Gharonk, Penyelam dan Sahabat Hiu
Namanya Darmawan Ahmad Mukharror. Namun, ia akrab disapa Gharonk. Sebuah sapaan yang terdengar seram karena kata gharonk atau garong di Jawa berarti perampok atau tukang begal. Kegiatan Gharonk memang terdengar seram bagi kebanyakan orang: bergaul dengan hiu. Namun, sosok Gharonk jauh dari kesan seram.
Gharonk kerap mengenakan kain sarung dalam berbagai kesempatan. Bahkan, kain sarung tetap dikenakannya saat diundang membawakan presentasi di banyak kegiatan.
Di dunia selam, selama dua tahun terakhir, namanya sering diperbincangkan karena pendekatannya pada hiu dan wisata hiu. Berbicara soal hiu, insinyur pertambangan minyak dan gas dari Institut Teknologi Bandung ini punya lisensi profesi yang mumpuni.
Ia satu-satunya orang Indonesia yang memiliki sertifikat PADI AWARE Shark Conservation Diver Instructor atau Instruktur Selam Spesialis Konservasi Hiu. Di Lombok, ada satu pemegang lisensi ini, tetapi ia warga negara Australia. Gharonk mendapatkan lisensi ini tahun 2014.
Ia tertarik menekuni aktivitas sebagai instruktur ”lahan kering” ini karena ingin total mengenal hiu. Selain itu, istrinya–murid pertama Gharonk setelah menjadi instruktur selam—menyarankan agar ia menekuni hiu. Hal lain yang memotivasinya adalah ia ingin memberikan pengetahuan lain dari yang selama ini orang awam kenal dan persepsikan tentang hiu sebagai hewan laut buas dan penuh kengerian.
Pencitraan hiu sebagai hewan yang mengerikan akan menguatkan pembenaran akan praktik perburuan sirip hiu.
Sejumlah film, seperti Jaws, memperlihatkan adegan yang bikin bulu kuduk merinding, seperti hiu putih raksasa menyerang kapal dan membinasakan penumpangnya. Gharonk tak menampik bahwa hiu memang hewan buas dan menjadi predator ekosistem dan samudra. ”Tapi mengapa hanya kengeriannya saja yang diangkat,” kata Gharonk, Sabtu (10/2).
Pencitraan hiu sebagai hewan yang mengerikan, menurut Gharonk, akan menguatkan pembenaran akan praktik perburuan sirip hiu (shark finning). Praktik sadis dan tak berkelanjutan ini membuat populasi berbagai jenis hiu di dunia, termasuk di Indonesia, turun drastis. Padahal, hiu berperan sebagai penjaga kelestarian ekosistem itu.
Hiu hanya makan ikan-ikan lemah dan sakit. Tanpa kehadiran hiu, populasi ikan yang menjadi santapan hiu akan melonjak sehingga keseimbangan rantai makanan terganggu. Akibatnya, bisa merugikan kesehatan ekosistem terumbu karang.
Dokumentasi hiu
Penjelasan tentang fungsi hiu untuk ekosistem harus ditunjang pengetahuan berbasis riset. Dengan begitu, hiu tidak hanya dipahami lewat citranya yang seram. Untuk meriset hiu, peneliti mau tidak mau harus menyelam dan berinteraksi dengan hiu di habitatnya.
Hati Gharonk miris saat membuka berbagai pustaka yang menjelaskan perilaku hiu. Ternyata peneliti hiu di perairan Indonesia umumnya orang asing. Penelitian-penelitian yang dilakukan ahli hiu dari Indonesia kebanyakan hanya berdasarkan survei dan mempelajari hiu mati yang didaratkan nelayan di pasar.
Tak heran, topik pembahasan riset pada hiu hanya seputar biologi fisik hiu ataupun pakan hiu. Penelitian karakter hiu tak tersentuh peneliti Indonesia. Karena itu, sekembali bekerja di bidang keselamatan pertambangan di Afrika tahun 2013, ia membangun jasa wisata selam di Morotai (Maluku Utara) dan Derawan di Kabupaten Berau (Kaltim).
Gharonk berkomitmen jasa wisata itu tak sekadar mendapatkan keuntungan. Ia ingin jasa wisata yang dioperasikan juga berkontribusi pada ilmu pengetahuan. Saat menyelam, ia mendokumentasikan secara rinci setiap kegiatan pemberian pakan hiu (feeding).
Dari ratusan rekaman video yang ia buat, orang bisa mempelajari karakter hiu dari berbagai sisi dan tema. Gharonk menggandeng seorang ilmuwan kelautan untuk membantunya melakukan riset bidang lain, seperti karang, manta, dan mobula.
Saat ini, riset baru dilakukan di Morotai karena ketersediaan personel yang tertarik mempelajari hiu terbatas. Namun, Gharonk juga berupaya melakukan riset ekosistem serupa pada cabangnya di Derawan. Di Morotai, perusahaan jasa wisatanya itu membawa tujuh mahasiswa Universitas Diponegoro (Semarang) dan Universitas Padjajaran (Bandung) yang mengambil skripsi soal hiu.
”Mahasiswa akhir yang tertarik mengambil skripsi bisa mengajukan proposal kepada kami, nanti diseleksi,” katanya. Mahasiswa yang lulus seleksi mendapat biaya hidup selama mengerjakan penelitian, menyelam gratis, dan level selam ditingkatkan satu tingkat. Sebuah tawaran yang seharusnya menjadikan mahasiswa memperebutkannya. ”Tapi, saat ini baru mahasiswa Undip dan Unpad saja yang tertarik,” katanya.
Gharonk mengidolakan sosok Jeremiah Sullivan, sharkman atau penyelam bersama hiu pertama dari Amerika Serikat. Selain itu, sederet peneliti kawakan sharkman, seperti Colin Simpfendorfer, Neill Hammerschlag, dan Leonard Compagno, diakuinya memberi banyak ilmu pengetahuan.
”Mereka benar-benar memiliki minat karena selama puluhan tahun mempelajari hiu,” ujarnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah menghakimi dalam konteks pro-kontra praktik feeding saat menyelam dan berinteraksi bersama hiu. Pihak kontra beralasan, pemberian pakan akan mengubah perilaku hiu. Adapun pihak pro berargumen, perilaku hiu tak signifikan berubah akibat praktik feeding.
Bagaimana posisi Gharonk? Ia mengaku tetap menggunakan feeding sebagai sarana ”memanggil” hiu. ”Tapi kalau ada teknologi atau cara lain yang efektif memanggil hiu, saya pasti ikut,” ujarnya.
Rekor perjumpaan dengan hiu tertinggi yang dicapainya adalah menyelam bersama 24 individu hiu di satu titik penyelaman.
Sebagai upaya menengahi pro-kontra ini, ia memberlakukan pemberian pakan yang selektif. Ia membatasi pemberian pakan hiu yang datang berkelompok pada individu. Ia juga membatasi jumlah makanan untuk tiap ekor hiu. Gharonk dan orang kepercayaannya bisa membedakan individu hiu. Mereka akan menolak hiu yang telah mendapatkan makanan.
Selama menyelam bersama hiu, ia tak pernah mengalami hal traumatis meski pernah berjumpa dengan jenis hiu yang dikenal agresif. Ia pernah bertemu hiu macan di sekitar Pulau Maetara (terletak di antara Ternate dan Tidore, Maluku Utara) dan bullshark di sekitar Loloda, Halmahera Utara, Maluku Utara.
Rekor perjumpaan dengan hiu tertinggi yang dicapainya adalah menyelam bersama 24 individu hiu di satu titik penyelaman. Di Morotai, kini perjumpaan dengan hiu rata-rata 7-8 hiu dalam sekali penyelaman. Pada awal-awal ia membuka jasa wisata di sana ia bisa menjumpai jenis hiu abu-abu, tanda putih (whitetip), dan tanda hitam (blacktip) secara bersama-sama. Namun, kini yang muncul hanya hiu jenis blacktip (Carcharhinus melanopterus).
Gharonk bercita-cita agar virus pengenalan yang lengkap akan hiu ini menular kepada banyak orang di Indonesia. Ia mengingatkan perairan Indonesia memiliki potensi tinggi wisata bersama hiu karena menjadi tempat hidup berbagai macam jenis hiu.