Realisasi penanaman modal sepanjang 2017 mencapai Rp 692,8 triliun. Dari jumlah tersebut, 62,1 persen atau Rp 430,5 triliun adalah penanaman modal asing (PMA). Adapun penanaman modal dalam negeri (PMDN) hanya 37,9 persen atau sekitar Rp 262,3 triliun.
Dominasi realisasi PMA tidak hanya terjadi saat ini, tetapi telah terjadi sejak periode 1967-1977. Kompas edisi 19 Februari 1977 di halaman 1 menyebutkan, PMA periode 1967-Januari 1977 mencapai 6,8 miliar dollar AS. Sementara PMDN pada periode yang sama Rp 2,01 triliun.
Data tersebut menunjukkan, sedari dulu ”semangat” asing berinvestasi di Indonesia lebih menggebu-gebu dibandingkan investor dalam negeri. Populasi yang besar dengan kelas menengah yang terus tumbuh adalah pasar yang menjanjikan bagi para investor, selain juga kekayaan sumber daya alam. Tidak semua negara dengan populasi besar memiliki sumber daya alam sedahsyat negeri ini.
Jika pada 1977 hampir 40 persen PMA di Indonesia berasal dari Jepang, diikuti Amerika Serikat, Hong Kong, dan Filipina, pada 2016 posisi Jepang digeser Singapura (31,7 persen). Jepang di peringkat kedua (18,6 persen) dan ”pemain” baru China di peringkat ketiga (9,2 persen).
Hingga akhir Oktober 2016, investasi China mencapai 1,58 miliar dollar AS, meningkat 200 persen dibandingkan 2015. Para investor China menaruh minat besar di sektor pertambangan. Ini karena pasar China sangat memerlukan bahan baku tambang.
Formasi PMA itu langsung atau tidak langsung memberi pengaruh pada dunia usaha di Indonesia. Kini tinggal bagaimana Indonesia mengambil sikap, menimba pengalaman dan ilmu dari pelaku PMA untuk meningkatkan kemampuan teknologi dan kewirausahaan anak bangsa.
Di sisi lain, di tengah konsumsi rumah tangga yang menurun empat tahun terakhir, pertumbuhan investasi menjadi harapan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, hambatan yang menjadi penghalang berinvestasi harus segera diurai. Hambatan tersebut terutama dalam perizinan, beragam pungutan di daerah, dan kepastian hukum. (ely)