JAKARTA, KOMPAS — Proses kerja DPR dalam merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dinilai dilakukan secara terburu-buru. Pembahasan beberapa pasal tambahan pun tampak janggal karena baru dilakukan beberapa hari sebelum revisi disetujui Rapat Paripurna DPR sebagai undang-undang awal pekan ini.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus di Jakarta, Sabtu (17/2), mengatakan, DPR tidak terbuka kepada masyarakat selama merumuskan revisi UU MD3. Sejak pembahasan dimulai tahun lalu, DPR hanya membicarakan mengenai penambahan kursi di DPR.
Sementara itu, beberapa hari sebelum revisi UU MD3 disetujui Rapat Paripurna DPR sebagai UU, muncul beberapa pasal yang menuai polemik. Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 245, Pasal 122, dan Pasal 73. Dalam Pasal 245 dinyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Kemudian dalam Pasal 122, DPR memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Di Pasal 73, DPR memiliki kewenangan memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa dengan ancaman sandera.
Menurut Lucius, hal tersebut merepresentasi buruknya pembahasan UU oleh DPR. DPR cenderung tertutup dan menjauhi rakyat dalam membahas pasal yang pengaruhnya signifikan terhadap kehidupan berbangsa. ”Pasal-pasal penting tentang sistem pemerintahan justru dibahas secara diam-diam,” ucapnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, perumusan revisi UU MD3 mulanya memang hanya ditujukan untuk menambah kursi di DPR. Adapun tambahan kursi itu ditujukan untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) karena tidak mendapatkan kursi pimpinan meskipun berstatus sebagai parpol pemenang Pemilu 2014. Namun, dalam pembahasan internal DPR, berkembang wacana untuk merevisi UU MD3 secara keseluruhan.
”Fraksi PPP menyetujui pembahasan secara menyeluruh, tetapi pembahasan menyeluruh membutuhkan pendalaman, pelibatan masyarakat, dan menerima saran dari ahli hukum tata negara, dan studi banding ke negara lain,” kata Arsul. ”UU MD3 memang harus direvisi secara menyeluruh karena mengenai DPRD sudah dibahas dalam UU tersendiri sehingga seharusnya UU ini semestinya dipisah,” katanya.
Ia mengakui, jika dibandingkan dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), pembahasan materi-materi lain dalam revisi UU MD3, di samping penambahan kursi DPR, kurang melibatkan publik. Pada pembahasan beberapa pasal kontroversial dalam RKUHP di antaranya, penghinaan presiden dan perzinahan, panitia kerja tidak gegabah dalam menyetujuinya.
Setidaknya, kata Arsul, panitia kerja membuat beberapa alternatif rumusan berdasarkan perkembangan yang terjadi di masyarakat. DPR melakukan pertemuan informal dengan lembaga swadaya masyarakat dan lebih dari 22 duta besar dari Uni Eropa.
”Fraksi PPP ingin perumusan revisi UU MD3 dilakukan dengan cara yang sama, tetapi tidak dilakukan,” kata Arsul. ”Kami sudah sampaikan agar perumusan tiga pasal di UU MD3 itu jangan terburu-buru, paling tidak membutuhkan waktu satu masa sidang lagi dari awal Maret hingga akhir April,” katanya. (DD01)