Demokrasi Butuh Jaminan Regulasi, Bukan Pernyataan Sikap Ketua DPR
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menuai penolakan dari masyarakat. Penolakan yang didasarkan pada kekhawatiran akan memburuknya kehidupan demokrasi memicu pernyataan sikap dari Ketua DPR Bambang Soesatyo yang dalam pidatonya menyampaikan bahwa DPR butuh kritik. Namun, pernyataan sikap Ketua DPR tersebut dinilai bukan jaminan yang tepat.
Penolakan terhadap penyetujuan revisi UU MD3 oleh Rapat Paripurna DPR sebagai undang-undang pada pekan lalu menuai penolakan dari masyarakat. Hingga Sabtu (17/2) pukul 15.40, sebanyak 167.593 orang telah menandatangani petisi dalam jaringan (daring) berjudul ”Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Memidanakan Kritik!” di laman Change.org.
Selain itu, masyarakat yang tergabung dalam Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) pun melayangkan gugatan uji materi atas UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi, Rabu lalu.
Kuasa hukum FKHK, A Irmanputra Sidin, mengatakan, pihaknya mengajukan uji materi terhadap tiga pasal, yaitu Pasal 73 tentang kewenangan pemanggilan paksa disertai ancaman sandera kepada masyarakat, Pasal 122 tentang kewenangan DPR mengambil langkah hukum terhadap masyarakat yang dianggap merendahkan kehormatan DPR. Juga terhadap Pasal 245 tentang pemanggilan terhadap anggota DPR harus disertai persetujuan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Masyarakat itu memilih wakil rakyat yang mereka percaya. Tidak pernah terpikir oleh masyarakat bahwa wakil rakyat yang dipilih justru akan mengadili mereka.
Irman mengatakan, ketiga pasal tersebut berdampak pada munculnya karakter DPR yang antikritik. Sebab, DPR memiliki kewenangan untuk mengambil langkah hukum kepada siapa saja yang dianggap merendahkan.
Menurut Irman, kondisi tersebut membahayakan iklim demokrasi Indonesia. ”Masyarakat itu memilih wakil rakyat yang mereka percaya. Tidak pernah terpikir oleh masyarakat bahwa wakil rakyat yang dipilih justru akan mengadili mereka,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, DPR tidak semestinya bersedia berhadapan dengan masyarakat dalam persoalan kritik. Menurut Irman, DPR dan masyarakat memiliki relasi kuasa yang timpang sehingga akan merugikan masyarakat.
Menanggapi berbagai penolakan tersebut, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, isi Pasal 122 tidak berarti DPR antikritik. DPR tetap membutuhkan kritik. Ia menegaskan siap mempertaruhkan jabatannya jika ada rakyat yang dihukum karena mengkritik DPR.
”Sebagai mantan Ketua Komisi III DPR dan wartawan yang bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik dan UU Pers, saya paham dan tahu persis mana kritik, mana penghinaan, dan fitnah,” katanya (Kompas, 17/2).
Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menyetujui pernyataan Bambang Soesatyo. Menurut dia, DPR memang membutuhkan kritik. ”Anggota DPR itu sudah banyak dikritik saja masih tidur di ruang rapat, apalagi jika tidak ada kritik, mungkin semua akan ngorok di sana,” kata Arsul.
Meski demikian, bagi Irman, pernyataan sikap Ketua DPR tidak bisa menjadi jaminan bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
”Jaminannya bukan sikap Ketua DPR, melainkam teks, kata, dan tanda baca (yang tersusun dalam undang-undang). Ini bukan soal garansi politik,” ucapnya. (DD01)