Nelayan Siap Ganti Alat
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas nelayan pengguna cantrang, sesuai hasil pendataan dan verifikasi Satuan Tugas (Satgas) Pengalihan Alat Tangkap Cantrang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bersedia beralih ke alat tangkap ramah lingkungan. Namun, mereka membutuhkan pendampingan dan akses permodalan untuk merealisasikan hal tersebut.
Hasil pendataan dan verifikasi satgas tersebut di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, awal Februari 2018, menunjukkan, terdapat 340 kapal cantrang dengan 193 pemilik. Dari jumlah itu, 191 pemilik atau 99 persen dari total pemilik kapal cantrang di Tegal bersedia meninggalkan cantrang dan beralih ke alat tangkap ramah lingkungan. Dua pemilik kapal cantrang tidak bersedia mengganti alat tangkap.
Di Kabupaten Rembang, Jateng, terdapat 125 orang dari 143 pemilik kapal cantrang yang bersedia beralih alat tangkap.
- English Version: Fishermen Ready to Replace Fishing Net
Pendataan dan verifikasi oleh satgas dilakukan menyusul kesepakatan Presiden Joko Widodo dan para nelayan cantrang pantai utara Jawa pada 17 Januari 2018. Dalam kesepakatan tersebut, Presiden mengizinkan kapal cantrang tetap beroperasi hingga proses peralihan alat selesai.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, satgas akan mengawal proses peralihan alat tangkap secara orang per orang mengingat permasalahan setiap pemilik kapal berbeda-beda. Selain mendata dan melakukan verifikasi, satgas juga mewawancarai pemilik dan mengecek fisik kapal.
Cantrang merupakan salah satu alat tangkap yang dilarang dioperasikan di seluruh perairan Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri KP No 02/2015 dan Peraturan Menteri KP No 71/2016. Cantrang dilarang, antara lain, karena merusak sumber daya ikan dan ekologi laut, serta memicu konflik antarnelayan. Cantrang tergolong dalam kelompok pukat tarik. Penarikan jaring cantrang menyebabkan terjadi pengadukan dasar perairan yang menimbulkan kerusakan sehingga berdampak signifikan terhadap ekosistem dasar bawah laut.
Mulanya, seperti data KKP, penggunaan cantrang diizinkan. Namun, di lapangan kemudian berkembang pengoperasian cantrang yang dimodifikasi. Salah satu modifikasinya, ukuran mata jaring (mesh size) diperkecil menjadi 0,75 inci hingga 1 inci. Ukuran mata jaring ini tidak sesuai Peraturan Menteri KP No 02/2011 yang menetapkan mata jaring selebar 2 inci atau lebih.
Belum tahu kapan
Sesuai pantauan tim Kompas pada Jumat (16/2), sebagian kapal cantrang di Pati dan Rembang sudah berangkat melaut. Sebagian lagi menunggu cuaca membaik.
Sunari (54), pemilik kapal di Rembang, mengatakan, saat kapal diverifikasi, dirinya menyatakan bersedia untuk beralih alat tangkap. ”Namun, saya belum tahu kapan akan benar-benar beralih. Sebab, itu tak semudah membalikkan tangan. Semuanya harus disiapkan,” ujarnya.
Sunari mengungkapkan, selain keterbatasan modal, dia juga harus memperhitungkan modifikasi kapal dan sumber daya manusia untuk melaut. Selain itu, yang lebih membebani, terkait hasil tangkapan dan nilai ekonomi yang lebih rendah ketimbang saat memakai cantrang.
Pemilik kapal lain asal Rembang, Karyadi (40), menyatakan, estimasi biaya penggantian alat tangkap dan modifikasi kapal lebih dari Rp 1 miliar. ”Sekarang saja masih ngutang Rp 500 juta di bank. Meski ada kemudahan, ia belum siap mengutang lagi,” ujarnya.
Sunari dan Karyadi termasuk nelayan yang cantrangnya dilarang beroperasi lagi, tetapi mendapatkan kelonggaran operasi. Keduanya juga telah menandatangani surat pernyataan kesediaan mengganti alat tangkap. Menurut Karyadi, yang utama kini, ia bisa melaut lagi karena sudah sebulan lebih menganggur. Selain terkendala izin, gelombang tinggi juga menghantui.
Mayoritas nelayan cantrang di Tegal juga mengatakan, penggantian alat tangkap perlu modal besar. Biaya juga diperlukan untuk menambah alat pendingin (freezer) di kapal. Modal untuk penggantian alat tangkap dan penambahan freezer mencapai Rp 3,8 miliar.
Di Cirebon, Jawa Barat, peralihan alat tangkap belum optimal. Bantuan alat tangkap dari pemerintah banyak yang tidak sesuai kebutuhan nelayan. Ini memicu nelayan kembali memakai alat tak ramah lingkungan.
Bantuan alat tangkap yang dinilai nelayan tidak sesuai kebutuhan, antara lain, berupa bubu rajungan. Di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, nelayan terpaksa mengeluarkan biaya untuk memodifikasi bubu bantuan KKP.
Di sejumlah wilayah lain, yakni Pandeglang, Banten, juga Lamongan, Jawa Timur, dan sejumlah kabupaten/kota di Sumatera Utara, masih berlangsung proses pendataan alat tangkap.
Rampung tahun ini
Ketua Satgas Pengalihan Alat Tangkap Cantrang KKP Laksamana Madya (Purn) Widodo mengatakan, proses pendataan dan verifikasi kapal cantrang, perizinan, dan penggantian alat tangkap diharapkan bisa selesai tahun ini.
Verifikasi dan validasi data tengah dilakukan terhadap kapal-kapal cantrang di pantura Jawa yang belum beralih alat tangkap. Terkait hal itu, pemerintah menyiapkan gerai-gerai perizinan kapal di lokasi tersebut.
Widodo menambahkan, gerai-gerai itu memberikan kemudahan dan kecepatan proses transisi alat cantrang. Proses perizinan membutuhkan waktu 2-4 hari, mulai dari cek fisik kapal hingga penerbitan surat keterangan melaut. Selanjutnya, dilakukan pendataan untuk fasilitasi permodalan.
Hingga pekan ini, verifikasi data dan perizinan kapal telah berlangsung di Kota Tegal dan Rembang. Proses serupa akan berlanjut di Batang, Pati (Jateng), dan Lamongan (Jatim).
Sejalan dengan proses penggantian cantrang, sejumlah nelayan diizinkan melaut dengan mengurus surat keterangan melaut. ”Perizinan sementara melaut diberikan hanya untuk pemilik kapal cantrang yang membuat surat pernyataan kesediaan beralih alat tangkap,” kata Widodo.
Susi Pudjiastuti menambahkan, pemerintah akan mengusahakan agar nelayan tidak kesulitan dalam permodalan. ”Akan difasilitasi ke perbankan,” katanya.
Kebijakan menata perikanan nasional tersebut, menurut Susi, adalah demi keuntungan nelayan juga. ”Kalau nelayan tidak setuju, perikanan nasional kesannya tidak mau diurus. Lalu kapal asing disuruh masuk lagi? Siapa yang rugi? Pasti nelayan yang merugi, bukan saya,” katanya. (BAY/IKI/ACI/DIT/WSI/BKY/FRN/LKT/DIA)