AMBON, KOMPAS — Provinsi Maluku kini memiliki lima pusat kegiatan keagamaan yang berbeda. Lima pusat kegiatan itu sengaja disediakan untuk menjadikan wilayah ini sebagai laboratorium kerukunan beragama. Dua gedung yang dibangun sebagai pusat kegiatan keagamaan itu diresmikan Presiden Joko Widodo, Rabu (14/2).
Peresmian dilakukan dengan penandatanganan prasasti di Bandara Pattimura, Kota Ambon. Setelah membubuhkan tanda tangan, Presiden menyampaikan pesan damai kepada unsur-unsur pimpinan daerah.
”Kepada saya, Panglima Kodam, dan Kepala Polda untuk menjaga stabilitas keamanan,” kata Gubernur Maluku Said Assagaff seusai peresmian prasasti.
Di tempat yang sama, Presiden menceritakan konflik puluhan tahun yang melanda Afghanistan. Karena itu, negara kita harus kuat, tidak boleh ada ”perkelahian” sedikit pun di Indonesia.
”Mari kita rawat kerukunan ini dengan baik,” kata Presiden kepada Said, Panglima Kodam Pattimura Mayor Jenderal Suko Pranoto, dan Kepala Polda Inspektur Jenderal Deden Juhara.
Said menjelaskan, peresmian pusat kegiatan Hindu dan Buddha itu sengaja dilakukan di Bandara Pattimura. Said tidak ingin membeda-bedakan perlakuan di mana pusat kegiatan keagamaan sebelumnya diresmikan Presiden di tempat yang sama. Lima pusat kegiatan keagamaan yang sudah ada di Maluku adalah Islamic Center, Protestan Center, Katolik Center, Hindu Center, dan Buddha Center.
Hindu dan Buddha Center merupakan pusat kegiatan keagamaan terakhir yang diresmikan melengkapi gedung serupa yang sudah ada sebelumnya.
Hindu Center berada di daerah perbukitan di Kota Ambon pada lahan seluas 800 meter persegi dengan luas bangunan 540 meter persegi. Bangunan ini terdiri atas tiga lantai dengan struktur beton dan rangka baja. Bangunan untuk kantor dan gedung pertemuan ini dibuat dengan dana Rp 12,89 miliar.
Sementara Buddha Center juga berada di daerah perbukitan yang dibangun di lahan seluas 2.000 meter persegi dengan luas bangunan 400 meter persegi.
Bangunan tiga lantai dibangun dengan beton, rangka baja ringan, dan atap enamel. Dana yang dikeluarkan untuk bangunan pusat kegiatan itu mencapai Rp 9,45 miliar.
Menurut Said, Pemprov Maluku menginginkan wilayahnya menjadi laboratorium kerukunan beragama di Indonesia. Sarana kegiatan yang dibangun dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu diyakini baru ada di Maluku.
Said menyadari komunitas pemeluk Hindu dan Buddha di Maluku umumnya tidak terlalu besar. Namun, hal itu tidak menjadi alasan untuk membangun pusat kegiatan keagamaan untuk pemeluknya. Maluku, kata Said, ingin menjadikan rumah bagi semua pemeluk agama. ”Kami ingin menjadi satu kesatuan, bineka tunggal ika,” kata Said.
Setelah pusat kegiatan keagamaan, Pemprov Maluku berencana membangun perkampungan multietnis. Perkampungan ini akan menjadi tempat tinggal warga dari beberapa pemeluk agama. Kawasan permukiman di kampung itu pun dilengkapi dengan tempat ibadah bagi setiap pemeluknya.
”Tahun ini juga akan saya siapkan lahan untuk perkampungan itu. Semua agama tinggal di perkampungan itu. Luasnya mungkin sekitar 8 hektar. Kami ingin membuat percontohan. Pemeluk agama dan etnis yang berbeda tinggal di situ,” kata Said.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Agama menjanjikan akan membangun tempat ibadah yang diperlukan. Sementara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berencana membangun permukiman warga. Permukiman seperti ini, kata Said, penting untuk mengikis segregasi karena konflik antarkomunitas dua dekade sebelumnya.
Mantan pekerja kemanusiaan saat konflik Ambon, Josef A Ufi, mengatakan, selain membangun simbol keagamaan berupa pusat kegiatan keagamaan, pemerintah juga perlu menciptakan ruang perjumpaan lintas agama di Maluku. Pasalnya, pola permukiman yang masih tersegregasi berdasarkan agama menutup ruang bagi warga berinteraksi.
Ruang perjumpaan tersebut, misalnya, untuk acara kecil-kecilan di perbatasan permukiman dengan melibatkan warga setempat. ”Libatkan pemuda dan beri mereka peran. Dengan sering bertemu, akan tumbuh rasa saling percaya,” ujarnya.