Rumitnya Menata PKL Puncak
Sejumlah pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Raya Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berjualan di lokasi rawan longsor. Banyak di antara mereka sudah belasan tahun berdagang dan mendirikan kiosnya menempel di tebing curam. Padahal, maut begitu dekat dengan mereka.
Senin (4/2) terjadi bencana tanah longsor yang menewaskan satu pedagang kaki lima (PKL) di dekat Masjid Atta’ Awun, Cisarua, Kabupaten Bogor. Pedagang itu tewas saat menjaga kiosnya yang terletak menempel tebing dengan kemiringan sekitar 45 derajat.
Pemerintah Kabupaten Bogor pun membongkar kios-kios yang menempel di tebing-tebing tersebut dalam upaya tanggap darurat bencana. Selain itu, pembongkaran juga bertujuan melancarkan pemulihan jalur puncak mengingat adanya sebagian jalan ambrol di Gunung Mas, Cisarua, Kabupaten Bogor, dalam bencana tersebut.
Sabtu (16/2), sebanyak 16 kios dibongkar. Rinciannya, 12 kios berada di sepanjang Gunung Mas, sedangkan empat kios lainnya berada di Riung Gunung.
Pembongkaran yang dilakukan setelah adanya bencana itu mengesankan bahwa pemerintah baru bergerak setelah ada kejadian yang menelan korban. Padahal, kios-kios itu telah berdiri sejak lama.
Nana (50), penjual makanan dan minuman, mengatakan telah berjualan di kawasan puncak sejak 2000. Saat awal berjualan, ia masih menyewa kios itu. Namun, sekitar 2005 kios itu telah dibelinya dengan harga Rp 6 juta. Hanya selembar kuitansi yang menjadi bukti kepemilikannya terhadap kios itu.
”Kabar penertiban juga sudah sering sampai ke kami, tetapi tidak pernah jadi. Itu sudah sejak 2010 atau 2011,” kata Nana. ”Kami mengharapkan supaya masih bisa berjualan. Kalau harus dibongkar, kami minta ganti tempat yang strategis.”
Nana menceritakan, bukti dari seberapa sering ia diingatkan adalah adanya kertas kuning yang tertempel di kiosnya. ”Kertas ini bukti peringatan terakhir bahwa akan ada pembongkaran. Namun, sekarang kiosnya masih berdiri,” kata Nana.
Padahal, kios Nana berdiri hanya sekitar 20 meter dari kios yang tertimbun tanah pada peristiwa longsor, dua pekan lalu. Ia sebenarnya agak khawatir masih berjualan di sana. Namun, ia merasa tidak punya pilihan lain karena kios itu sekaligus menjadi tempat tinggalnya selama lebih kurang 18 tahun ini.
Lain halnya dengan Haryati (40). Kiosnya kebetulan menjadi salah satu yang dibongkar Pemkab Bogor, Sabtu itu. Ia memunguti barang-barang dari tokonya yang masih bisa diselamatkan. Ia berdiri di atas reruntuhan batu bekas bangunan kiosnya dengan raut kecewa.
”Semoga saja nanti dapat ganti kios juga. Kemarin sempat dengar kabar mau direlokasi. Namun, belum sempat direlokasi sudah terjadi bencana. Jadi, lapak kami dibongkar lebih dulu biar tidak kena longsor juga,” kata Haryati yang sudah berjualan lebih dari sepuluh tahun.
Relokasi disiapkan
Padahal, menurut M Muslich, peneliti dari Konsorsium Penyelamatan, keberadaan kios-kios itu turut menyumbang kerusakan lingkungan di kawasan Puncak. Hal itu disebabkan oleh hilangnya fungsi tanah sebagai resapan air yang mampu mencegah terjadinya longsor karena tertutup oleh bangunan.
Bupati Bogor Nurhayanti mengatakan, rencana pembongkaran kios PKL di kawasan puncak itu sebenarnya sudah menjadi rencana Pemerintah Kabupaten Bogor. Namun, bencana sudah lebih dahulu terjadi sebelum relokasi sempat dilakukan. ”Ini, kan, darurat. Kami harus membongkar kios ini demi keselamatan para PKL juga,” ujar Nurhayanti.
Pemkab Bogor sedang menyiapkan lahan untuk relokasi PKL dari tempat rawan bencana di jalur Puncak. Menurut rencana, para PKL itu akan dipindahkan ke lahan seluas 1 hektar di tanah hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara VIII, Gunung Mas. Konsep tempat tersebut adalah area peristirahatan pengendara (rest area) yang diproyeksi baru selesai September 2018 (Kompas, 9/2).
Di area satu hektar itu, menurut rencana, bakal ada kurang dari 200 kios PKL karena ukuran kiosnya hanya 2 meter x 3 meter. Sebelumnya, pemerintah daerah berencana membangun 305 kios, tetapi banyak PKL keberatan karena ukuran tiap kios hanya 1,5 meter x 2 meter. Total anggaran untuk area pristirahatan itu sekitar Rp 11 miliar.
Sambil menunggu penyelesaian bangunan itu, pemerintah daerah mendorong PKL yang warung liarnya sudah dibongkar untuk menempati kios di Rest Area Cilember. Lahannya adalah milik Taman Wisata Matahari. Tempat itu mampu menampung hingga 110 kios, tetapi baru terisi 52 unit.
Berdasarkan data Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, terdapat 1.243 PKL di sepanjang Jalan Raya Puncak, mulai dari persimpangan Gadog, Kecamatan Megamendung, hingga Puncak Pass, Kecamatan Cisarua.
Namun, pada awal 2017 terdapat 539 PKL yang ditertibkan dari persimpangan Gadog hingga ke persimpangan Taman Safari. Dari jumlah itu, sebanyak 195 PKL membongkar kios sendiri, sedangkan kios 344 PKL dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Bogor.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bogor Yani Hassan mengatakan, relokasi PKL akan dilakukan secara bertahap seiring dengan proyek pelebaran Jalan Raya Puncak yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dari persimpangan Gadog hingga Puncak Pass. Saat ini, kios PKL yang sudah dibersihkan baru dari Gadog hingga ke persimpangan Taman Safari Cisarua.
Yani mengungkapkan, tempat relokasi PKL seluas 1 hektar yang disediakan PT Perkebunan Nusantara VIII dapat menampung 168 PKL. Pemkab Bogor akan memprioritaskan merelokasi PKL yang memiliki KTP Bogor dengan jenis barang dagangan berupa oleh-oleh, cendera mata, makanan, dan minuman.
Iryanto, Kepala Bidang Kawasan Permukiman Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kabupaten Bogor, mengatakan, menata PKL tidak semudah yang dibayangkan. Saat didatangi petugas yang memberikan surat peringatan pembongkaran, para PKL ini biasanya mengelak dan menutup lapaknya sehingga petugas kadang datang berkali-kali.
Selain itu, menurut Iryanto, pembongkaran kios PKL harus diikuti dengan penataan lokasi yang sudah dibersihkan. Sebab, jika dibiarkan begitu saja, PKL tersebut dapat kembali lagi. ”Makanya, lokasi yang dibongkar perlu dibangun taman atau pembatas jalan supaya mereka tidak berjualan lagi,” ucap Iryanto. (ILO/DD16)