Momen Imlek: Kehangatan Berkumpul bersama Keluarga Besar
Oleh
·4 menit baca
Asap mengepul agak tebal dari tong-tong tempat pembakaran kertas. Asiang (54) menembus asap itu sambil bergandengan tangan dengan istri dan kedua anaknya. Mereka kompak menggunakan pakaian berwarna merah. Keharmonisan tampak di setiap ayunan dupa saat memanjatkan doa di Wihara Dharma Bhakti, Glodok, Jakarta Barat, Kamis (15/2) petang.
Hari itu adalah perayaan malam Imlek. Suasana merah meriah sudah menyambut siapa pun yang memasuki kawasan Petak Sembilan, tempat wihara itu berada. Hiasan berupa lampion merah dan replika naga bergantungan dikaitkan pada tiang-tiang yang berdiri di kanan dan kiri jalan.
Pada Kompas (14/2), sejarawan Tionghoa, Didi Kwartanada, mengatakan, Imlek dimaknai sebagai perayaan tahun baru sekaligus merayakan datangnya musim semi bagi masyarakat petani di negara asalnya. Semangat berkumpul bersama keluarga menjadi pilar utama dalam penyelenggaranya.
Hal itu tampak dari apa yang terjadi di Wihara Dharma Bhakti yang terletak di kawasan Petak Sembilan itu. Hampir setiap orang yang datang untuk bersembahyang pada malam Imlek itu hadir bersama keluarganya.
Asiang mengatakan, esensi perayaan Imlek itu adalah berada di dekat keluarga. ”Rasanya tidak pas kalau hanya dirayakan sendiri-sendiri saja. Ketika setiap anggota keluarga itu lengkap. Imlek baru terasa,” ujar Asiang.
Chandra (50) menyatakan hal serupa dengan Asiang. Bagi Chandra, makna Imlek adalah semangat kekeluargaan. ”Intinya adalah berkumpul bersama keluarga. Datang dan sembahyang ke leluhur-leluhur dan saudara tertua, kami mohon berkat agar dilancarkan tahunnya,” kata Chandra.
Chandra menceritakan, waktunya banyak tersita untuk urusan kerja. Ia selalu pulang ke rumah larut malam setiap hari. Tak ada kesempatan berkumpul bersama keluarga pada hari biasa, bahkan hanya untuk sekadar menanyakan kabar anak-anaknya. Sebab, pagi-pagi benar anak-anaknya sudah berangkat sekolah, sedangkan ia kerap masih terlelap di kasurnya. Maka, momen Imlek itu menjadi waktu yang cukup ia nantikan untuk merasakan kehangatan keluarga.
”Imlek ini menjadi waktu kumpul paling efektif karena hari libur juga. Biasanya, waktu Imlek itu hanya untuk keluarga. Urusan pekerjaan harus ditinggal. Jarang sekali bisa dapat waktu seperti imlek ini,” kata Chandra yang bekerja sebagai pebisnis itu.
Pengurus Harian Wihara Dharma Bhakti Gunawan Djajaputra mengatakan, Imlek itu bagaikan hari Lebaran. Setiap anggota keluarga berkunjung ke rumah saudara tertua untuk bersembahyang, bersilaturahim, dan bermaaf-maafan.
”Ini mungkin jadi seperti Lebaran. Intinya, silaturahim kepada anggota-anggota keluarga. Setelah berdoa di wihara, mereka akan keliling ke rumah-rumah anggota keluarganya, dimulai dari yang tertua,” kata Gunawan.
Hal itu dialami pula oleh Djulianto (24). Bagi dia, Imlek adalah momen berkumpul keluarga di luar keluarga inti. Kegiatan saling memaafkan satu sama lain menjadi agenda yang tak mungkin terlewatkan setiap tahun.
”Buat saya, Imlek itu menjadi momen untuk berkumpul keluarga besar. Tetapi, lebih dari itu yang paling kuat terasa di Imlek adalah momen silaturahim dan maaf-maaf-an-nya sih. Yang Namanya saudara pasti pernah berantem kan,” kata Djulianto.
Mencari peluang
Sebelum memasuki Wihara Dharma Bhakti, pengunjung yang datang disuguhkan dengan pemandangan banyaknya peminta-minta yang duduk di halaman luar wihara. Mereka menunggu di tempat itu mengharapkan mendapat angpau dari orang yang baru saja bersembayang di wihara.
Pemandangan serupa tampak di Wihara Dharma Jaya Toasebio yang letaknya berdekatan dengan Wihara Dharma Bhakti. Di sana, selain orang yang merayakan Imlek, terdapat pula peminta-minta yang duduk di teras sebelum memasuki wihara.
Orang-orang itu memasang muka melas. Sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Mereka menunggu pemberian angpau itu dengan mengajak anak-anak mereka yang kebanyakan masih berusia di bawah tujuh tahun. Dengan menggelar tikar atau kardus di lantai semen yang basah, mereka berharap cemas akankah mendapat angpau atau tidak.
Gunawan menceritakan, hadirnya orang-orang yang mengharapkan angpau itu sudah ada sejak lama. ”Tradisi kami memang bagi-bagi angpau, itu untuk melancarkan rezeki dan berbagi kebaikan,” kata Gunawan. ”Kalau yang ada di luar itu berasal dari luar daerah.”
Lastri (35), asal Tegal, mengatakan sudah dua tahun terakhir ini selalu datang ke wihara setiap malam perayaan Imlek. ”Ya coba-coba cari untung. Siapa tahu dapat angpau, lumayanlah untuk tambah-tambah,” kata Lastri.
Pada pukul 17.00-22.00, baru terlihat sebanyak dua kali para peminta-minta itu mendapat angpau. Dengan jumlah yang lebih dari 100 orang itu, angpau tidak dimasukkan ke dalam amplop. Orang-orang yang memberi uang itu memasukkan uang logam mereka ke dalam kardus dan menyerahkannya kepada petugas keamanan setempat. Nanti, petugas itu yang membagi-bagikan uang itu. (DD16)