Laporan Bertubi, Cermin Minimnya Kepercayaan Publik ke Ketua MK
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Laporan dugaan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat kembali dilayangkan publik. Setelah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Selasa, menyerahkan laporan, Rabu (21/2) hari ini, Arief dilaporkan oleh Madrasah Antikorupsi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Laporan bertubi-tubi itu menunjukkan problem etik Ketua MK, dan mencerminkan minimnya kepercayaan publik kepada institusi yang dipimpinnya.
Wakil Direktur Madrasah Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah Ahmad Fanani yang menyerahkan laporan tersebut ke Gedung MK, di Jakarta, menyebutkan, ketidakpercayaan publik kepada Ketua MK amat berbahaya bagi jalannya sistem ketetanegaraan Indonesia. MK memiliki kewenangan besar dalam sistem ketatanegaran negeri ini, dan dalam waktu dekat ini menyongsong penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), serta Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019.
“MK akan mengadili berbagai sengketa Pilkada, bahkan Pemilu. Bayangkan bila publik tidak lagi percaya kepada Ketua MK, bagaimana nanti mekanisme pencarian keadilan oleh publik. Baru-baru ini, dalam uji materi Undang-undang MD3 yang terkait hak angket DPR terhadap KPK, ada pemohon yang menarik permohonannya. Ini menunjukkan publik mulai meragukan MK, karena ada dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketuanya,” kata Fanani.
Terkait dengan putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 tentang uji materi Undang-undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang menentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian eksekutif, Madrasah Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah meminta dewan etik kembali memeriksa Arief. Pasalnya, putusan itu dinilai menguatkan bukti dugaan lobi-lobi politik yang dilakukan Arief dengan anggota DPR terkait pemilihan dirinya kembali sebagai hakim MK.
Fanani menyertakan bukti berupa kliping koran dan pemberitaan media massa lainnya yang memuat penjelasan anggota DPR Desmond J Mahesa mengenai adanya lobi-lobi tersebut. Kendati laporan itu dinyatakan tidak terbukti oleh dewan etik dalam putusan sebelumnya, menurut Fanani, dewan etik sebaiknya memeriksa kembali Arief karena adanya pernyataan Arief yang mendiskreditkan hakim lainnya. Ini adalah laporan dugaan pelanggaran etik Arief yang keenam kalinya.
Pengajar filsafat hukum Universitas Bina Nusantara (Binus) Shidarta menilai, laporan publik yang bertubi-tubi terhadap Ketua MK menunjukkan tumpulnya kesadaran etik hakim MK yang idealnya adalah negarawan.
“Jika hakim konstitusi beralasan dia tidak akan mundur karena tidak ada aturan hukumnya di dalam UU bahwa hakim harus mundur kalau menerima sanksi etik, itu berarti dia tidak mampu mencerminkan apa yang selama ini dikerjakannya sebagai hakim konstitusi,” kata Shidarta.
Hakim MK bertugas menafsirkan suatu hukum positif terhadap UUD 1945. Artinya ketentuan atau hukum positif itu harus ditafsirkan dengan sesuatu yang lebih tinggi darinya. “UUD 1945 sebagai batu uji adalah juga hukum positif, tetapi tugas hakim MK sejatinya tidak hanya menafsirkan suatu hukum positif dengan hukum positif lainnya, melainkan ia menafsirkannya dengan sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar hukum positif, yakni terhadap moral dan etika,” katanya.
Menurut Shidarta, dengan filosofi itu, hakim MK semestinya tidak mengesampingkan sanksi etik dengan alasan tidak ada hukum positif atau UU yang mewajibkannya mundur.