JAKARTA, KOMPAS — Ketua DPR Bambang Soesatyo mengakui, revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) memang bermasalah.
Oleh karena itu, ia tak keberatan, bahkan mendorong, jika masyarakat pers di Indonesia, khususnya Persatuan Wartawan Indonesia, mengajukan gugatan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
”Silakan jika wartawan, khususnya PWI, ingin mengajukan uji materi kepada MK,” kata Ketua DPR, Selasa (20/2), dalam dialog dengan pengurus PWI dan wartawan di Jakarta.
Dalam dialog yang dipandu Pelaksana Tugas Ketua Umum PWI Sasongko Tedjo itu, Ketua DPR didampingi Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo.
Dalam dialog, terungkap setidak-tidaknya ada lima pasal dalam revisi UU MD3 yang berpotensi menghambat kemerdekaan pers, menimbulkan konflik antarlembaga negara, dan mengancam demokrasi.
Ada lima pasal dalam revisi UU MD3 yang berpotensi menghambat kemerdekaan pers, menimbulkan konflik antarlembaga negara, dan mengancam demokrasi.
Ancaman itu adalah Pasal 73 dan 204 yang memungkinkan DPR dengan bantuan kepolisian menyandera setiap orang yang tanpa alasan sah dan patut tak menghadiri undangan Dewan.
Selain itu, Pasal 122 yang memungkinkan Mahkamah Kehormatan Dewan mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap siapa pun yang merendahkan martabat DPR dan anggota DPR.
Pasal 74 revisi UU MD3 yang memungkinkan DPR memaksakan rekomendasi yang dibuat dalam rapat-rapatnya kepada siapa pun.
Jika ada yang tak menjalankan rekomendasi DPR, Presiden atau instansi yang berwenang diminta memberikan sanksi. Pasal 245 yang dinilai memperkuat hak imunitas anggota parlemen.
Menurut Bambang, DPR harus mendengarkan pendapat masyarakat. Jika memang ada yang bermasalah dalam pembuatan UU, yang merupakan produk bersama DPR dan pemerintah, rakyat bisa mengoreksinya melalui uji materi di MK. Dewan tak boleh arogan.
Bambang menambahkan, revisi UU MD3 sudah sesuai dengan tahapan penyusunan perundangan-undangan. Pembahasan revisi UU No 17/2014 itu pun sudah mendapatkan masukan dari masyarakat, seperti para ahli tata negara.
Revisi UU MD3 terlihat terburu-buru. Masyarakat pers yang terkena langsung ketentuan dalam UU itu tak pernah dimintai pendapat.
Namun, Sasongko mengingatkan, revisi UU MD3 terlihat terburu-buru, sehingga masyarakat pers yang terkena langsung ketentuan dalam UU itu tak pernah dimintai pendapat.
Bahkan, revisi yang semula dikabarkan hanya untuk menambah jumlah kursi pimpinan DPR dan MPR ternyata banyak hal yang tersosialisasikan.
”Masyarakat terkejut setelah revisi UU itu disetujui,” kata Pelaksana Tugas Ketua Umum PWI itu.
Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Wina Armada Soekardi menilai revisi UU MD itu terjadi kesalahan struktural.
Dengan revisi UU itu, Dewan menjadi lembaga yang super, mengatur lembaga lain, dan mengancam masyarakat. Padahal, DPR adalah wakil rakyat.
Firman Soebagyo tidak menampik jika revisi UU MD3 itu bermasalah sejak awal. Ia mengakui pula tak ada dialog dengan masyarakat pers sebelum revisi itu disepakati. Oleh karena itu, ia mendukung jika masyarakat mengajukan hak uji materi terhadap revisi UU itu kepada MK.
PWI akan membentuk tim untuk mengajukan judicial review terhadap revisi UU MD3.
Dalam dialog dengan Ketua DPR pun terungkap, PWI akan membentuk tim untuk mengajukan judicial review terhadap revisi UU MD3 setelah diundangkan nanti.
Selain itu, PWI juga menyarankan Presiden Joko Widodo segera mengundangkan revisi UU itu dan langsung mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menidurkan UU baru itu.
Dengan demikian, revisi UU No 17/2014 tak berlaku. DPR bisa membahasnya lagi dengan pemerintah pada masa persidangan berikutnya.
Bisa pula DPR membuat pernyataan resmi agar revisi UU MD3 tak diundangkan, dan bersama pemerintah segera membahas lebih lanjut perubahannya. Hal ini memang belum ada presedennya, tetapi bisa menjadi terobosan hukum.
DPR pun akan mendapatkan citra yang baik di mata rakyat karena tanggap merespons keberatan masyarakat.