”Kota Udang” Tak Punya Udang
Berabad-abad silam, udang menghidupi warga Cirebon, Jawa Barat. Bahkan, nama Cirebon juga berasal dari Ci (air) dan rebon (anak udang). Namun, kini tidak ada udang di Cirebon. Yang tersisa cuma empat patung udang berwarna keemasan yang bertengger di puncak gedung Balai Kota Cirebon.
- English Version: \'Shrimp City\' That Has No Shrimp
Hilangnya udang tidak terlepas dari kerusakan ekosistem laut, salah satunya dipicu maraknya penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Kerusakan lingkungan juga merugikan nelayan.
Seperti yang dialami Miskad (59) yang menambatkan perahunya di Samadikun, salah satu kampung nelayan di Kota Cirebon. Ia menjaring udang sejak subuh di pesisir Cirebon, tetapi hanya menghasilkan 1 kilogram udang. Jika diuangkan cuma Rp 40.000, tidak cukup untuk membeli bahan bakar esok harinya.
”Ini namanya tekor,” kata Miskad, ayah tujuh anak.
Bagi Miskad, mencari udang di ”Kota Udang” semakin sulit. Katanya, ibarat mencangkul di tanah yang kering kerontang. Padahal, puluhan tahun lalu, udang dengan gampang ditemukan bergerombol di pinggir laut pada musim angin barat, sebelum Maret.
Pada 1980-an, dari subuh hingga tengah hari, dia mampu membawa pulang 80 kg udang. Saat itu, belum banyak nelayan, termasuk Miskad, yang menggunakan mesin kapal.
Harga udang pun tidak main-main, mencapai Rp 20.000 per kg. Jauh lebih mahal dibandingkan ikan saat itu yang hanya Rp 400 hingga Rp 1.500 per kg. Tak heran, udang menjadi komoditas ekspor sejak dulu, bahkan hingga kini. Itu sebabnya, nelayan dari Kabupaten Cirebon, Indramayu, bahkan beberapa daerah di Jawa Tengah berlomba-lomba mengais rezeki ke perairan Cirebon.
”Perahu semakin banyak dengan berbagai alat tangkap, dari arad, dogol, garuk, sampai pukat cincin. Ini salah satu penyebab udang mulai berkurang,” ujar Miskad, yang melaut sejak 1975.
Miskad menggunakan alat tangkap jaring dengan mata jaring lebih dari 1,5 inci saat itu. Sederet alat tangkap itu, sesuai data Kementerian Kelautan dan Perikanan, merupakan alat tidak ramah lingkungan. Mata jaring yang sempit, hingga di bawah 1 inci, membuat benur udang dan anak ikan ikut terjaring.
Jangkauan operasi yang menyisir hingga ke dasar laut juga membuat tiram dan kerang rusak. Tempat tinggal biota laut itu kini tergantikan sampah rumah tangga dari plastik hingga popok bayi. Sampah itu tersebar antara lain di kawasan Samadikun, Pesisir, Bondet, hingga Losari. ”Kalau melaut, dapatnya sampah bukan udang,” ujarnya.
Tak lagi cari udang
Sulitnya mendapat udang membuat Kartam (44), nelayan di Kampung Pesisir, Panjunan, Kota Cirebon, berhenti mencari udang tiga tahun lalu. Soalnya, udang kini harus dicari di tengah lautan, lebih dari lima jam perjalanan. Sementara modal butuh Rp 1,5 juta.
”Padahal, awal 2000-an, kami masih bisa menangkap udang di pinggir laut. Kalau pas musimnya, dapat Rp 10 juta itu biasa,” ujar Kartam, menunjuk laut yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari permukiman. Saat itu, laut masih berwarna biru.
Kartam juga tidak tahu pasti penyebab udang menghilang. Kini, muara di Kampung Pesisir tampak kehitaman. Daerah tersebut terletak tepat di samping Pelabuhan Cirebon, yang beberapa tahun terakhir melayani bongkar muat batubara.
Udang ukuran kecil, atau dikenal dengan rebon, juga kini muncul paling lama empat bulan setelah musim angin barat. Meskipun lebih murah, sekitar Rp 10.000 per kg, rebon tetap menjadi tumpuan nelayan Cirebon. Komoditas ini menjadi bahan baku terasi.
Harganya pun mencapai Rp 60.000 per kg. Terasi buatan istri nelayan digemari sebab bahan utamanya rebon, tidak bercampur ikan. Itu sebabnya, terasi menjadi salah satu oleh-oleh khas Cirebon.
Susahnya mendapatkan udang juga terekam dalam data produksi Dinas Pangan, Pertanian, Kelautan, dan Perikanan (PPKP) Kota Cirebon. Pada 2008, produksi udang di perairan Kota Cirebon sepanjang 7 kilometer mencapai 196 ton. Jumlah ini menurun menjadi 112,5 ton pada 2014 lalu anjlok hingga 79,4 ton pada 2015.
”Untuk 2016 dan 2017 sudah tidak ada data yang spesifik pada komoditas udang. Produksinya semakin sedikit,” ujar Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Dinas PPKP Kota Cirebon Erythrina Oktiyani.
Pada saat yang sama, industri pengolahan udang belum eksis. Menurut dia, hanya ada satu industri pembuatan terasi di Kota Udang. Padahal, terasi khas Cirebon dikenal luas. Tempat oleh-oleh di Cirebon kini banyak menjual terasi Indramayu.
Cai rebon
Realitas ini menunjukkan hilangnya identitas Cirebon sebagai Kota Udang. Padahal, identitas itu melekat berabad-abad silam. Dikisahkan, pada abad ke-14, Ki Cakrabumi, pendiri Cirebon, menjamu para menteri dari Rajagaluh dengan menu gragal (rebon atau udang kecil yang ditumbuk). Para tamu memuji makanan yang disebut terasi itu. Ki Cakrabumi lalu menjawab dalam bahasa Sunda, mundak caina (apalagi airnya).
Setelah mencoba, mereka menikmatinya. Mereka pun meminta lagi dan lagi sambil berteriak ”cai rebon, cai rebon” (air rebon). Sejak saat itu, daerah tersebut dinamakan ”Cairebonan”, yang lalu menjadi Cirebon.
Udang bahkan menjadi salah satu gambar dalam lambang Kota Cirebon. Udang rebon berwarna kuning emas itu bermakna, hasil laut telah memberikan kemakmuran kepada warga Cirebon. Patung udang juga terpampang di Balai Kota Cirebon.
Ketua Nelayan Ambulu, Cirebon, Samsurudin, berharap kebijakan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan bisa mengembalikan bagusnya ekosistem laut Cirebon.
Bagusnya ekosistem laut dapat menyejahterakan nelayan karena produksi udang yang berlimpah. Tidak seperti sekarang, udang hanya berupa patung di gedung Balai Kota Cirebon.