Demokrasi di Indonesia Dibayangi Kesuraman
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2018 di negeri ini dibayangi dengan hasil yang suram bagi kebangsaan dan persatuan Indonesia serta masa depan demokrasi.
Pilkada di 171 daerah itu diperkirakan masih akan menghasilkan raja-raja kecil di daerah; korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); jual beli jabatan; kleptokrasi; serta pembangunan daerah yang tidak fokus. Pilkada 2018 juga akan diwarnai dengan penajaman politik identitas, terutama di sosial media.
Hal itu mengemuka dalam dialog publik bertemakan ”Pilkada 2018: Pesta Politik dengan Semangat Kebangsaan di Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atmajaya, Jakarta, Rabu (21/2). Dialog itu diprakarsai bersama Institute of Public Policy Unika Atmajaya dan Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI).
Narasumber yang hadir adalah Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (KSP) Eko Sulistyo, juru bicara Polri Komisaris Besar Sri Suari Wahyudi, pengajar Unika Atmajaya Surya Tjandra, Direktur NU Online Savic Ali, dan Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) Putut Prabantoro.
Mereka sepakat, Pilkada 2018 akan diwarnai persaingan tajam, baik di sosial media maupun dalam kampanye, serta berbiaya tinggi. Pilkada 2018 tidak bisa dipisahkan dengan Pemilu 2019, khususnya pemilihan presiden.
Rektor Unika Atmajaya Dr Agustinus Prasetyantoko, saat membuka dialog publik itu pun mengharapkan, Pilkada 2018 supaya tetap beriringan dengan semangat kebangsaan. Pilkada yang seharusnya merupakan cara demokratis untuk memilih pemimpin merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat.
Pemilu 2019
Eko Sulistyo menyatakan, partai politik akan berusaha maksimal memenangkan calon kepala daerah yang diusungnya, khususnya di tingkat provinsi. Kemenangan dalam pilkada menjadi langkah nyata untuk memenangi pemilu karena hingga kini partai masih mengandalkan ”bantuan” kepala daerah untuk memenangi pemilu.
Pilkada serentak 2018 akan berlangsung di 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota. Pilkada 2018 menjadi lebih penting dan lebih menentukan dibanding pilkada sebelumnya. Sebab, terjadi menjelang pemilu dan berlangsung di sejumlah provinsi yang merupakan kantong suara besar dalam pemilu, yakni di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Eko mengkhawatirkan, Pilkada 2018 belum diwarnai dengan calon pemimpin daerah yang memahami semangat kebangsaan, yang ditunjukkan melalui cara menggalang dukungan yang jauh dari fanatisme dan partisan.
Bahkan, politik identitas kemungkinan akan sangat mewarnai kontestasi kepemimpinan di daerah itu karena cara-cara ini terbukti efektif di daerah tertentu untuk memenangi pemilihan.
Oleh karena itu, Eko mendorong partisipasi masyarakat sipil dan media konvensional untuk memberikan narasi tandingan yang bisa menyasar seluruh lapisan masyarakat, terutama untuk menjelaskan sebaran ujaran kebencian (hate speech) dan berita yang direkayasa (hoax) yang akan marak menjelang pilkada dan pemilu mendatang.
Putut dan Surya, yang berminat mencalonkan diri pada Pemilu Legislatif 2019, menyoroti besarnya biaya politik untuk pilkada dan pemilu.
Kondisi ini akan memunculkan korupsi, kleptokrasi, jual beli jabatan, dan pembangunan yang tidak fokus.
Dia pun mencontohkan, tertangkapnya empat calon kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan politik berbiaya mahal yang memaksa seorang calon kepala daerah mencari modal untuk pencalonannya.
Sri Suari juga mempertanyakan, bagaimana tidak sedikit orang yang tetap mau menjadi calon kepala daerah, padahal biayanya tak kecil, tetapi penghasilan kepala daerah tidak besar pula. ”Nanti mengembalikan modalnya dari mana, ya?” paparnya.
Sri Suari dan Savic pun bersepakat, selain biaya kontestasi politik yang besar, pertarungan di dunia maya untuk merebut dukungan rakyat juga sangat tajam. Kampanye melalui internet kini juga memerlukan biaya yang tak kecil.
Savic menilai, Polri telah bekerja keras mengatasi informasi bohong di dunia maya. Perang di dunia maya dalam kontestasi politik ini, melalui media sosial dan media daring, bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara.
Bahkan, kemenangan Donald J Trump dalam pemilu di Amerika Serikat diyakini juga dipengaruhi oleh sebaran berita yang direkayasa itu dan sebagian dilatarbelakangi kepentingan uang semata.
Aktivis Masyarakat Antihoaks itu menambahkan, parpol juga harus bertanggung jawab atas maraknya sebaran berita yang direkayasa dan ujaran kebencian di media sosial, khususnya yang terkait pemilu atau pilkada.
”Dalam riset kami setahun terakhir ini, penyebar kebencian adalah pendukung figur dan partai. Bukan lagi kelompok fanatik keagamaan, yang tiga tahun lalu sangat aktif. Jadi, seharusnya tokoh dan partai politik bertanggung jawab,” ujar Savic.
Surya Tjandra mengingatkan masyarakat perlu bersikap realistis terhadap kondisi politik saat ini, dalam menghadapi pilkada dan pemilu, tanpa harus meninggalkan idealisme kebangsaan yang dicita-citakan pendiri bangsa. Jangan sampai pilkada atau pemilu justru memecah belah bangsa ini.