Kawasan Puncak di Ambang Kehancuran
Hijau hutan nan permai terus berganti rupa menjadi belantara beton di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Vila-vila, rumah hunian, dan bangunan komersial menjamur di lereng-lereng curam serta bantaran sungai tanpa ada kendali. Dengan kata lain, Puncak kini berada di ambang kehancuran ekologi.
“Dulu bukit-bukit di sini itu lahan garapan warga dan hutan, tetapi sekarang banyak berubah jadi vila. Kebanyakan yang punya ya orang-orang Jakarta,” ujar Toha (58), warga Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Minggu (11/2).
Dulu bukit-bukit di sini itu lahan garapan warga dan hutan, tetapi sekarang banyak berubah jadi vila. Kebanyakan yang punya ya orang-orang Jakarta
Kawasan Puncak di Bogor meliputi tiga kecamatan yakni, Cisarua, Megamendung, dan Ciawi. Tiga wilayah itu dibelah oleh Jalan Raya Puncak yang jadi akses utama Bogor–Cianjur. Hampir setiap pekan, jalanan ini dipadati mobil-mobil berpelat nomor Jakarta dan sekitarnya.
Sejak Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) pada 1808 yang turut melintasi kawasan Puncak, akses menjadi terbuka dan perlahan mengubah Puncak. Satu abad berselang, perkebunan teh mulai berkembang dan mereduksi tutupan hutan.
Jalan Raya Pos yang membentang sekitar seribu kilometer dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur, itu merupakan adikarya masa lalu. Seperti disebutkan Pramoedya Ananta Toer dalam “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”, pembangunan jalan itu juga menunjukkan secara getir kisah perbudakan yang pernah terjadi di negeri ini. Namun, terlepas dari kisah kelam itu, Daendels turut menyumbang dasar pengembangan tata ruang kota.
Di Puncak, terjadi perubahan tata ruang begitu pesat dalam 20-30 tahun terakhir. Dengan bentangan alam yang hijau dan hawa sejuknya, Puncak mewujud sebagai primadona wisata. Warga luar kota pun turut bermigrasi ke Puncak untuk ikut menyesap remah-remah ekonomi yang terus tumbuh.
Sejalan dengan kondisi itu, banyak warga setempat tergiur untuk melepas tanah mereka kepada pemilik modal asal Jakarta. Toha mengingat turut menjual lahan garapan yang dia miliki pada pertengahan 1980-an seluas 400 meter persegi.
Banyak warga setempat tergiur untuk melepas tanah mereka kepada pemilik modal asal Jakarta
Tanah tanpa sertifikat itu dibeli warga Jakarta seharga Rp 500 rupiah per meter persegi. “Sebenarnya saya tidak berniat menjual, tetapi lahan di kanan-kiri saya dijualin dan diberi pagar. Mau enggak mau saya ikut jual,” kata Toha mengisahkan.
Alhasil, Puncak yang awalnya berupa hamparan kebun teh, hutan, dan hunian warga kemudian disesaki vila, hotel, restoran, obyek wisata, dan bangunan komersial lain. Alih fungsi lahan yang memicu perubahan tata ruang mulai tak terkendali. Kondisi ini berujung pada kerusakan lingkungan.
Vila ilegal bertebaran
Vila-vila dan hunian warga tampak berdesakan berebut lahan di Puncak. Dan, sebagian di antara vila yang megah itu berstatus ilegal. Bangunan yang tak berizin ini biasanya berada di tebing terjal, apakah itu mengokupasi kawasan lindung, lahan garapan warga, atau perkebunan negara.
Salah satu bangunan yang diduga liar itu adalah Vila Gardenia di RT 006 RW 04, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Vila yang terdiri atas dua ruangan besar terpisah itu dibangun di atas lereng terjal dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Sepeda motor pun ngos-ngosan jika harus digeber menanjak ke jalan di samping vila.
Pada akhir 2013 lalu, Pemerintah Kabupaten Bogor membongkar 239 vila ilegal di Puncak karena tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Namun, setahun berselang sebagian vila tersebut sudah kembali kokoh menjulang, termasuk Vila Gardenia. “Vila ini sudah beroperasi lagi tahun 2014, warga juga bingung kok bisa vila yang sudah dibongkar dibangun lagi,” kata Asep (47), warga Desa Tugu Utara.
Saat didatangi, Senin (12/2), vila tersebut dalam kondisi kosong. Terdapat kertas yang ditempel di tembok salah satu bangunan bertuliskan nomer telepon penjaga vila. Ketika dihubungi, Mail (23), penjaga Vila Gardenia terdengar kaget. Dia mengaku tak tahu jika vila itu pernah dibongkar. “Saya baru bekerja jaga vila disini tiga bulan terakhir,” ucap Mail.
Mail mengakui, Vila Gardenia dimiliki oleh warga luar Puncak. Mail dipercaya untuk menjaga dan mengelola vila yang disewakan dengan harga Rp 1,7 juta hingga Rp 2,2 juta per malam untuk setiap ruangan yang mampu menampung 20 orang.
Persis di belakang bangunan Vila Gardenia terdapat bekas longsoran tanah yang tampak baru terjadi. Tanah berwarna coklat kemerahan itu menyeret pohon-pohon yang sebelumnya berada di tebing hingga ke pinggir jalan.
Tidak jauh dari Vila Gardenia, terdapat Vila Yustina yang juga sudah tegar berdiri di lereng terjal setelah dibongkar pada 2013. Vila yang pagarnya tertutup rapat itu dibangun di lahan cukup luas dan terletak di pinggir jalan berbatu yang rusak.
Merujuk pada temuan Forest Watch Indonesia, jaringan pemantau hutan independen, tidak hanya Vila Gardenia dan Yustina yang dibangun lagi pasca-dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Bogor di Cisarua. Terdapat beberapa vila lain, seperti Vila Kaca, Vila Parlindungan Siregar, dan Vila Kristin.
Iryanto, Kepala Bidang Kawasan Permukiman Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kabupaten Bogor, mengungkapkan, vila yang dibangun di lereng terjal dipastikan tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Secara kajian teknis, bangunan tidak boleh didirikan di atas tanah yang curam.
Meskipun tanpa izin, vila-vila itu tetap dibiarkan kembali berdiri megah. Belum ada lagi tindakan nyata dari pemerintah setelah pembongkaran lima tahun silam. Iryanto menyebutkan, ada kemungkinan pemilik vila membandel karena merasa sudah mendapat “restu” warga atau aparat pemerintahan setempat.
Namun, Ketua RW 06 Desa Tugu Utara Nanang menyangkal, jika vila-vila yang pernah dibongkar dan dibangun lagi di lereng yang terjal itu meminta restu kepada warga maupun RT/RW setempat. Sebab, pemilik vila yang mendirikan kembali bangunan tidak melapor dulu kepadanya.
Andai pun pemilik vila melapor, Nanang mengaku hanya berani memberi rekomendasi pembangunan vila di tempat yang aman dan sudah mengantongi izin dari Pemkab Bogor.
“Kalau (vila) yang ada di tempat berbahaya, saya tidak berani mengizinkan. Misal diberi uang pun Rp 500 ribu atau Rp 1 juta untuk surat izin saya tetap takut,” kata Nanang, ketika ditemui di rumahnya yang berada di bantaran Sungai Ciliwung.
Ketua RT 006 RW 04 Beni Permana mengaku tahu jika vila-vila yang tadinya dibongkar itu dibangun lagi, tetapi dia tidak mendapat laporan. Kendati demikian, Beni berdalih, vila yang dibangun di daerah curam itu jauh dari permukiman warga. “Kemungkinan izinnya langsung ke kabupaten atau ke kepala desa,” kata Beni mengelak.
Padahal, warga seperti Asep dan Toha sadar dan khawatir maraknya pembangunan vila di Tugu Utara dapat memicu bencana dan membahayakan warga. Dibanding daerah lain di Puncak, Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan di Cisarua merupakan yang paling masif alih fungsi lahannya.
Berdasarkan hasil riset Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB), terjadi perubahan tutupan lahan seluas 126,5 hektar di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, pada rentang waktu 2003–2008. Jumlah itu mencakup 3,46 persen dari luas kedua desa tersebut.
Tutupan lahan meningkat drastis di Tugu Selatan dan Tugu Utara pada periode 2008–2014. Terdapat 454,2 hektar lahan berubah atau berkisar 12,37 persen dari total luas dua desa. Lahan yang awalnya menjadi area resapan air tersebut dicaplok bangunan yang sebagian justru tak berizin.
Etalase pelanggaran hukum
Pemantauan IPB sejalan dengan analisis Forest Watch Indonesia (FWI) pada rentang waktu 2000–2016 yang menyebutkan, setidaknya 5.700 hektar hutan alam di kawasan Puncak hilang. Kini, yang tersisa hanya 21 persen dari total wilayah hulu daerah aliran sungai Ciliwung.
Dari jumlah itu, seluas 335,4 hektar hutan yang beralih fungsi berada di dalam kawasan konservasi. “Jika kawasan Puncak rusak, maka daerah yang berada di hilir sungai juga ikut terdampak,” ungkap Anggi Putra Prayoga, juru kampanye FWI.
Jika kawasan Puncak rusak, maka daerah yang berada di hilir sungai juga ikut terdampak
Kawasan Puncak tidak hanya menjadi hulu dari Sungai Ciliwung, tetapi juga tiga sungai besar lain, yakni Sungai Cisadane, Citarum, dan Kali Bekasi. Deforestasi, pelanggaran tata ruang, dan alih fungsi lahan di kawasan Puncak dipastikan memengaruhi kejadian banjir atau longsor di daerah hilir, seperti Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.
Entah disadari atau tidak, apa yang terjadi di Puncak seolah didesain oleh “tangan-tangan yang tak terlihat”. Kerusakan lingkungan diabaikan, tata ruang diselewengkan, dan pelanggaran hukum dipertontonkan. Menjamurnya bangunan liar di atas kawasan lindung adalah gambaran nyata penyelewengan.
“Kawasan Puncak itu seperti etalase pelanggaran hukum. Inkonsistensi tata ruang di puncak tampak nyata. Antara yang direncanakan dengan yang real berbeda sekali,” ujar Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah IPB Ernan Rustiadi.
Terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur mencantumkan bahwa kawasan Puncak membutuhkan perencanaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Namun, menurut Ernan, Perpres yang mengatur tata ruang Jabodetabekpunjur ini belum cukup untuk Puncak karena perlu diikuti rencana rinci.
Alasannya, rencana rinci dapat mengatur secara ketat sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran dan memuat pengendalian tata ruang yang lebih efektif. Meskipun penyebutan “Puncak” di Perpres sudah menunjukkan adanya perhatian khusus, nyatanya perusakan lingkungan masih terus terjadi.
Daya dukung lingkungan yang terlampaui membuat bom waktu bencana terus mengintai.
Daya dukung lingkungan yang terlampaui membuat bom waktu bencana terus mengintai. Peristiwa longsor pada Senin (5/2) yang memutus Jalan Raya Puncak menunjukkan riak dari potensi bencana yang kapan saja dapat meledak. Seorang pedagang tewas dan beberapa orang terluka akibat kejadian di lima titik itu.
“Memang beberapa kali di sini pernah longsor. Tapi, bencana kali ini merupakan yang terbesar di Puncak,” tutur Nanang, yang tinggal di Puncak sejak tahun 1976.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rudy Suhendar mengatakan, kawasan puncak berbahaya karena tanahnya terus bergerak. Itu disebabkan oleh jenis tanah berupa endapan vulkanik yang bersifat gembur dan tingginya tingkat alih fungsi lahan di kawasan tersebut.
Tanah dan batuannya itu sudah rentan. Rentan itu artinya memiliki karakteristik mudah longsor. Khususnya untuk daerah perbukitan yang memiliki lereng-lereng terjal
“Tanah dan batuannya itu sudah rentan. Rentan itu artinya memiliki karakteristik mudah longsor. Khususnya untuk daerah perbukitan yang memiliki lereng-lereng terjal,” kata Rudy.
Rudy menjelaskan, tingginya alih fungsi lahan berakibat pada berkurangnya vegetasi. “Longsor disebabkan oleh air yang berlebih yang masuk ke tanah. Alih fungsi lahan ini mengurangi vegetasi, ada perubahan tutupan lahan. Itu menyebabkan ketidakseimbangan,” ungkap Rudy.
Saat ditemui di rumah dinasnya, Selasa (13/2), Bupati Bogor Nurhayanti memastikan bakal menindak tegas bangunan-bangunan tak berizin yang didirikan dengan menyalahi tata ruang. “Ya dibongkar. Apalagi tidak sesuai dengan tata ruang. Tapi, kita sekarang melakukan pendataan dulu, dari kepemilikan tanah, dari sisi IMB-nya,” tutur Nurhayanti.
Terkait adanya vila-vila ilegal yang kembali dibangun pasca-pembongkaran tahun 2013, Nurhayanti menyebutkan, hal itu dapat terjadi karena adanya oknum yang bermain dalam memberikan izin. “Itu seperti kucing-kucingan. Ada oknumnya,” kata Nurhayanti.
Untuk itu, Nurhayanti mengaku siap memberi sanksi kepada aparatur sipil negara di lingkungan Pemkab Bogor jika terbukti terlibat dalam pemberian izin di areal yang menyalahi tata ruang.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/19/bupati-bogor-nurhayanti-perlu-duduk-bersama-untuk-menata-puncak/
Saat ditanya apakah Pemkab Bogor kesulitan untuk menertibkan bangunan liar karena sebagian pemilik vila adalah pejabat dan orang-orang penting, Nurhayanti enggan menjawab.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/19/usulan-moratorium-izin-mengemuka/
Saat ini, wajah Puncak sudah semakin rusak dan berada di ambang kebinasaan lingkungan. Tanpa ada tindakan nyata dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, bencana berpotensi terus terjadi dan memakan korban. Apakah itu yang memang diinginkan? (DD16)