Tanah Longsor Terus Berulang
JAKARTA, KOMPAS—Bencana tanah longsor menjadi peristiwa yang terus berulang dan seolah tak menemukan jalan keluar di Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal itu mengesankan persoalan lingkungan di kawasan tersebut tak ditangani secara serius.
Dalam Laporan Kinerja Triwulan IV-2017 dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, ada 538 kejadian bencana alam sepanjang tahun 2017. Tanah longsor menjadi jenis bencana alam yang paling banyak terjadi dengan jumlah 202 kejadian.
Senin (4/2), bencana tanah longsor menewaskan satu orang pedagang kaki lima, di dekat Masjid Atta’ Awun, Cisarua. Pedagang itu tewas tertimbun longsoran tanah di warungnya yang menempel pada tebing curam.
Peneliti dari Konsorsium Penyelamatan Puncak M Muslich mengatakan, bencana tanah longsor itu terjadi karena tingkat erosi tanah yang cukup tinggi di kawasan puncak. “Erosi adalah dampak persoalan dari persoalan di puncak,” kata Muslich, saat dihubungi dari Jakarta, pada Minggu (18/2).
Tingkat erosi itu diperparah dengan tertutupnya lahan di kawasan puncak dengan lahan non-hutan. Muslich mengatakan, kerusakan hutan itu telah dialami secara masif selama bertahun-tahun.
Berdasarkan analisis Forest Watch Indonesia (FWI), dalam periode 2000-2016, sekitar 5,7 ribu hektar lahan hutan alam hilang di Kawasan Puncak. Kini, tinggal tersisa 21 persen hutan alam dari total wilayah DAS Ciliwung.
Dalam periode 2000-2016, sekitar 5,7 ribu hektar lahan hutan alam hilang di Kawasan Puncak
Menurut catatan FWI, dalam revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2016-2036, kawasan hutan tinggal tersisa sebesar 29,47 persen dengan luasan 1.047,53 hektar. Sebelumnya, kawasan hutan bisa mencapai 58,78 persen dengan luasan 2.100,13 hektar.
Dengan hutan yang gundul, bencana tanah longsor kian mengancam dengan tingginya curah hujan di kawasan itu. “Jadi, kalau lahan gundul atau tutupan lahan semakin terbuka, air hujan tak lagi ditahan oleh daun, batang, dan pohon. Air hujan langsung jatuh menumbuk tanah sehingga tanah itu mudah terkikis,” kata Muslich.
Pada 2013, Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung Bogor mencatat, curah hujan rata-rata di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung adalah 2.913 mm per tahun. Muslich mengatakan, dengan angka tersebut, curah hujan mengakibatkan limpasan air yang cukup deras dan meningkatkan potensi longsor mengingat lahan di kawasan puncak kemiringannya curam.
BPDAS menyebutkan, potensi limpasan air permukaan di DAS Ciliwung mencapai 11.412.021 meter kubik per jam, dengan erosi seluruh DAS Ciliwung 3.699.806 ton per tahun. Sedimentasi yang terbawa hingga ke hilir mencapai 0,83 juta ton per tahun, sedangkan yang mengendap di hulu sebanyak 0,33 ton per tahun.
Muslich mengatakan, hal utama yang dilakukan untuk merehabilitasi kawasan itu supaya tidak rentan longsor adalah dengan melakukan penghijauan.
“Penanaman pohon penting untuk membantu air lebih banyak masuk ke tanah. Jadi, air limpasan bisa dikurangi. Memperbanyak vegetasi (penanaman pohon) tentu yang paling utama,” kata Muslich.
Namun, menghijaukan puncak bukan menjadi persoalan yang mudah. Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung Een Irawan Putra mengatakan, terjadi tumpang tindih regulasi terkait pengaturan kawasan puncak. Terdapat lahan yang dinyatakan sebagai Kawasan Lindung, tetapi di sisi lain lahan itu juga bisa menjadi Kawasan Produksi, atau Perkebunan.
FWI menemukan, seluas 445 hektar Kawasan Lindung berubah fungsi menjadi Hutan Produksi, Pertanian, dan Permukiman. Seluas 704 hektar lahan yang diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung juga berubah fungsi menjadi Kawasan Perkebunan.
“Ini yang harus dilihat kembali oleh pemerintah. Bagaimana tumpang tindih fungsi kawasan dan inkonsistensi regulasi yang sudah dikeluarkan itu harus dihindari,” kata Een. Ia menginginkan agar kawasan puncak itu dikembalikan fungsinya seperti semula sebagai Kawasan Lindung untuk meminimalisasi terjadinya bencana alam.
Seluas 445 hektar Kawasan Lindung berubah fungsi menjadi Hutan Produksi, Pertanian, dan Permukiman.
Hal itu diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 199 Tentang Penetapan Kawasan Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur) sebagai Kawasan Konservasi Air dan Tanah dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Lindung untuk Konservasi Air dan Tanah. Namun, Een menilai, pemerintah selama ini tidak menjadikan kedua peraturan itu sebagai landasan dalam memberi perizinan dan alih fungsi lahan selama ini.
“Negosiasi yang melanggar aturan dan keterlanjuran pengrusakan lingkungan yang terkesan dibiarkan oleh pihak yang memiliki kewenangan, dalam hal ini Pemerintah Daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria, dan PT Perkebunan Nusantara,” kata Een. “Akhirnya dampak dari semua ini adalah bencana sehingga menimbulkan korban.”
Pada Kompas (10/2), Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa mengatakan, daya dukung lingkungan di kawasan Puncak dan sekitarnya, di Kabupaten Bogor akan diperkuat untuk mengantisipasi longsor di masa datang. Hal tersebut akan dilakukan dengan penghijauan agar bencana serupa tak berulang.
Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Supardiono Sobirin mengatakan, penataan ruang harus mengacu pada konsep alami dan kondisi alam setempat.
“RTRW harus mengacu pada kemiringan lereng, curah hujan, serta jenis tanah. Jika skornya tinggi, pemkab harus tegas menetapkan kawasan itu sebagai kawasan lindung, dan ini harus benar-benar ditegakkan,” kata dia. (DD16)