Tak Perlu Menunggu Pelanggaran Etik Ketiga, Ketua MK Seharusnya Mundur
Oleh
Defri Werdiono
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya lantaran telah dua kali melakukan pelanggaran etika. Arief semestinya mengundurkan diri tanpa harus menunggu melakukan pelanggaran ketiga. Bagaimanapun juga keberadaan etika lebih tinggi daripada posisi hukum.
”Kalau mengikuti hukum, (Ketua MK) tidak harus mundur. Tetapi, kalau mengikuti etika, ya, mundur. Tidak perlu menunggu tiga kali (melakukan pelanggaran) sebagaimana aturan. Sekarang saatnya dia dituntut sebagai seorang negarawan,” ujar mantan hakim konstitusi yang juga mantan anggota Dewan Etik MK, Mukthie Fadjar, dalam diskusi bertema ”Antara Hukum dan Etika Hakim Konstitusi” oleh Forum Masyarakat Sipil Malang Raya yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM), Jawa Timur, Kamis (15/2).
Selain Mukhtie, hadir dalam diskusi tersebut Wakil Sekretaris Jenderal Pengajar Hukum Tata Negara Sulardi, Dekan FH UMM Tongat, akademisi Universitas Widya Gama Anwar Cengkeng, dan Koordinator Masyarakat Sipil Malang Luthfi J Kurniawan.
Hadir pula sejumlah akademisi dari beberapa kampus baik negeri maupun swasta di Malang serta organisasi nonpemerintah Malang Corruption Watch dan Lembaga Bantuan Hukum Malang.
Kalau mengikuti etika, ya, mundur. Tidak perlu menunggu tiga kali (melakukan pelanggaran) sebagaimana aturan.
Diskusi menyoroti soal marwah MK yang merosot lantaran kondisi hakim konstitusi yang dinilai terus mengalami dekadensi. Seusai diskusi, mereka membacakan pernyataan sikap bersama yang meminta para hakim konstitusi mengedepankan etika.
Menurut Mukthie, pejabat di Indonesia memang sulit jika diminta mundur. Dan, desakan dari masyarakat itu penting untuk penyadaran pejabat publik bahwa mereka harus betul-betul menjaga etika. Sikap mundur juga harus dibudayakan di kalangan pejabat, apalagi mereka yang sudah dua kali mendapat teguran dari lembaga yang dibentuk oleh MK sendiri.
Mukthie juga berharap hakim konstitusi mulai kritis untuk menjaga marwah MK. Seorang pejabat publik bertanggung jawab secara moril kepada masyarakat.
Senada dengan Mukthie Fadjar, Sulardi mengatakan, seharusnya Ketua MK paham bahwa etika berada di atas hukum. Melanggar etika lebih parah dibandingkan dengan melanggar hukum. Etika merupakan tuntutan, sedangkan etika sebagai tuntunan.
”Kalau jadi negarawan, seharusnya malu melakukan pelanggaran etika. Karena itu, seorang negarawan yang terbukti melanggar etika jadi tidak arif jika bergeming dari posisinya,” katanya.
Sementara itu, Anwar Cengkeng menyoroti kondisi di awal keberadaan MK. Menurut Anwar, tiga tahun keberadaan MK (2003-2006) relatif tidak ada pelanggaran meski saat itu di tubuh MK belum ada kode etik. Kode etik baru ada tahun 2006. ”Meski tidak ada kode etik, tidak ada pelanggaran karena hakim MK saat itu punya sikap kenegarawanan,” katanya.
Adapun Luthfi menyebut pejabat yang punya label negarawan dan paham aturan tetapi tetap melanggar etika sebagai tuna-etika. Seorang pejabat publik harus punya sensitivitas soal standardisasi moralitas publik. Dia menyatakan yang terjadi saat ini adalah demoralitas. ”Padahal, Ketua MK merupakan simbol institusi amanat reformasi yang punya kewenangan besar,” katanya.