Belum Ada Regulasi yang Melindungi Pekerja Rumah Tangga
Jakarta,Kompas – Posisi tawar perempuan pekerja rumah tangga di dalam dan luar negeri lemah karena tidak ada regulasi yang melindungi mereka. Berbagai persoalan, mulai dari upah kerja dan jam kerja yang tidak sesuai, berbagai kekerasan bahkan penyiksaan hingga kehilangan nyawa pun terus menimpa perempuan pekerja rumah tangga.
Di dalam negeri, keberadaan pekerja rumah tangga (PRT) tidak diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Padahal, Indonesia merupakan negara yang memiliki PRT dalam jumlah besar.
Berdasarkan Rapid Assesment yang dilakukan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) pada 2010, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Survei terbaru Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta pada 2015 mendapati ada 4,2 juta PRT yang bekerja di dalam negeri.
“Artinya negara benar-benar mengabaikan kesejahteraan 4,2 juta warga negara yang bekerja sebagai PRT dan keluarganya. Meskipun jumlah PRT besar, sampai sekarang masih belum ada perubahan apapun terhadap situasi dan kondisi PRT,” ujar Koordinator Jala PRT Lita Anggraini, Jumat (16/2), di Jakarta.
Negara benar-benar mengabaikan kesejahteraan 4,2 juta warga negara yang bekerja sebagai PRT dan keluarganya.
Karena itulah, Jala PRT dan berbagai organisasi perempuan dan buruh mendesak DPR dan pemerintah segera mewujudkan Undang-Undang Perlindungan PRT (UU PPRT), dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.
Tidak adanya perhatian dan perlindungan pemerintah terhadap PRT, juga disuarakan sekitar 100 perempuan PRT dalam aksi mencuci pakaian bersama dengan tema “Peras Cuciannya, Bukan PRT nya” di Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (15/2).
Aksi tersebut juga sekaligus memperingati Hari PRT Nasional ke-12 yang sejak tahun 2007 dideklarasikan Jala PRT dan 44 organisasi masyarakat non sipil yang bergerak dalam perlindungan perempuan dan pekerja,
Lita mengungkapkan, PRT merupakan pekerja yang terabaikan oleh negara. Dengan tidak diakomodirkan dalam UU Ketenagakerjaan, membuat PRT tidak memiliki akses untuk memperjuangkan hak-haknya ke dinas tenaga kerja. Ketika berhadapan dengan persoalan hukum pun, kasus-kasus yang menimpa PRT hanya berhenti di tingkat aparat hukum.
Menagih janji Jokowi
Sebelumnya, para PRT memiliki harapan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla karena dalam visi misi yang disarikan dalam Nawacita yang disampaikan Jokowi-JK saat kampanye, juga memasukkan perlunya UU PPRT.
Bahkan, menurut Lita, komitmen untuk memberikan perlindungan bagi PRT dicantumkan di halaman 23 Nawacita yang berbunyi "Peraturan perundang-undangan dan langkah perlindungan bagi semua PRT yang bekerja di dalam maupun di luar negeri".
“Pada saat hari buruh tanggal 1 Mei 2014, Jokowi secara langsung menyatakan dukungan untuk disahkannya UU PPRT,” kata Lita.
Pada saat hari buruh tanggal 1 Mei 2014, Jokowi secara langsung menyatakan dukungan untuk disahkannya UU PPRT
Namun hingga masuk tahun keempat pemerintahan Jokowi-JK, upaya perlindungan terhadap PRT masih jauh dari harapan, bahkan regulasi untuk melindungi PRT pun tak kunjung terealisasi. Meski Indonesia telah menyampaikan komitmen dalam agenda global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) keberadaan PRT belum diperhitungkan,
“Faktanya, situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Nawacita itu sendiri. PRT Indonesia justru semakin terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan,”tegas Lita.
PRT Indonesia semakin terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan.
Dari data yang dihimpun Jala PRT, hingga Desember 2017 tercatat 249 kasus yang dialami PRT dalam negeri antara lain kekerasan PRT termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar.
Kondisi tersebut diperkuat oleh Survei Jaminan Sosial Jala PRT terhadap 4.296 PRT yang diorganisir di enam kota. Hasilnya, sebanyak 89 persen atau 3.823 PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan 99 persen atau 4.25 PRT tidak mendapatkan hak jaminan ketenagakerjaan.
Jika sakit, mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri, termasuk dengan cara berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji. Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS), tetapi PRT kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin.
Lita mengatakan, PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan kartu tanda penduduk dari wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses jaminan dan layanan kesehatan. “Ketika PRT meminta hak jaminan kesehatan malah mengalami pemutusan hubungan kerja,” tambah Lita.
Prili dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengungkapkan, berdasarkan catatan pengaduan ketenagakerjaan yang didata LBH Jakarta, sepanjang tahun 2016 terdapat 18 pengaduan kasus PRT, di antaranya kasus upah tidak dibayar berbulan-bulan, PHK sepihak, PHK menjelang hari raya, THR tidak dibayar.
Karena itulah, Jala PRT, LBH Jakarta dan berbagai organisasi perempuan dan buruh menuntut Presiden dan DPR untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT. Ini sebagai tindak lanjut sikap politik pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam Pidato Politik Presiden dalam Sesi ke-100 Sidang Perburuhan Internasional, 14 Juni 2011, dan pemenuhan janji Nawacita Presiden untuk memberikan perlindungan bagi PRT di dalam negeri dan di luar negeri.
Sejarah Hari PRT Indonesia
Penetapan Hari Nasional PRT setiap tanggal 15 Februari 2007 dilatarbelakangi peristiwa penganiayaan PRT anak bernama Sunarsih (15) hingga meninggal oleh majikannya. Sunarsih yang berasal dari Pasuruan bekerja di sebuah rumah di Surabaya, bersama dengan empat PRT anak lainnya.
Selama bekerja enam bulan, Sunarsih dan kawan-kawannya sering mendapat berbagai jenis kekerasan dari majikannya. Selain bekerja lebih dari 18 jam setiap hari, upahnya tidak diberikan, tidak ada istirahat, libur mingguan, tidak ada akses untuk berkomunikasi, bersosialisasi, dan diisolasi dalam rumah tidak boleh keluar rumah.
Sunarsih juga tidak mendapat makan secara layak, tidur di lantai jemuran, tidak ada jaminan kesehatan, bekerja dalam situasi yang sangat tidak layak dan manusiawi. Sunarsih meninggal pada 15 Februari 2007 yang kemudian oleh Jala PRT dan organisasi masyarakat sipil tanggal itu dijadikan Hari PRT.
Tiga tahun sebelum Sunarsih meninggal, pada 2004 sebenarnya sudah masuk RUU Perlindungan PRT ke DPR. Namun, hingga sekitar 14 tahun berlalu, RUU PPRT tak kunjung berlanjut pembahasannya di DPR. Sementara berbagai kasus terus menimpa PRT di dalam dan luar negeri. Terakhir kasus pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur, Adelina, yang meninggal di Malaysa karena siksaan majikan.
Mendesaknya UU PPRT dan ratifikasi Konvesi ILO Nomor 189 juga pernah disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam catatan Tahunan 2017 mengenai situasi kondisi PRT di luar negeri. Wahyu mendesak pemerintah segera menuntaskan penyelesaian kasus-kasus buruh migran Indonesia seperti kekerasan yang dialami PRT migran, perdagangan manusia (terutama perempuan dan anak), buruh migran tak berdokumen, buruh migran yang bekerja di sektor kelautan, buruh migran yang terjebak dalam sindikat kejahatan transnasional, serta buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.