BITUNG, KOMPAS — Laju pemutusan hubungan kerja karyawan pabrik ikan di Bitung berjalan beriringan dengan kenaikan produksi ikan Sulawesi Utara dalam tiga tahun belakangan. Nelayan tradisional menikmati berlimpahnya hasil tangkapan, tetapi pabrik ikan terus terpuruk.
Wali Kota Bitung, Sulut, Maximilian Lomban di Bitung, Senin (19/2), mengatakan, sektor perikanan di Bitung saat ini bagai dua sisi mata uang, yakni sisi gelap dan terang. ”Ikan berlimpah, tetapi industri perikanan justru terpuruk,” katanya.
Pada Senin siang, Lomban menemui sejumlah karyawan pabrik ikan PT Delta Indo Pasific Indo Tuna Bitung yang berunjuk rasa menyusul pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dari perusahaan. Lomban mengaku kehabisan kata-kata berbicara dengan para karyawan.
”Kenyataannya demikian, saya mau bilang apa. PHK dilakukan mungkin pabrik sudah tidak produksi. Mau apa lagi,” katanya.
Kuasa hukum PT Delta Indo Pasific Indo Tuna, Susilo, mengatakan, 512 karyawan terkena PHK akibat melakukan mogok kerja setelah tuntutan kenaikan gaji tidak dipenuhi perusahaan. ”Dalam undang-undang, aksi mogok kerja tidak dapat ditoleransi sehingga perusahaan melakukan PHK massal,” katanya.
Krisis industri perikanan di Bitung berimbas pada tindakan PHK oleh pabrik pengolahan ikan terhadap lebih dari 10.000 karyawan.
Menurut Lomban, krisis industri perikanan di Bitung berimbas pada tindakan PHK oleh pabrik pengolahan ikan terhadap lebih dari 10.000 karyawan. PHK juga terjadi pada sektor penangkapan, yakni 5.748 anak buah kapal. Hal itu menyusul tidak beroperasinya 479 kapal.
Lomban menyatakan sedih melihat karyawan terkena PHK. Peristiwa itu terus berulang terjadi di industri perikanan Bitung dalam tiga tahun belakangan. ”Hari ini kita menyaksikan 512 karyawan pabrik ikan juga harus kena PHK,” katanya.
Akan tetapi, keterpurukan industri perikanan di Bitung tidak berdampak pada kehidupan sebagian nelayan tradisional. Para nelayan mengaku ikan di laut kini melimpah dan dapat ditangkap dalam jarak dekat dari pantai.
Sebagian tangkapan nelayan tradisional yang menjadi armada semut dari sejumlah unit pengolahan ikan itu dijual ke pasar untuk konsumsi masyarakat. Nelayan tradisional menggunakan perahu bermesin ketinting hingga jenis pajeko berukuran di bawah 30 gros ton (GT).
Keterpurukan industri perikanan di Bitung tidak berdampak pada kehidupan sebagian nelayan tradisional.
Alex Linggar, nelayan tradisional di Bitung, mengatakan, jarak dan waktu melaut sekarang lebih dekat. Menurut dia, ikan dapat ditangkap hanya dalam jarak 1 mil laut hingga 5 mil laut (9,3 kilometer) dari pantai. Alex mengaku seorang diri melaut dan dapat menghasilkan 100-200 kilogram ikan jenis pelagis.
Ikan itu kemudian dijual kepada tibo-tibo (penadah) ikan dengan harga Rp 11.000 per kilogram. ”Setiap kali tarikan, jaring pasti penuh,” katanya.
Untuk tangkapan di atas 500 gram per ekor dijual ke pabrik pengolahan ikan di Bitung dengan harga lebih tinggi, yakni Rp 13.000 per kilogram.
Hal senada disampaikan Novi Inyo Thomas, nelayan di Manado yang mencari ikan dengan kapal motor jenis pajeko 30 GT. Menurut dia, dari melaut selama tiga hari, hasil dapat mencapai 10-20 ton ikan. Hasil tersebut kemudian dibagi dengan pemilik pajeko dan nelayan pekerja kapal lainnya.
Menurut Novi, jarak menangkap ikan hanya 50 mil laut dari pantai Manado sehingga tidak membutuhkan banyak bahan bakar. Sekali melaut, Novi mengaku dapat membawa pulang uang Rp 9 juta. Dia mendapat jatah 10 persen dari hasil tangkapan, sedangkan 15 persen dibagi rata dengan pekerja kapal. Sisanya diberikan kepada pemilik kapal.
Ketua Unit Pengolahan Ikan Bitung Basmi Said tidak memungkiri ikan di laut sekarang lebih banyak. Hal itu terjadi setelah aparat membersihkan rumpon ikan di laut lepas milik nelayan asing.
Namun, menurut Basmi, ikan tangkapan nelayan tradisional tidak dapat diolah pabrik ikan untuk ekspor. Ikan yang berukuran kecil-kecil hanya dapat dibekukan kemudian dijual di dalam negeri.