Keragaman adalah Kekuatan Indonesia
May (50) duduk bersila di atas karung beras di depan Wihara Dharma Bhakti, Jakarta, Jumat (16/2). Perayaan Tahun Baru Imlek 2569 menjadi salah satu momentum bagi wanita yang bekerja sebagai tukang cuci dan gosok itu untuk menerima penghasilan tambahan dari pengunjung wihara.
Perayaan Imlek ini merupakan tahun ke-10 baginya untuk mendapatkan angpao di wihara itu. May, warga Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, tidak sungkan meminta karena keterbatasan ekonomi yang ia miliki.
”Kami tidak dilarang meminta-minta,” ucapnya sambil melihat ke arah wihara. Sebagai orang yang tidak merayakan Imlek, May tidak berkeberatan uang yang ia terima berasal dari mereka yang bukan seagama dan satu suku dengannya.
Ia menyatakan, agama merupakan urusan masing-masing orang. Sebagai orang yang sering mengalami masalah perekonomian, ia merasa sangat terbantu jika ada orang yang tidak pelit membagikan rezeki lebih yang dimiliki.
May merupakan satu dari sekitar 500 orang yang siang itu menjadi pengemis di depan wihara tersebut. Pandangan May mengenai perbedaan agama tidak boleh menjadi batasan dalam menolong seseorang juga disetujui oleh Kokom (43), pekerja cuci gosok dari Pademangan, Jakarta Utara, dan Mulyani (53), pemulung dari Serpong, Tangerang.
Tidak ada batasannya mengenai orang dengan latar belakang, agama, dan suku bagi pengunjung wihara juga terlihat dari pekerja wihara. Idrus R (26), petugas keamanan Wihara Dharma Bhakti, menyatakan, dirinya tidak pernah menerima perlakuan tidak menyenangkan sekalipun memeluk agama yang berbeda.
Sekitar 25 orang yang bekerja, ujarnya, hanya dua yang beragama Buddha. Pekerja lainnya kebanyakan memeluk agama Islam.
”Saya juga diberi waktu khusus jika sudah waktunya untuk berdoa,” katanya. Ia menambahkan, pekerjaan yang ia miliki saat ini hasil seleksi dari segi karakter, seperti kejujuran.
Ketua Yayasan Wihara Dharma Bhakti Tan Adi Pranata mengatakan, wihara selalu berusaha untuk terbuka dengan segala kalangan. Ia mencontohkan, fenomena bertambahnya jumlah pengemis 10 kali lipat saat perayaan Imlek dibandingkan dengan hari biasa tidak dilihat sebagai masalah. Mereka tetap diterima untuk masuk ke kawasan wihara sepanjang tidak mengganggu umat beribadah.
Selain itu, para pekerja wihara yang memeluk agama lain rata-rata bekerja 20-30 tahun di wihara itu. ”Kami tidak membeda-bedakan siapa yang ingin mengunjungi. Oleh karena itu, perseteruan karena perbedaan harus dihindarkan,” ujarnya.
Menurut Tan, perayaan Imlek dapat menjadi salah satu simbol persatuan karena beragamnya latar belakang orang yang ikut datang merayakan. Ia mengingatkan, perbedaan agama tidak boleh digunakan sebagai alat untuk saling menghujat. Masyarakat harus terus berpegang pada Pancasila sebagai dasar negara.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam kunjungannya ke Wihara Dharma Bhakti menambahkan, keragaman merupakan kekuatan Indonesia untuk saling membantu satu sama lain.
”Tidak mungkin semua orang itu sama. Manusia pasti berbeda. Perbedaan itu akan membantu masyarakat saling menguatkan berdasarkan posisi dan peran mereka masing-masing,” kata Mahfud.
Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif menambahkan, sebuah peradaban tidak akan maju jika memiliki penduduk yang homogen. Sebuah peradaban dapat maju ketika terbuka atas interaksi dan persilangan antarbudaya.
Adapun agama yang dianut seseorang tetap harus menyesuaikan dengan budaya bangsa itu. Ia memberikan contoh, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Arab Saudi. Hal tersebut terjadi karena perbedaan ideologi dan budaya yang dimiliki kedua negara. Konsep sama juga perlu diterapkan pada agama lainnya, seperti Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu.
Masyarakat harus menerapkan dasar yang dimiliki negara, yaitu Pancasila. Dengan demikian, kata Yudi, pemerintah berkomitmen untuk terus mengucapkan selamat dan menghadiri perayaan hari keagamaan berbagai komunitas agama di Indonesia untuk mendukung penjaminan kebebasan beragama.
Sejak dulu
Yudi menambahkan, kedatangan pemerintah ke Wihara Dharma memperkuat pengakuan pemerintah bahwa masyarakat etnis Tionghoa telah berintegrasi dengan bangsa Indonesia sedari dulu. Kehadiran etnis Tionghoa memperkaya budaya Indonesia.
Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dalam kunjungan yang sama menyatakan, manusia hidup dalam tiga dimensi. Dimensi itu ilah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masyarakat etnis Tionghoa telah ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
”Mereka juga ikut membantu bertempur dan menyusun konstitusi negara,” kata Try. Selain itu, masyarakat etnis Tionghoa juga membantu Indonesia dalam bidang olahraga, arsitektur, dan ekonomi. (DD13)