Keberagaman dalam Wayang Potehi
Pergelaran wayang potehi semakin jarang ditemukan. Pembuatnya pun hanya tinggal beberapa orang. Padahal, wayang potehi yang biasa dimainkan orang-orang China peranakan ini merupakan salah satu kekayaan budaya di Nusantara.
Kata ”potehi” berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang). Jadi, wayang potehi merupakan wayang boneka yang terbuat dari kain. Wajah dan bajunya berbeda-beda, memperlihatkan karakter setiap wayang.
Memainkannya dengan tiga atau empat jari tangan. Jari telunjuk untuk menggerakkan kepala; jempol, jari tengah, dan jari manis untuk menggerakkan tangan kiri dan kanan.
Lakon wayang potehi biasanya memainkan kisah kepahlawanan, seperti Sie Jin Kui. Sie Jin Kui menjadi terkenal karena piawai berperang dan sangat gigih sebagai jenderal dalam Dinasti Tang.
Dwi Woro Retno Mastuti, dosen dan peneliti wayang potehi dari Jurusan Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menjelaskan, kini hanya ada dua desa pembuat wayang potehi, yakni di Kecamatan Gudo di Jombang dan di Kampung Pesantren, Purwodinatan, Semarang.
”Para dalang di Gudo pun sudah sepuh,” ujar Woro, ditemui awal Februari 2018. Woro mulai meneliti wayang potehi sejak 20 tahun silam. Selain meneliti dan menerbitkan beberapa buku tentang wayang potehi, Woro juga berupaya melestarikan pertunjukan wayang potehi.
Namun, pelestarian wayang potehi bukan perkara mudah. Sejatinya, wayang potehi lebih banyak ditampilkan di kelenteng sebagai bagian dari ritual. Pertunjukan itu sebagai sarana untuk memanjatkan pujian bagi leluhur dan dewa. Ambil contoh, setelah permohonan seseorang terkabul, biasanya dia menanggap pertunjukan wayang potehi di kelenteng.
Durasi pertunjukan wayang potehi umumnya satu jam hingga dua jam. Pertunjukan wayang ini tidak hanya dilakukan satu hari atau dua hari. Pertunjukan di kelenteng dapat dilakukan hingga berhari-hari, bahkan sampai tiga bulan.
Ada atau tidak ada penonton, pertunjukan wayang potehi di kelenteng tetap berjalan. Walaupun sering digelar di kelenteng, pertunjukan wayang potehi juga dapat dilakukan di luar kelenteng.
Woro pun melestarikan wayang potehi dari luar kelenteng. Tidak hanya sekadar meneliti wayang potehi, sedikit demi sedikit, dia mulai mengumpulkan boneka-boneka wayang potehi. Selain itu, dia juga mengumpulkan peralatan penunjangnya, seperti alat musik dan panggung.
Mengajari mahasiswa
Boneka sudah ada, panggung tersedia, alat musik pun lengkap. Sayangnya, tidak ada yang memainkan wayang potehi ini. Akhirnya, pada November 2014, Woro mendirikan sanggar Rumah Cinta Wayang atau sanggar Cinwa di Depok.
Di sanggar tersebut, Woro mengajari mahasiswanya bermain wayang potehi. Beberapa pembaruan dilakukan. Dalang, misalnya, tidak hanya satu orang seperti biasanya.
Di sanggar Cinwa, satu kali pertunjukan dapat dilakukan empat dalang sekaligus. Selain itu, wayang potehi dijajarkan di sisi kanan kiri panggung seperti pada pertunjukan wayang golek.
Pada akhir cerita, disampaikan pelajaran apa yang dapat diambil dari kisah yang disampaikan, seperti jangan korupsi, pantang menyerah, dan pesan moral lainnya. ”Ini wayang potehi zaman now,” kata Woro sembari tersenyum.
Walau demikian, suluk atau kalimat pembuka tetap diucapkan dalam bahasa Hokkian seperti aslinya. Kemudian, pertunjukan dibawakan dalam bahasa setempat, bisa bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Berbeda dengan wayang kulit, potehi tidak menggunakan goro-goro.
Saat ini, ada sekitar 20 mahasiswa dari sejumlah fakultas dan universitas yang aktif di sanggar Cinwa. Jika diperlukan pasukan lebih banyak, alumni turut membantu pergelaran wayang potehi. Mereka berbagi peran sebagai dalang, pemusik, fotografer, hingga mengurus konsumsi.
”Mereka adalah anak-anak muda yang berbeda, antimainstream. Instagram mereka isinya bukan gambar-gambar makanan seperti teman-temannya, tetapi potehi semuanya,” ucap Woro sambil terkekeh.
Melalui pementasan-pementasan wayang itu, Woro juga mengajak dan mengajar mahasiswanya untuk bertoleransi. Para mahasiswa itu diajak mengenal kebudayaan lain selain kebudayaan mereka sendiri.
Para mahasiswa itu diajak mengenal kebudayaan lain selain kebudayaan mereka sendiri.
Mempelajari kebudayaan
Mereka menerima dan mempelajari kebudayaan baru yang sebelumnya tidak tersentuh sama sekali. Tidak sekadar menggerakkan boneka-boneka wayang, tetapi juga belajar falsafah yang terkandung dalam setiap lakon.
Tidak sekadar mengerti tentang warna merah yang mendominasi pertunjukan wayang potehi, tetapi juga belajar memahami ada perspektif lain dari hal-hal yang selama ini mereka ketahui.
”Tidak semua mahasiswa saya adalah keturunan China. Mereka berasal dari berbagai suku dan kota. Dengan ikut mempertunjukkan wayang potehi, mereka juga bergaul dengan banyak orang, belajar kebudayaan lain,” kata Woro bersemangat.
Dengan merendah, dosen ini mengatakan, baru inilah yang dapat dilakukannya untuk melestarikan kebudayaan sekaligus menjaga toleransi. ”Kebudayaan kita terlalu banyak, terlalu indah untuk dilupakan. Terlalu bagus untuk dirusak. Tidaklah, jangan sampai rusak,” ujar Woro.
Woro juga mengingatkan bahwa kebudayaan China pernah terkekang dan tidak banyak diketahui pada masa lalu.
Berada di sanggar Cinwa membuat para mahasiswa mengetahui lebih banyak hal. Mereka diajak bergabung dengan komunitas wayang lain, keluar masuk kelenteng, keluar masuk mal sehingga kenal dengan banyak orang dari berbagai kalangan, hingga pergi ke Desa Gudo.
Meilia Afkarina Pitaningrum atau Meimei, mahasiswa Sastra Jawa tahun keempat, mengatakan senang ikut dalam sanggar Cinwa. ”Saya dapat kenal dengan berbagai komunitas, belajar kebudayaan lain, banyaklah pengalaman yang saya dapat,” kata mahasiswa berkerudung ini.
Dia berperan sebagai salah satu dalang dalam pertunjukan wayang potehi. Suaranya dapat berubah-ubah sesuai karakter yang dimainkan.
Menurut Meimei, selain memahami jalan cerita, dirinya juga banyak berimprovisasi untuk memainkan lakon-lakon dalam wayang potehi tersebut. Sesekali celetukannya, khas anak muda milenial zaman now, menambah semarak pertunjukan. Wayang potehi jadi dapat dinikmati semua kalangan, bukan hanya orang-orang tua zaman old.
Menjelang perayaan tahun baru Imlek, sanggar ini mendapat panggilan untuk pentas di mal. Bahkan, pada pekan ini, anggota sanggar harus dibagi menjadi dua karena mendapat undangan pentas di Ambon dan di sebuah mal di Jakarta.
Kisah baru
Pertunjukan wayang potehi di tempat umum, menurut Woro, membantu memperkenalkan kembali kebudayaan yang pernah tenggelam.
Pada akhir pementasan yang berlangsung sekitar 45 menit, para pemain wayang selalu berinteraksi dengan penonton. Seperti membuat kuis berisi pertanyaan seputar pementasan yang baru dilakukan sehingga ada interaksi dengan para penonton. Penonton juga dapat belajar memainkan wayang potehinya.
Woro mengatakan sedang merancang pertunjukan wayang potehi dengan lakon lokal, yaitu Damarwulan. Saat ini, dia sedang dalam proses pembuatan boneka dengan jumlah yang tidak sedikit.
Kelak, semakin banyak kisah yang dapat dipentaskan dengan wayang potehi. Penikmatnya diharapkan tidak hanya sekadar menikmati pertunjukan, tetapi juga secara tidak langsung menghargai perpaduan budaya. Bahkan, diharapkan pula dapat tetap menjaga keberagaman dan menghormati kebudayaan lain yang berbeda asal muasalnya.