Pancasila Belum Menjadi Dasar Perekonomian di Indonesia
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pancasila belum menjadi pedoman dalam mengatur sistem perekonomian di Indonesia. Hal itu terlihat dari adanya ketimpangan ekonomi antar satu daerah dengan yang lainnya.
Pakar ekonomi dan lingkungan Prof (emeritus) Emil Salim mengatakan, pemerintah harus membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sesuai dengan nilai dari kelima sila Pancasila. Pada kenyataannya, Pancasila masih belum menjadi dasar pemerintah dalam mengatur kebijakan ekonomi di Indonesia.
“Perekonomian di Indonesia masih belum merata dan terdapat ketimpangan yang tinggi antara wilayah Jawa dan Sumatera dengan Indonesia bagian timur,” kata Emil dalam dalam Simposium Nasional bertajuk “Sistem Perekonomian Indonesia: Peluang dan Tantangan Ekonomi Pasar Pancasila” di Jakarta, Senin (19/2).
Acara tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), The Habibie Center (THC), dan Universitas Paramadina. Selain Emil, acara tersebut dihadiri Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Ekonomi-Politik Institut Pertanian Bogor Didin S Damanhuri, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani, Kepala Komisaris KPPU Syarkawi Rauf, mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto, Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta, dan beberapa tokoh ekonomi lainnya.
Emil mengatakan, meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat, tetapi masih belum merata. Menurut Emil, pertumbuhan tersebut masih didominasi oleh penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Sumatera.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2017 ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen lebih tinggi dibanding tahun 2016 sebesar 5,03 persen. Pertumbuhan tersebut didominasi oleh provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera. Kelompok provinsi di Pulau Jawa memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 58,49 persen, kemudian Pulau Sumatera sebesaar 21,66 persen.
Emil menyoroti ketimpangan tersebut di mana Pulau Jawa dan Sumatera memiliki PDB lebih dari 80 persen, sedangkan Indonesia bagian timur hanya memiliki PDB di bawah 20 persen. Padahal, ekonomi pasar Pancasila menekankan adanya pembagian keuntungan secara merata.
Guru Besar Ekonomi-Politik Institut Pertanian Bogor Didin S Damanhuri mengatakan, pembangunan yang dilakukan pemerintah masih fokus di Pulau Jawa dan untuk usaha kelas besar. “Pemerintah seharusnya membangun irigasi, bendungan, atau fasilitas untuk pengembangan perikanan,” kata Didin.
Menurut Didin, selama ini pemerintah membangun mal, Fly Over, dan fasilitas lain yang melancarkan barang impor masuk di Indonesia. Situasi tersebut menunjukkan rapuhnya pengembangan ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Ia menegaskan, Indonesia bagian timur, kelompok usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pertanian membutuhkan fasilitas untuk mendukung peningkatan perekonomiannya. Mereka juga membutuhkan kebijakan ekonomi makro dalam arti luas seperti perbankan, pasar modal, kebijakan fiscal, dan lain-lain.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, salah satu kaidah sistem ekonomi pasar Pancasila, yaitu adanya persaingan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Rosan, konsep keadilan sosial belum terjadi di Indonesia. Hal tersebut terlihat dengan tingginya Indeks Gini sebesar 0,39 dan hanya turun tipis dalam beberapa tahun terakhir.
Tantangan
Pemerintah memiliki sejumlah tantangan untuk mewujudkan sistem ekonomi pasar Pancasila di Indonesia. Selain ketimpangan ekonomi, ikatan sosial masyarakat juga semakin menipis. Rosan mengatakan, kebersamaan dan kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, terutama masyarakat perkotaan dan generasi milenial mulai berkurang.
Rosan menjelaskan, ketimpangan ekonomi di Indonesia mengakibatkan persaingan tidak seimbang. Persaingan tidak seimbang tersebut tidak akan diterima oleh kelompok yang kalah karena terpinggir. Akibatnya, azas kebersamaan dan kekeluargaan tidak akan terwujud.
Kepala Komisaris KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, untuk mengatasi ketimpangan tersebut, pemerintah harus membangun ekonomi kreatif pada usaha kecil dan menengah. Ia berharap, kerja sama antara unsur di hulu dan hilir saling terintegrasi.
Sebagai contoh, pemerintah mendorong petani agar tidak menjual gabah karena harganya yang terlalu rendah dibandingkan dengan menjual beras. Syarkawi menegaskan, pemerintah harus memfasilitasi petani peralatan untuk menunjang pekerjaannya. Model kerja sama tersebut akan menguntungkan semua pihak sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi. (DD08)