Etnis Tionghoa Selalu Jadi Bagian dari Indonesia
JAKARTA, KOMPAS — Etnis Tionghoa telah datang, menetap, dan berakulturasi dengan etnis-etnis lain di Nusantara sejak berabad lalu. Rasa kebangsaan melekat seiring dengan proses mereka menjadi Indonesia.
Terlepas dari sejarah panjang perlakuan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, perasaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia tak pernah luntur dari mereka. Legenda bulu tangkis Indonesia, Liem Swie King, mengungkapkan, dirinya tidak pernah merasa menjadi liyan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.
”Sebagai warga keturunan Tionghoa, saya selalu merasa sebagai warga Indonesia. Apalagi, di olahraga, yang dibangun adalah sportivitas,” ujar Liem Swie King saat dihubungi di Jakarta, Jumat (16/2). Liem Swie King mengharumkan nama Indonesia di pentas bulu tangkis dunia sejak era 1970-an hingga awal 1980-an.
Hal serupa dikatakan Ketua Dewan Pengarah Yayasan Dharma Bhakti Tan Adi Pranata. Selama puluhan tahun menetap di Indonesia, rasa kebangsaannya telah melekat erat. ”Kami merasa bahwa Tanah Air kami di sini (Indonesia). Kami pun harus berjiwa Indonesia,” ujar Adi Pranata.
Ia menambahkan, rasa kebangsaan itu diwujudkan dalam pengelolaan wihara yang melibatkan warga keturunan Tionghoa. Dari sekitar 20 pegawai yang mengurus wihara, hanya dua orang keturunan Tionghoa dan beragama Buddha. Sisanya berasal dari etnis dan agama yang beragam.
Selain itu, Wihara Dharma Bhakti, yang terletak di Jalan Kemenangan III Petak Sembilan, Jakarta Barat, juga tidak hanya diperuntukkan bagi penganut Buddha. ”Wihara ini terbuka untuk siapa saja. Kami tidak membeda-bedakan. Siapa saja yang ingin datang kami persilakan," kata Adi Pranata.
Pada perayaan Tahun Baru Imlek 2018, ratusan orang hilir mudik bergantian memasuki Wihara Dharma Bhakti. Selain orang-orang yang beribadat, ada pula warga yang ingin ikut memeriahkan perayaan serta mengabadikan momentum tahunan tersebut.
Salah satunya Mutiara Rizka (20), mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta. Mutiara dan 16 teman lainnya sudah datang ke wilayah Petak Sembilan sejak pagi. Mereka mengelilingi wilayah itu untuk memeriahkan perayaan Imlek sekaligus belajar memotret.
Menurut Mutiara, sudah tiga tahun berturut-turut komunitasnya mengikuti Imlek, bukan hanya di Jakarta, melainkan juga di Bogor, Jawa Barat. ”Perayaan Imlek sangat menarik karena kami bisa belajar bagaimana sebuah tradisi bisa dijaga selama ratusan tahun,” ujarnya.
Selain itu, ia juga kagum atas keterbukaan yang terjadi di sana. ”Awalnya saya kira memotret kegiatan ibadah akan dihalang-halangi, tetapi ternyata umat yang sedang beribadah tidak mempermasalahkan. Beberapa kali kami justru dipersilakan,” kata Mutiara.
Swie King mengatakan, perayaan Imlek secara terbuka merupakan berkah bagi warga keturunan Tionghoa. Imlek ditetapkan sebagai salah satu hari raya yang mendapatkan jatah libur nasional pada 2002. Sebelumnya, selama pemerintahan Orde Baru, Imlek tidak diakui sebagai hari raya.
”Hal yang paling membahagiakan bagi saya adalah ketika Imlek ditetapkan sebagai hari raya resmi. Dengan begitu, kami bisa benar-benar merayakannya secara terbuka,” kata Swie King.
Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengatakan, perayaan Imlek merupakan salah satu simbol kerukunan umat beragama. Semua warga dari berbagai suku dan agama dapat merayakannya bersama-sama. ”Ini pengingat bagi kita bahwa kebersamaan dan kesatuan tanpa membeda-bedakan golongan dan agama itu penting dan bisa dipersatukan oleh Imlek,” ujarnya.
Komitmen negara
Kepala UKP-PIP Yudi Latif mengatakan, berdasarkan Pasal 28e, Pasal 28i, dan Pasal 29 UUD 1945, negara wajib menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi setiap warga. Untuk meneguhkan komitmen itu, negara melalui UKP-PIP akan mengunjungi setiap perayaan hari besar semua agama di Indonesia.
Salah satunya, kata Yudi, dengan mengunjungi perayaan Tahun Baru Imlek 2018 di Wihara Dharma Bhakti. Selain Yudi, hadir pula anggota Dewan Pengarah UKP-PIP, yaitu mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan Mahfud MD.
Menurut Yudi, keberadaan Wihara Dharma Bhakti yang berdiri sejak abad ke-17 merupakan representasi bahwa warga keturunan Tionghoa telah membaur dengan etnis-etnis lainnya selama lebih dari tiga abad. Mereka hidup berdampingan tanpa pernah memunculkan masalah yang berarti. ”Keberadaan wihara ini merupakan wujud integrasi masyarakat yang terjadi secara damai,” ujarnya.
Ia menambahkan, selain kebebasan beragama, negara juga menjamin hak setiap warga untuk memiliki identitas budaya. Indonesia yang terdiri dari masyarakat multikultur dan multietnis harus mendapatkan ruang yang sama untuk mengekspresikan diri. ”Indonesia akan menjadi negara yang memberikan harapan bagi masyarakat majemuk jika mampu memberikan ruang untuk berkembang bagi semua warga,” kata Yudi.
Try Sutrisno menuturkan, negara ini harus beranjak dari pengalaman masa lalu yang belum mengelola masyarakat majemuk secara optimal. Dibutuhkan komitmen bersama untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu.
Karena itu, setiap warga harus mempelajari sejarah dan mengenali budaya bangsa. ”Kita ditakdirkan Tuhan menjadi seperti ini (masyarakat majemuk). Kita harus menjadi bangsa yang besar, tidak hanya secara fisik, tetapi juga besar komitmen dan kejiwaannya untuk ikut menciptakan ketertiban, perdamaian, dan kesejahteraan, khususnya negara dan dunia,” ujar Try.
Yudi menegaskan, permasalahan dalam masyarakat majemuk hanya muncul ketika ada segelintir pihak yang memolitisasi etnis dan agama warga. Menurut dia, hal tersebut harus dihindari, apalagi saat memasuki tahun politik. ”Jangan sampai di tahun politik ini kita memolitisasi identitas sehingga masyarakat yang hidup damai dihadapkan satu sama lain karena akan mengoyak kedamaian Indonesia,” ucapnya. (DD01)