Dibutuhkan Regulasi untuk Tangkal Penyalahgunaan
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi yang dapat mengatur keberadaan uang virtual di Indonesia dinilai dibutuhkan. Hal itu guna melindungi masyarakat Indonesia serta antisipasi terhadap berbagai transaksi yang berdampak buruk bagi masyarakat.
CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan mengatakan, jika tidak ada regulasi yang mengatur keberadaan uang virtual di Indonesia, maka transaksinya akan terjadi secara diam-diam dan cenderung disalahgunakan.
”Produk uang kripto (uang virtual) yang digunakan sebagai komponen pencucian uang atau terorisme tidak akan terkontrol. Makanya, harus diatur dengan baik,” ujar Oscar di Jakarta, Senin (19/2).
Fenomena uang virtual mulai menjadi sorotan di Indonesia sejak tahun lalu, salah satu produk yang paling dikenal masyarakat Indoneisa adalah bitcoin. Nilai pasar keseluruhan uang virtual mencapai 751,45 miliar dollar AS (Kompas, 3/2).
Bahkan, salah satu prodak uang virtual yang dikenal di Indonesia, yaitu bitcoin, mengalami peningkatan nilai yang sangat tinggi di atas 1000 persen (Kompas, 30/1),
Meski begitu, pada pertengahan Januari 2018, Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia menegaskan, uang virtual bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Hal itu merujuk UU No 7 Tahun 2011 tentang mata uang, yang hanya mengakui rupiah dalam setiap transaksi pembayaran dan keuangan di Indonesia.
Bank Indonesia menilai, uang virtual dapat merugikan masyarakat karena berpotensi dijadikan alat penggelembungan uang, pencucian uang, dan pendanaan teroris. Kepemilikan uang virtual pun dinilai sangat spekulatif karena tidak ada yang bertanggung jawab terhadap peredaran uang virtual tersebut. Akan tetapi, belum ada regulasi terkait perdagangan uang virtual sebagai komoditas.
”Uang virtual sebagai alat pembayaran di Indonesia memang ilegal, seperti halnya mata uang negara lain. Lagi pula, saya juga tidak mau menganggap uang virtual itu sebagai mata uang atau alat pembayaran. Saya lebih suka menyebutnya aset digital. Uang virtual sebagai komoditas itu yang harus ada regulasinya di Indonesia,” tutur Oscar.
Menurut Oscar, selain ilegal sebagai alat pembayaran, uang virtual juga tidak memiliki landasan hukum jika diperlakukan sebagai efek atau sekuritas. Namun, uang virtual memiliki landasan hukum sebagai komoditas jika merujuk UU No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan. Dalam UU itu, perdagangan barang tidak berwujud melalui sistem elektronik diakui.
”Ini sudah ada landasan hukumnya, tetapi perlu peraturan turunan lainnya, baik itu permen (peraturan menteri) atau jenis peraturan lain untuk merincinya karena belum cukup regulasi yang ada saat ini,” kata Oscar.
Menurut Oscar, keberadaan regulasi di Indonesia yang mengatur keberadaan uang virtual akan melindungi konsumen dari segala kemungkinan terburuk, contohnya jika sistem yang ada diretas.
Seperti yang diketahui, salah satu risiko dalam kepemilikan uang virtual adalah potensi peretasan. Pada 2014, MtGox perusahaan di Jepang yang melakukan transaksi bitcoin mengalami kerugian sebesar 0,5 miliar dollar AS karena dompet virtual miliknya dan kliennya hilang dicuri perusak perangkat lunak komputer.
Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan, di mana salah satu perusahaan bursa penukaran mata uang virtualnya, yaitu Bithumb mengalami kerugian senilai 1 juta dollar AS karena dompetnya diretas (Kompas, 3/2).
Peneliti dari Internet Development Institute (ID Institute), Alfons Tanujaya, mengatakan, uang virtual merupakan produk internasional. Oleh karena itu, jika terjadi kehilangan atau pencurian terhadap uang virtual milik klien, hal itu akan sangat sulit dilacak.
”Sepengetahuan saya, jika dompet atau bitcoin hilang ya sudah tamat. Tidak bisa dikembalikan lagi,” ujar Alfons yang juga merupakan seorang ahli antivirus.
Optimistis
Meski begitu, Oscar tetap optimistis dalam menatap masa depan uang virtual, terutama bitcoin. Ia menilai fenomena uang virtual di Indonesia merupakan sebuah hal yang baru, terlebih transaksi uang virtual di Indonesia, menurut dia, tidak melebihi 10 persen dari total transaksi bitcoin di dunia.
Ihwal regulasi di Indonesia, Oscar melihat kecenderungan negara-negara maju dalam mengatur uang virtual akan berpengaruh. Ia menyampaikan, negara anggota G-7, yaitu AS, Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, dan Italia, telah memiliki regulasi yang baik dalam mengatur keberadaan uang virtual.
Semua anggota negara G-7 telah mengatur keberadaan uang virtual sebagai komoditas, kecuali Perancis yang belum diketahui. Perancis diketahui hanya mengatur keberadaan uang virtual sebagai efek atau sekuritas. Adapun, uang virtual telah diakui sebagai alat pembayaran yang sah oleh AS, Jepang, dan Italia.
”Saya optimistis karena negara anggota G-7 yang secara perekonomian lebih baik dibandingkan Indonesia pun telah memiliki regulasi tentang uang kripto. Kita tunggu saja, pertemuan G-20 selanjutnya yang juga akan membahas uang kripto ini,” ujar Oscar.
Aswin Tanzil, pendiri bitmastery.id, menilai, pemerintah perlu melihat peluang dari keberadaan uang virtual. Menurut dia, gerakan uang virtual tidak bisa dibendung karena bersifat global.
”Sesuatu yang baru, daripada ditolak, lebih baik diregulasi. Ini gerakannya global. Kalau pemerintah tidak meregulasi, peluang uangnya akan lari ke negara lain,” kata Aswin.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, keberadaan uang virtual sebagai komoditas ialah pilihan masyarakat. Namun, pandangan otoritas keuangan akan uang virtual perlu dijadikan pertimbangan utama. Pihaknya juga mengakui, sampai saat ini terus memantau evolusi dari uang virtual. (DD14)