Upah Rill Petani Terus Menurun
JAKARTA, KOMPAS — Gejolak harga bahan pangan dinilai menjadi penyebab utama terus menurunnya daya beli petani di Indonesia. Kebijakan non-harga yang bersifat multistruktur perlu diambil pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
”Gejolak pangan, terutama harga beras, yang menyebabkan daya beli petani menurun. Saya melihat tidak hanya di buruh tani pangan, tetapi juga buruh tani perkebunan juga mengeluh,” ujar Muhammad Nurudin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Indonesia (API), saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (18/2).
Menurut Gus Din, sapaan akrab Muhammad Nurudin, kebijakan non-harga yang diberlakukan pemerintah terhadap petani tidak boleh sebatas memberikan insentif di tingkat budidaya. Insentif yang bersifat multistruktur meliputi budidaya, pengolahan, pascapanen, dan pemasaran juga harus diberikan kepada petani. Hal itu dipandang dapat meningkatkan upah riil petani.
Selain kebijakan non-harga, kebijakan harga yang telah diterapkan pemerintah dinilai Gus Din perlu dievaluasi. Harga pembelian pemerintah (HPP) harus disesuaikan dengan upah rill yang didapat petani saat ini. Harga eceran tertinggi (HET) yang ada saat ini juga dinilainya belum banyak membantu petani.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa upah riil petani di Indonesia pada Januari 2018 mengalami penurunan dibandingkan kondisi satu bulan sebelumnya. Padahal, upah nominal yang didapat petani pada periode yang sama mengalami peningkatan.
Upah riil buruh tani pada Januari tercatat Rp 37.450 per hari, sementara pada Desember 2017 upah riil para petani tercatat Rp 37.507. Penurunan upah riil yang dialami petani dari Desember 2017 ke Januari 2018 sebesar 0,15 persen secara month to month (m-t-m).
BPS mendefinisikan upah riil sebagai perbandingan antara upah nominal dan indeks konsumsi rumah tangga. Upah riil menggambarkan daya beli dari pendapatan atau upah yang diterima buruh. Adapun upah nominal merupakan total upah yang diterima seorang petani sebagai balas jasa dari apa yang dikerjakannya.
Jika dilihat dari upah nominal yang diterima, buruh tani menikmati jumlah pendapatan per hari yang meningkat. BPS mencatat, upah nominal petani pada Januari 2018 sebesar Rp 51.110, sementara pada Desember 2017 upah nominal tercatat Rp 50. 568, bisa dipahami upah nominal buruh tani mengalami kenaikan 1,07 persen.
Meski demikian, kenaikan upah nominal seolah tidak memiliki arti karena angka tersebut tidak dipengaruhi kenyataan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat yang juga naik. Oleh karena itu, upah rill menjadi salah satu indikator yang penting untuk menilai kesejahteraan petani.
”Kalau pendapatannya naik, harga-harga juga naik, ya sama saja. Tidak ada artinya. Makanya, stabilisasi harga (bahan pokok) menjadi kunci penting,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Kecuk Suhariyanto.
Dalam tiga bulan terakhir, upah rill petani cenderung mengalami penurunan. Kecenderungan menurun mulai terlihat pada November saat upah riil tercatat Rp 37.802, padahal sebelumnya upah riil pada Oktober tercatat Rp 37.860.
Menurut Kecuk, penurunan upah riil dipengaruhi nilai inflasi yang terjadi. Secara nasional, inflasi yang terjadi pada Januari 2018 adalah 0,62 persen. Kontribusi tertinggi penyebab inflasi adalah harga bahan makanan dengan andil terhadap inflasi sebesar 0,48 persen.
Adapun inflasi yang terjadi di perdesaan pada Januari 2018 adalah 1,22 persen. Inflasi tersebut lebih tinggi ketimbang inflasi yang terjadi pada Desember 2017 sebesar 1,04 persen. Kenaikan harga barang konsumsi rumah tangga, terutama kelompok bahan makanan, menjadi salah satu penyebab utama.
Buruh bangunan
Keadaan buruh tani berbanding terbalik dengan keadaan upah rill buruh bangunan yang justru mengalami kenaikan pada Januari 2018 secara m-t-m sebesar 0,26 persen. Upah riil buruh bangunan pada Januari tercatat Rp 64.501 per hari dari bulan sebelumnya yang tercatat Rp 64.332.
Adapun upah nominal buruh bangunan mencatat adanya kenaikan 0,89 persen. Pada Desember 2017, upah buruh bangunan adalah Rp 84.454 per hari, sementara pada Januari naik menjadi Rp 85.206 per hari.
Kecuk mengatakan, perbedaan kondisi upah rill buruh bangunan dan buruh tani harus menjadi perhatian pemerintah. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan beralihnya para buruh tani menjadi buruh bangunan.
”Kita tidak bisa membiarkan perpindahan itu (buruh tani menjadi buruh bangunan) karena kalau pindah semua, nanti bagaimana untuk buruh taninya?” ujar Kecuk.
Sementara itu, Gus Din menilai kenaikan upah buruh bangunan tidak lepas dari kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tengah gencar membangun infrastruktur. Meski demikian, mahalnya harga bahan pokok dinilai masih menjadi momok bagi seluruh buruh, baik bangunan maupun buruh tani.
Nilai tukar petani
Menurut Kecuk, indikator lain yang dapat dilihat untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP). NTP didefinisikan sebagai perbandingan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang harus dibayar petani. Jadi, semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani di perdesaan.
Sama halnya dengan upah rill, NTP juga mengalami penurunan pada Januari 2018 dibandingkan Desember 2017. NTP pada Januari adalah 102,92, sementara pada Desember NTP tercatat berada pada angka 103,06 atau mengalami penurunan sebesar 0,14 persen.
Kecuk menilai kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah saat ini tidak menambah tekanan terhadap kesejahteraan petani. Menurut dia, kebijakan impor beras hanya bersifat menjaga ketersediaan cadangan beras di Indonesia.
”Beras impor hanya 500.000 ton. Itu presentasenya kecil karena kebutuhan beras kita 2,5 juta ton dan sudah dijanjikan (pemerintah) bahwa impor beras itu digunakan untuk cadangan, bukan masuk langsung ke gudang,” ujar Kecuk. (DD14)