Revisi UU MD3 Hambat Pemberantasan Korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dinilai berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, dalam revisi itu ada pasal yang menyatakan penegak hukum yang akan meminta keterangan anggota DPR terkait kasus hukum harus mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
”Revisi UU MD3 itu bisa menghambat proses penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Fariz Fachryan, Rabu (14/2), di Yogyakarta.
Pasal yang dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi itu adalah Pasal 245 yang menyatakan bahwa penegak hukum yang ingin meminta keterangan anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden setelah melalui pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Fariz menyatakan, pasal itu bisa dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-XII/2014. Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum tidak membutuhkan persetujuan tertulis dari MKD, tetapi hanya perlu mendapat persetujuan tertulis dari presiden.
Pasal yang dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi itu adalah Pasal 245 yang menyatakan bahwa penegak hukum yang ingin meminta keterangan anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden setelah melalui pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
”Aturan soal ini, kan, sebenarnya sudah dibatalkan oleh MK, tetapi kemudian dihidupkan kembali. Oleh karena itu, saya menganggap proses legislasi yang terjadi di DPR berjalan mundur,” ujar Fariz.
Fariz menambahkan, keberadaan aturan tersebut bisa dianggap sebagai upaya untuk menghambat proses penegakan hukum, terutama terkait kasus tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, Pukat FH UGM menyatakan menolak hasil revisi UU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR dan pemerintah itu.
Peneliti Pukat FH UGM, Zaenurrohman, mengatakan, revisi UU MD3 itu juga akan mengganggu iklim demokrasi di Indonesia. Sebab, DPR juga membuat aturan yang menyatakan MKD berwenang mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Revisi UU MD3 akan mengganggu iklim demokrasi di Indonesia. Sebab, DPR juga membuat aturan yang menyatakan MKD berwenang mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Menurut Zaenurrohman, aturan tersebut sangat berpotensi memberangus kritik dari berbagai elemen masyarakat kepada DPR dan anggota DPR. Sebab, di dalam revisi UU MD3 tidak ada penjelasan mengenai tindakan yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. ”Oleh karena itu, apabila ada kritik terhadap DPR oleh pihak lain, bisa jadi akan dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,” ungkapnya.
Zaenurrohman menambahkan, aturan itu bisa dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang selama ini aktif mengkritik kinerja DPR, termasuk lembaga swadaya masyarakat, bahkan media massa. ”Aturan ini jelas mengancam kebebasan berpendapat, mengancam kehidupan demokrasi yang sehat, dan mengurangi kontrol masyarakat kepada DPR,” paparnya.
Imunitas DPR
Mengenai persoalan imunitas anggota DPR dalam UU MD3, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, berpendapat revisi yang dilakukan DPR terhadap Pasal 245 tersebut justru mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi yang diputus pada 8 Februari lalu. Dalam putusan disebut tidak boleh ada intervensi terhadap KPK saat melakukan kewenangan yudisial.
Bahkan, Indriyanto mengingatkan bahwa imunitas tersebut tidak bersifat absolut. ”Artinya, bila anggota DPR diduga menyalahgunakan wewenangnya atau atau sewenang-wenang ataupun melakukan pelanggaran undang-undang, khususnya extraordinary crime, seperti tipikor, narkotika, dan pelanggaran HAM berat, maka sifat imunitas menjadi bindingless atau tidak lagi memiliki sifat imunitas lagi,” kata Indriyanto.
Ia juga menegaskan, DPR tidak bisa berlindung dengan klausul yang tidak demokratis dan inkonstitusional. Jalur uji materi menjadi solusi untuk menguji pasal tersebut. Apabila diajukan, majelis hakim MK pun diharapkan tidak melawan putusan sebelumnya yang memberikan ruang kebebasan bagi KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Mengingat makna dari pasal 245 tersebut, para anggota DPR sulit diminta keterangannya sebagai saksi oleh penegak hukum dan bisa menghalangi langkah pro justicia yang dijalankan.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan pihaknya tetap berpegang pada UU KPK yang menjadi landasan lembaga antirasuah itu bekerja. ”Ada poin tidak perlu izin dari presiden dan MKD, itu yang menjadi dasar, apalagi tindak pidana khusus sudah dijelaskan tidak mengacu pada UU MD3,” ujar Alexander.
Akademisi dan praktisi hukum uji materi UU MD3
Akademisi dan praktisi hukum yang tergabung ke dalam Forum Kajian Hukum dan Konstitusi mengajukan uji materi sejumlah pasal di dalam UU MD3 yang baru disahkan beberapa waktu lalu. Berkas uji materi itu didaftarkan kepada MK, Rabu di Jakarta.
FKHK mengajukan uji materi atas tiga pasal yang dinilai inkonstitusional, yakni Pasal 73 Ayat (3) dan Ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 Huruf k, dan Pasal 245 Ayat (1). Secara berturut-turut pasal-pasal itu mengatur tentang kewenangan DPR untuk memanggil paksa warga, mengambil langkah hukum terhadap warga, dan memberikan hak imunitas.
Kuasa hukum FKHK, Irmanputra Sidin, yang ditemui sesuai mendaftarkan uji materi itu di gedung MK mengatakan, pasal-pasal tersebut inkonstitusional dan merugikan hak-hak konstitusional pemohon secara konkret karena adanya perlakuan yang tidak sama di depan hukum.
”Semua pasal yang diajukan pengujian jelas merugikan hak konstitusional para pemohon warga negara untuk diperlakukan sama di dalam hukum, yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak pemajuan diri untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak untuk kebebasan berpendapat, hak untuk berkomunikasi, dan hak kemerdekaan pikiran, yang dengan demikian telah bertentangan dengan UUD 1945,” kata Irman.
Pasal-pasal tersebut, menurut Irman, juga memperhadapkan anggota DPR dengan rakyat yang seharusnya direpresentasikannya.
Selain FKHK, permohonan uji materi juga dilakukan oleh akademisi hukum dari Universitas Surakarta, Husdi Herman. ”Sebagai akademisi, saya merasa ada yang mengganggu dalam norma-norma di UU MD3,” katanya.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, terkait dengan adanya sejumlah pasal yang seolah menghidupkan kembali pasal yang telah dibatalkan oleh MK di dalam UU MD3, menurut dia, pasal itu memiliki problem konstitusional.
Pasal 245 UU MD3, misalnya, menyatakan pemeriksaan terhadap anggota DPR harus seizin presiden dengan meminta pertimbangan MKD. Ketentuan mengenai izin MKD itu sebelumnya dibatalkan MK dalam putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 22 September 2015 mengenai uji materi atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3.
”Ketika sudah ada tafsir konstitusional MK yang sangat jelas, seharusnya pembentuk UU tak perlu genit dan repot-repot membuat dalih apa pun untuk mengakali putusan MK. Karena jika itu dilakukan, memasukkan ketentuan yang sudah terang benderang menjadi jiwa dan semangat putusan MK hanya akan membuat ketentuan tersebut mengandung problem konstitusionalitas yang berpotensi besar membuatnya diajukan kembali uji materi ke MK,” katanya.
Fajar mengatakan, dalam memutuskan suatu perkara uji materi MK biasanya akan terlebih dulu merujuk pada putusan terdahulu. ”DPR memang boleh menafsirkan UUD. Namun, jika sudah ada tafsir MK, semestinya tinggal ikuti saja, selesai persoalan, bukan malah mereka-reka membuat tafsir lain yang substansinya tidak sejalan dengan tafsir MK,” kata Fajar.
Polri masih mengkaji
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, kajian itu dilakukan oleh tim Divisi Hukum Polri yang melibatkan pula sejumlah tim ahli. Dalam melaksanakan aturan itu yang tercantum di Pasal 73 UU MD3, lanjutya, Polri tidak akan melanggar aturan operasional di UU Polri dan KUHAP.
”Nantinya hasil kajian itu akan menentukan sikap kami terkait Pasal 73 UU MD3 itu serta menjadi pedoman anggota kepolisian di kewilayahan,” kata Martin, Rabu, di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta.
Atas dasar itu, Polri akan menyampaikan sikap resmi lembaga mengenai kewajiban di UU MD3 itu setelah menyelesaikan kajian internal.
(IAN/SAN/HRS/REK)