JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu berencana mengajak Komisi Pemilihan Umum untuk menyamakan persepsi mengenai pemaknaan ”sosialisasi” selama masa jeda sejak penetapan parpol peserta Pemilu 2019 dan jadwal kampanye.
Ketidakjelasan ini bisa menyulitkan pengawas ataupun partai politik (parpol) karena kampanye di luar jadwal diancam pidana.
Setelah penetapan 14 parpol peserta Pemilu 2019 pada Sabtu (17/2) dan diikuti dengan pengundian nomor urut parpol pada Minggu (18/2), waktu tunggu parpol hingga masa kampanye masih terbilang lama.
Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu 2019, parpol baru bisa berkampanye pada 23 September 2018 hingga 13 April 2019.
Dengan begitu, sejak parpol mendapat nomor urut hingga 23 September, parpol tidak boleh berkampanye. Namun, sejumlah parpol sudah mengisyaratkan akan membuat ”sosialisasi” nomor urut.
Ketidakjelasan ini bisa menyulitkan pengawas ataupun partai politik (parpol) karena kampanye di luar jadwal diancam pidana.
”Kami perlu membicarakan hal ini dengan KPU untuk mengantisipasi ruang kosong. Posisi kami, selama belum kampanye tidak boleh memasang alat peraga kampanye,” kata anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), M Afifuddin, di Jakarta, Senin (19/2).
Menurut Afif, Bawaslu sedang menghubungi KPU untuk membicarakan ”ruang” abu-abu tersebut. Bawaslu dan KPU, katanya, akan menyamakan persepsi mengenai bagaimana definisi kegiatan sosialisasi yang diperbolehkan selama masa jeda sekitar tujuh bulan itu serta apa yang membedakannya dengan definisi kampanye yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ketua Bawaslu Abhan menambahkan, pengaturan yang tidak jelas bisa menjadi persoalan. Di satu sisi, setelah penetapan, partai politik sudah menjadi subyek pengawasan Bawaslu.
Di sisi lain, kampanye yang dilakukan sebelum 23 September bisa dimaknai sebagai kampanye di luar jadwal dengan sanksi pidana bagi pelakunya.
Selain opsi memberi batasan yang jelas terkait definisi sosialisasi itu, opsi lain, kata Abhan, KPU langsung menetapkan tahapan kampanye sudah dimulai. Opsi-opsi ini akan dibicarakan dengan KPU.
”Memang diatur masa kampanye tidak panjang agar hemat biaya kampanye, tetapi hasrat peserta pemilu pasti menggebu-gebu untuk kampanye. Harus ada payung hukumnya,” kata Abhan.
Memang diatur masa kampanye tidak panjang agar hemat biaya kampanye, tetapi hasrat peserta pemilu pasti menggebu-gebu untuk kampanye.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memampatkan masa kampanye sehingga membuatnya berbeda dari kampanye Pemilu 2014.
Dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, yang menjadi acuan Pemilu 2014, disebutkan bahwa kampanye dilakukan tiga hari setelah calon peserta pemilu ditetapkan sampai dimulainya masa tenang.
Parpol peserta Pemilu 2014 ditetapkan KPU pada 8 Januari 2013, sedangkan masa tenang 6-8 April 2014. Dengan begitu, kampanye saat itu berlangsung dari 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014 (KPU, 2017).
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto juga mendorong agar penyelenggara pemilu segera mengatur mekanisme sosialisasi parpol agar tidak muncul kampanye ”liar”.
”Termasuk juga bagaimana kalau parpol memasang foto Presiden dalam spanduk. Apakah diperbolehkan? Karena Presiden juga simbol negara, bagaimana perlakuannya,” kata Sunanto.