hal ini.
”Mereka yang terbukti korupsi harus dimiskinkan, dijatuhi hukuman pelayanan sosial, tidak diberi remisi, dan dicabut hak politiknya secara permanen,” tutur Azyumardi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, dari kacamata kriminologi, keuntungan dari suatu kejahatan harus ditiadakan sehingga orang berpikir dua kali untuk melakukannya. Sebagai contoh, hasil korupsi harus dirampas dan dikembalikan kepada negara. (REK/IKI/SEM/RWN/IAN)