Penataan Kawasan Puncak Masih Sebatas Wacana
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat belum memiliki langkah strategis untuk menangani bencana tanah longsor berulang yang terjadi di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Koordinasi antarlembaga untuk menata wilayah tersebut masih diserukan.
Berdasarkan catatan Kompas, selama 17 tahun terakhir setidaknya terdapat sembilan kali tanah longsor di Jalan Raya Puncak yang meliputi tiga kecamatan, yaitu Cisarua, Megamendung, dan Ciawi.
Bencana terakhir yang terjadi awal Februari lalu menewaskan satu orang, tiga orang hilang, dan beberapa orang luka kritis dan ringan. Bahkan, tanah longsor terakhir itu berdampak pada penutupan jalur Gunung Mas, Cisarua, hingga Ciloto, Cianjur, selama 10 hari.
Direktur Perencanaan, Evaluasi, dan Perencanaan Daerah Aliran Sungai Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yuliarto Joko Putranto saat dihubungi dari Jakarta, Senin (19/2), mengatakan, penataan wilayah puncak membutuhkan keterpaduan antarlembaga. ”KLHK tidak bisa mengeksekusi (penataan kawasan Puncak), butuh sinergi dalam mengelola wilayah tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan, penataan kawasan Puncak perlu dilakukan di tingkat makro, menengah, dan mikro. ”Di tingkat makro, kami (KLHK) bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan pemerintah daerah untuk memberikan pengetahuan mengenai perencanaan tata ruang yang berorientasi pada daerah aliran sungai (DAS),” kata Yuliarto.
Proporsi antara luas kawasan hutan dan luas DAS di Puncak, lanjutnya, belum memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 18 UU No 41/1999, luas kawasan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. ”Jika hutan tidak mencapai 30 persen, hal itu akan mempercepat erosi,” kata Yuliarto.
Kawasan Puncak merupakan hulu dari Sungai Ciliwung, Cisadane, Citarum, dan Kali Bekasi. Menurut Yuliarto, luas DAS Ciliwung di hulu mencapai 15.000 hektar dari total luas DAS Ciliwung 38.000 hektar. Sementara itu, luas kawasan hutan di Puncak 5.243 hektar.
Menurut dia, DAS di Jawa Barat, termasuk Puncak, tergolong dalam jenis DAS urban yang kondisinya sangat dipengaruhi pembangunan kota. Selama 10 tahun, luas wilayah permukiman di Puncak meningkat hampir 100 persen. Pada 2006, luas permukiman mencapai 1.250 hektar, sedangkan pada 2016 mencapai 2.046 hektar.
Perluasan permukiman itu dilakukan dengan mengalihfungsikan lahan hutan. Dampaknya, terjadi peningkatan volume banjir dari 271 meter kubik per detik menjadi 281 meter kubik per detik.
Selain pengendalian pertumbuhan permukiman, dibutuhkan pula teknologi untuk mengurangi limpasan air, misalnya dengan pembuatan sumur resapan atau taman retensi. ”Itu semua yang bisa melakukan adalah pemerintah daerah,” ujar Yuliarto.
Penertiban vila ilegal
Jumlah permukiman yang meningkat drastis di antaranya vila di daerah yang kemiringannya di atas 40 derajat. Padahal, kawasan tersebut semestinya digunakan sebagai hutan lindung. Selain itu, ratusan vila juga dibangun tanpa izin mendirikan bangunan (IMB).
Pada 2013, Pemerintah Kabupaten Bogor membongkar 239 vila ilegal. Akan tetapi, vila-vila tersebut sudah berdiri kembali setahun kemudian.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Ditjen Penegakan Hukum, KLHK, Indra Exploitasia mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Perum Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani), Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bogor, Kepolisian Resor (Polres) Bogor, dan Kejaksaan Negeri Cibinong untuk kembali mendata dan menertibkan vila ilegal yang berada di kawasan hutan. Tim gabungan menegur pemilik vila untuk segera mengosongkan dan merobohkan bangunan.
Beberapa pemilik vila yang tidak mengindahkan teguran tersebut dibawa ke meja hijau. Namun, ia menolak memberitahukan jumlah pemilik vila ilegal yang sudah dipanggil pengadilan. ”Panggilan dari pengadilan negeri sudah dilakukan kepada para pemilik vila. Jika Satpol PP sudah selesai mendata vila ilegal yang tidak mematuhi anjuran, kami akan robohkan bangunan-bangunan tersebut, Kamis (22/2),” kata Indra.
Rehabilitasi
Menurut peneliti Konsorsium Penyelamatan Puncak, Muslich, pembongkaran bangunan ilegal belum cukup. Pemulihan kawasan Puncak membutuhkan reboisasi karena berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), selama 2000-2016 Puncak kehilangan sekitar 6.000 hektar hutan alam. Reboisasi perlu dilakukan dengan penanaman tumbuhan hutan, misalnya pohon saninten dan puspa.
Ia menambahkan, diperlukan pula pengembangan agroforestry atau penanaman campur di lahan produksi. Muslich mencontohkan, proporsi sebidang lahan produksi 50 persennya ditanami buah, 30 persen sayuran, dan 20 persen tumbuhan hutan alam.
Selain itu, perkebunan teh yang sudah tidak aktif juga perlu direstorasi. Keberadaan perkebunan teh merupakan salah satu penyebab longsor karena ditanam di tanah yang kemiringannya mencapai 70 derajat. Tinggi pohon tidak lebih dari satu meter dan di perkebunan tidak ada sistem drainase. ”Akibatnya, longsor banyak terjadi di daerah perkebunan teh,” kata Muslich.
Menurut dia, perkebunan teh dapat digantikan oleh kopi. Kopi merupakan tanaman yang adaptif terhadap naungan dan bisa dikombinasikan dengan tanaman hutan. Di wilayah yang sangat kritis, seperti di sepanjang aliran anak Sungai Ciliwung, cocok untuk ditanami bambu. ”Rumpun bambu bisa mencengkeram tanah di pinggir-pinggir sungai itu dengan kuat,” ujar Muslich.
Ia menegaskan, upaya rehabilitasi di kawasan Puncak membutuhkan konsistensi. ”Selama ini, usaha seperti itu sering dilakukan, tetapi selalu gagal karena kegiatan hanya bersifat seremonial,” ujar Muslich.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK, Wiratno mengatakan, rehabilitasi di wilayah Puncak sulit dilakukan karena sebagian besar telah menjadi lahan milik pribadi. ”Kalau lahan pemerintah, kami bisa ambil alih, tetapi kalau lahan pribadi itu, kan, bergantung pada pemiliknya,” ujarnya. (DD01)