Masyarakat Sipil Masih Ragukan Netralitas Ketua MK Arief Hidayat
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum menguji materi revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD, elemen masyarakat sipil akan menunggu keputusan Dewan Etik terhadap laporan pelanggaran Ketua Mahkamah Konsitusi Arief Hidayat. Masyarakat sipil menilai gugatan akan percuma apabila Ketua MK tetap dijabat Arief Hidayat yang diragukan kredibilitasnya.
Pada Selasa (20/2), Arief kembali dilaporkan ke Dewan Etik MK. Kali ini laporan dibuat oleh Julius Ibrani, Koordinator Program Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Arief dilaporkan dengan dugaan melanggar kode etik karena mengomentari hakim-hakim lain terkait putusan MK tentang perzinahan. Komentar itu dilontarkan dengan kata-kata tak senonoh di grup Whatsapp.
Untuk itu, Julius akan lebih dulu fokus pada laporan ke Dewan Etik MK tersebut. Menurut dia, MK tidak bisa dipercayai kredibilitasnya selama masih dipimpin Arief.
”Kami ingin mewujudkan netralitas hakim MK terlebih dulu. MK merupakan penjaga konstitusi hukum tertinggi negara kita. Ini bukan persoalan satu undang-undang. Selama Ketua MK masih dijabat Arief, keputusan itu tidak bisa dipastikan netralitasnya. Apalagi dengan keputusan kontroversial dan lobi-lobi Arief dengan DPR selama ini,” kata Julius, Rabu (21/2).
Menurut Julius, rekam jejak Arief telah memunculkan ketidakpercayaan publik, termasuk dari elemen masyarakat sipil. Untuk itu, uji materi revisi UU MD3 lebih baik dilakukan setelah permasalahan Ketua MK selesai.
Adapun, gugatan pelanggaran kode etik pada Arief sudah terjadi lima kali. Dua di antaranya menyebabkan sanksi ringan pada Ketua MK itu. Salah satu sanksi dijatuhkan karena Arief bertemu pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan resmi. Kejadian itu diduga sebagai lobi antara DPR dan Ketua MK.
Salah satu keputusan MK yang diragukan oleh Julius adalah menyetujui hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, itu jelas merupakan cara untuk menghabisi KPK yang diperankan oleh DPR.
Untuk menghindari keputusan kontroversial lainnya, Julius bersama elemen masyarakat sipil baru akan menguji materi ke MK setelah Dewan Etik memutuskan nasib Arief. ”Kami akan lihat lagi setelah ada hasil dari Dewan Etik, mungkin sebulan lagi,” katanya.
Uji materi yang akan diajukan antara lain terhadap Revisi UU MD3 Pasal 73, 122, dan 245. Pasal 73 berisi tentang kewenangan pemanggilan paksa disertai ancaman sandera kepada masyarakat, Pasal 122 tentang Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum terhadap masyarakat yang dinilai merendahkan DPR dan anggota Dewan, serta Pasal 245 yaitu pemanggilan terhadap anggota DPR harus melalui persetujuan Presiden dan MKD.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan, elemen masyarakat sipil lebih baik bersabar sebelum menggugat ke MK. Apabila terburu-buru, gugatan ke MK malah bisa merugikan.
”Bisa menjadi bumerang untuk kami yang mau melaporkan. Sifat putusan MK yang final dan mengikat bisa membuat revisi UU itu sah menurut konsitusi,” kata Erwin.
Terlepas dari kontroversi Ketua MK, Erwin mengatakan, seharusnya uji materi akan menang mudah di MK. Dia menilai revisi tersebut banyak yang inkonstitusional. Apalagi, Pasal 122 yang seperti membungkam kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia.
Laporan pertama
Rabu (14/2), masyarakat yang tergabung dalam Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mendaftarkan gugatan uji materi atas Revisi UU MD3 ke MK. Pengajuan itu diwakili kuasa hukum, Irmanputra Sidin. Mereka menggugat Pasal 73, 122, dan 245.
Meski begitu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari belum akan mengikuti jejak FKHK. Selain menunggu Ketua MK diganti, Feri juga ingin menunggu hasil dari gugatan revisi UU MD3 itu.
”Kami sedang mendalami secara advokasi. Namun, kami cerna dulu hasil dari Irman. Kalau dia gagal, baru kita ajukan lagi dengan menggugat dasar konstitusi yang berbeda. Kalau Irman, kan, menggugat Pasal 20 dan 20A UUD 1945. Selain itu, kami juga menunggu ketegasan Dewan Etik pada Ketua MK,” kata Feri.
Menurut Feri, ada indikasi Arief bekerja sama dengan DPR untuk mengganggu pemberantasan korupsi. Untuk itu, hal tersebut bisa memengaruhi putusan jika ada pengajuan gugatan uji materi terhadap UU MD3.
Peran presiden
Sebelumnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan, Presiden Joko Widodo belum dan kemungkinan tidak akan menandatangani Revisi UU MD3 (Kompas, 21/2). Yasonna menyampaikan Presiden cukup kaget saat mendengar hal itu karena rencana revisi awalnya hanya untuk menambah pimpinan DPR.
Feri mengapresiasi respons dari Jokowi yang tidak menandatangani revisi itu. Namun, seharusnya Jokowi tidak menutup mata pada Revisi UU MD3 yang sudah lari dari tujuan awalnya.
”Seharusnya Presiden mendengar aspirasi publik dan menghapus beberapa pasal yang menjadi masalah. Hal itu bisa dilakukan lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang,” kata Feri.
Ketua Umum Pemuda Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, dia bersama Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum, dan Kontras akan mengadukan revisi ini ke MK. Namun, masih mempertimbangkan waktu yang tepat karena masih meragukan kealpaan integritas pada MK.
Menurut dia, revisi itu harus digugat karena dijadikan tameng untuk melindungi kinerja buruk DPR dari kritik masyarakat. Hal itu dinilai Dahnil dapat mengembalikan Indonesia ke era kegelapan demokrasi, saat Orde Baru, ketika pendapat masyarakat dibungkam. (DD06)