AMBON, KOMPAS — Kendati diklaim sebagai lumbung ikan nasional, harga ikan di Maluku tetap mahal. Penyebab utama ialah minimnya kapal penangkap ikan. Kebanyakan kapal milik nelayan lokal berukuran kurang dari 2 gros ton sehingga daya jelajahnya terbatas. Fenomena ini membuktikan tidak optimalnya produksi ikan nasional, termasuk di provinsi lumbung ikan sekalipun.
Dari pantauan di tempat pendaratan ikan di pesisir Pantai Eri, Kota Ambon, Senin (19/2), hasil nelayan pada kapal berukuran seperti itu maksimal 90 kilogram. Ikan tangkapan umumnya jenis pelagis.
Harga seember ikan berisi sekitar 120 ekor Rp 700.000. Adapun ikan cakalang berbobot sekitar Rp 1 kilogram dijual Rp 80.000 per ekor.
”Kalau ikan banyak, harganya setengah dari harga sekarang,” ujar Costantia Sarimule (60), pedagang ikan yang berjualan belasan tahun di tempat itu. Harga ikan sejenis di pasar lebih mahal 10-20 persen.
Kris Tuhupuring (26), nelayan, menuturkan, dengan perahu motor berukuran 1 gros ton, dirinya nekat melaut hingga 24 kilometer dari darat. Ia berangkat sekitar pukul 03.30 dan kembali ke pesisir sekitar enam jam kemudian. ”Banyak yang tidak melaut karena khawatir dengan cuaca,” katanya.
Menurut Kris, potensi ikan di perairan yang sering dia datangi melimpah. Namun, minimnya ukuran kapal membuat dia tak bisa lebih banyak menangkap ikan. Belum lagi urusan modal bahan bakar dan cuaca buruk yang mengancam keselamatan nelayan.
Data yang dihimpun Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku menyebutkan, setelah penertiban di sektor perikanan, potensi perikanan nasional naik dari 6,7 juta ton pada 2014 menjadi 9 juta ton pada 2017. Perairan Maluku yang terdiri atas tiga wilayah pengelolaan perikanan menyumbang sekitar 30 persen dari potensi itu.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Romelus Far Far mengatakan, berlimpahnya potensi perikanan itu belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak nelayan lokal belum tersentuh program pemberdayaan. Dari 151.000 nelayan di Maluku, yang sudah dibantu pemerintah kurang dari 10 persennya.
Salah satu contoh, sejak akhir 2014, bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mencapai 134 kapal. Dari jumlah itu, 60 persennya berukuran kurang dari 3 gros ton. Terdapat pula sekitar 20 kapal berukuran di atas 10 gros ton yang belum bisa beroperasi lantaran terkendala izin.
Bantuan kapal oleh kementerian yang diajukan koperasi nelayan melalui situs kementerian menyulitkan nelayan tradisional yang minim pengetahuan untuk mengaksesnya. ”Seharusnya kementerian memberikan kepercayaan kepada daerah untuk membantu nelayan buat pengajuan itu. Selama ini tak ada koordinasi,” kata Romelus.
Kapal dibakar
Di Medan, Sumatera Utara, Senin pagi, ratusan nelayan tradisional membakar delapan kapal pukat hela atau cantrang di perairan Belawan. Aksi itu bentuk protes kepada pemerintah yang dinilai tidak tegas melarang cantrang. Beberapa tahun ini, tangkapan nelayan tradisional turun drastis karena kerusakan lingkungan akibat cantrang.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Medan Muhammad Isa Al Basyir mengatakan, nelayan tradisional di Belawan resah karena Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali memberikan kelonggaran penggunaan cantrang, 16 Januari. ”Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 Tahun 2015 dan No 71/2016, seharusnya Januari 2018 sudah masa penindakan,” katanya.
Menurut Basyir, kapal dengan alat tangkap pukat hela semakin marak beroperasi di perairan Belawan sejak pemerintah memberi sinyal mengizinkan cantrang. Akibatnya, nelayan tradisional di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, memprotes dengan membakar kapal pengguna alat tangkap pukat hela.
Salah seorang nelayan dari Bagan Deli, Zulfikar (40), mengatakan, sejak Minggu malam mereka sudah berkumpul merancang aksi. Sekitar pukul 05.00, mereka mendapat informasi ada delapan kapal pukat hela tengah berangkat melaut. ”Sekitar 200 kapal nelayan tradisional langsung berangkat mengejar kapal pukat itu,” katanya.
Para nelayan tradisional itu pun mencegat kapal pukat berbobot masing-masing sekitar 5 gros ton tersebut. Sekitar 20 awak kapal pukat itu dievakuasi ke kapal nelayan tradisional. Para nelayan itu lalu menyiram kapal pukat dengan minyak dan membakarnya sekitar 3 kilometer dari pantai hingga semua kapal terbakar dan tenggelam.
Dalam beberapa tahun ini nelayan tradisional di Medan terpuruk akibat tangkapan ikan yang menurun drastis. Nelayan tradisional di Medan biasanya mempunyai sampan bermesin dengan panjang sekitar 6 meter dan lebar 1 meter.
Jika 10 tahun lalu mereka berpenghasilan Rp 200.000-Rp 300.000 per hari, kini anjlok hingga di bawah Rp 50.000. ”Sekarang saya hanya bisa menangkap 2-5 kilogram ikan gembung atau gulamah per hari. Beberapa tahun lalu saya bisa mendapat 30 kilogram,” kata Tagor (47), nelayan di Bagan Deli. (FRN/NSA/ZAL/COK)