PAM Jaya Pastikan Air Kembali ke Pemerintah
Jakarta, Kompas - PAM Jaya memastikan pengelolaan air minum di DKI Jakarta dikembalikan kepada pemerintah. Langkah ini lebih memungkinkan ketimbang membentuk perusahaan publik guna mengelola urusan tersebut.
“Di Jakarta (sudah) ada PDAM sebelum ada swasta (PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya). Ngapain juga bikin perusahaan baru,” ujar Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, Rabu (14/2).
Erlan mengatakan itu dalam konteks tindak lanjut hasil pertemuan dan berbagi pengalaman remunisipalisasi pengelolaan air minum dari perusahaan swasta ke layanan publik milik pemerintah di Paris, pekan lalu.
Remunisipalisasi atau pengembalian layanan air dari perusahaan swasta ke sektor publik merupakan tren yang berkembang menyusul kegagalan swasta dalam menyediakan layanan publik dan mulai dijalankan di Paris, Dar es Salaam (Tanzania), Buenos Aires (Argentina), Hamilton (Kanada), dan sejumlah kota di Malaysia.
Resturkturisasi pengelolaan air bersih yang dilakukan di Jakarta, menurut Erlan, memiliki kemiripan dengan konsep remunisipalisasi. Tujuannya juga relatif serupa, yakni mengembalikan pengelolaan air minum ke pemerintah.
Saat ini, pengelolaan air minum di Jakarta masih dijalankan PAM Jaya bersama dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya berdasarkan perjanjian kerja sama sejak tahun 1998. Kontrak itu di antaranya berisikan hak bagi Aetra untuk mendistribusikan air bersih di timur Jakarta dan Palyja di bagian barat Jakarta hingga tahun 2023 mendatang.
Pada 2012, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2012 terkait hal tersebut. Mahkamah Agung pada 2017, memerintahkan penghentian kebijakan swastanisasi atau privatisasi air tersebut. Ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi, 18 Februari 2015 yang membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air 7/2004 sebagai dasar privatisasi. Selain itu, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret 2015 menyatakan pembatalan kontrak dengan PT Palyja dan PT Aetra.
Atas putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut Erlan yang menyitir pendapat Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno, justru memperkuat langkah untuk mengembalikan layanan itu ke tangan pemerintah. Namun ia kembali menegaskan, opsi yang dipilih ialah dengan melakukan restrukturisasi, alih-alih menghentikan kontrak tersebut sebelum 2023.
Restrukturisasi yang kesepakatannya ditandatangani pada 25 September lalu ditargetkan terpenuhi secara final dalam waktu enam bulan setelah ditandatangani, atau pada Maret mendatang. Di dalamnya berisikan sejumlah hal terkait pengembalian sejumlah kebijakan dan layanan publik kepada PAM Jaya, seperti urusan terkait layanan pelanggan dan penagihan pelanggan. Hingga saat ini, hal-hal yang dimintakan itu belum kembali. ”Itu akan kembali dalam waktu segera,” ujar Erlan.
Kegagalan Swasta
Pekan lalu, Anne Le Strat, konsultan pengelola pasokan air perkotaan yang juga mantan Wakil Wali Kota Paris dan bekas Presiden Eau de Paris, perusahaan publik yang mengelola pasokan air di Paris, mengatakan, proses transisi dari perusahaan swasta ke sektor publik mesti diawali dengan keputusan politik. Setelah itu diikuti dengan pendekatan pada para pekerja bakal perusahaan publik untuk memahami konsep dan cara kerja perusahaan publik pengelola air.
Menurut Anne, perusahaan publik pengelola air tidak menerima subsidi dari pemerintah. Selain itu juga tidak membagikan dividen kepada pemegang saham, karena publik sebagai pemilik badan usaha tersebut.
Seluruh pendapatan dipakai untuk operasional dan investasi guna peningkatan layanan serta jaringan distribusi. Ia mengatakan, perusahaan publik pengelola air merupakan solusi menyusul tidak efisiennya perusahaan-perusahaan swasta dalam mengelola pasokan air di Paris sebelum Eau de Paris beroperasi pada 1 Januari 2010.
“(Operasional perusahaan) swasta adalah pembagian dividen (pada pemegang saham). Ini akan berdampak negatif pada layanan (bagi masyarakat), karena pemegang saham swasta selalu meminta kenaikan dividen,” sebut Anne ihwal privatisasi air di Paris yang dimulai pada Desember 1984 hingga Desember 2009. Eau de Paris berhasil menyelamatkan dana sekitar 35 juta Euro bagi Kota Paris dan menurunkan tarif hingga 8 persen dibandingkan tahun 2009.
David Boys, Wakil Sekretaris Jenderal Public Service International yang turut dalam pertemuan itu, mengatakan, privatisasi pengelolaan layanan publik adalah model 30 tahun lalu yang kini terbukti gagal dan bahkan sebagian di antaranya bankrut. “Karena terlalu mahal, sebab sektor swasta selalu minta lebih sebagai imbalan,” sebutnya.
Sementara Satoko Kishimoto yang mewakili Transnational Institute menambahkan, warga bisa turut dalam gerakan ienternasional menuntut keadilan pengelolaan air sebagai kebutuhan dasar. Salah satunya lewat gerakan “water justice” untuk turut mengetahui kejadian serupa di negara lain dan saling membantu mewujudkan akses universal terhadap air.