JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan pemerintah terkait energi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 79 Tahun 2015, masih bersifat diskriminatif terhadap energi baru dan terbarukan. Padahal dalam Undang-Undang Nomer 30 Tahun 2017 tentang Energi disebutkan bahwa semua jenis energi sama derajatnya dan tidak boleh ada diskriminasi.
Hal ini disampaikan Arya Rezavidi, Wakil Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Rabu (14/2), di Jakarta. Ketimpangan ini, lanjutnya, terlihat pada dana riset dan investasi untuk pemanfaatannya.
Semua jenis energi harus mendapat perlakuan sama dan pemanfaatannya harus berdasarkan nilai keekonomiannya. Jadi pilihan menggunakan atau tidak satu jenis energi harus berdasarkan prioritas nilai keekonomian dan berdasarkan pertimbangan dampaknya terhadap lingkungan.
“Kalau belum apa-apa didiskriminasi dengan menyebut sebagai opsi terakhir dan memberi persentase yang minim pada penggunaan energi baru dan terbarukan adalah salah secara hukum,” kata Arya yang juga Ahli Perekayasa Utama Bidang Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Diskriminasi terhadap Energi Terbarukan, lanjut Arya, antara lain terlihat pada harga jual pembangkitan listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang dipatok oleh PLN sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) setempat. Padahal biaya tersebut dihitung dari BPP pembangkit listrik PLN yang kebanyakan bersumber dari bahan bakar fosil.
“Jadi artinya pembangkit fosil harganya boleh naik atau turun, sedang EBT harus selalu di bawah fosil,” kata Arya.
Akibat kebijakan ini banyak developer pembangkit EBT kesulitan mencari pinjaman bank karena proyeknya dianggap tidak fisibel. Saat ini EBT umumnya masih dalam tahap pengembangan untuk meningkatkan efisiensi dan daya pembangkitannya.
Sementara itu dari aspek dana riset juga relatif minim karena tidak diprioritaskan penelitian dan pengembangannya. “Padahal EBT memiliki banyak kelebihan, yaitu jumlahnya yang melimpah di Indonesia dan bersifat terbarukan dan ramah lingkungan,” ujar Arya yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).
Energi nuklir
Sementara itu, Kurtubi, pakar energi yang juga anggota Komisi VII DPR yang membidangi masalah energi, sumberdaya mineral, riset iptek, dan lingkungan hidup, menyoroti diskriminasi pada peraturan pemerintah terkait energi nuklir.
“Pencantuman kata ‘nuklir sebagai pilihan terakhir’ pada PP Nomer 79 Tahun 2015 menunjukkan adanya diskriminasi terhadap sumberdaya energi nuklir,” ujarnya.
Karena itu, lanjutnya, Komisi VII DPR meminta pemerintah merevisi PP tentang Kebijakan Energi Nasional tersebut yang menempatkan PLTN sebagai opsi terakhir. Revisi bukan hanya PP tersebut, tapi juga regulasi turunannya baik itu berbentuk peraturan presiden atau peraturan menteri yang sifatnya menempatkan PLTN sebagai opsi terakhir. “Selama ini peraturan ini menjadi salah satu barikade untuk membangun PLTN di Indonesia,” ucap Kurtubi.
Teknologi PLTN generasi IV High Temperature Gas Cooled Reactor yang akan diterapkan BATAN sebagai Reaktor Daya Mini di Puspiptek Serpong Tangerang Selatan, Banten.
Menurut Kurtubi PLTN amat diperlukan untuk periode yang akan datang. DPR akan perjuangkan agar listrik bisa mendukung industrisasi di Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bangsa ini.
Nuklir perlu mendukung pembangkitan listrik karena berkapasitas besar, energinya bersih, nyaris tanpa emisi karbon. Teknologi maupun perkembangan sistemnya sudah sedemikian maju. Hal yang ditakuti masyarakat tentang radiasi dan segala macam dari pengalaman Fukushima (Jepang) ini sudah dapat di atasi lewat perkembangan teknologi maupun sistem pengamanannya. Jadi rakyat tidak perlu takut berlebihan tentang PLTN ini.
Indonesia memang termasuk ring of fire dalam jajaran gunung api dan di daerah pertemuan lempeng dunia yang rawan gempa. Namun teknologi PLTN sudah membuktikan keandalannya dilanda gempa besar.
“Kita perlu memberikan gambaran secara proporsional dan benar kepada masyarakat tentang PLTN,” ujarnya.
Beberapa minggu lalu Komisi VII DPR, lanjut Kurtubi, telah mengeluarkan keputusan politik agar PLTN segera masuk dalam sistem kelistrikan nasional. DPR mendorong percepatan pembangunan PLTN. Lokasi yang sudah ada studi tapak seperti di Semenanjung Muria maupun Bangka Belitung menjadi prioritas untuk dibikin roadmapnya.
DPR juga mendorong Batan untuk melakukan studi tapak atau studi kelayakan di daerah yang potensial untuk dibangun PLTN, antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat yang memerlukan listrik dalam jumlah relatif besar untuk pembangunan kota industri, smelter, dan industri hilir.
“Kami menginginkan agar NTB sebagai daerah tujuan wisata agar udara tetap bersih, nuklir harus masuk,” kata Kurtubi.
Dia mengatakan, pembangunan prototipe PLTN akan didukung pendanaanya dari APBN. Nanti kalau sudah terealisasi tentunya ada investor yang diundang untuk pengembangannya. PLN tentunya harus memberikan dana investasi, urai Kurtubi.