Melaut dalam Bayang Kalut
Di bawah mendung di Pelabuhan Perikanan Pantai Bajomulyo, Pati, Jawa Tengah, Kamis (15/2), Samiin (47) dan anak buahnya bersiap melaut lagi. Itu pertama kalinya mereka akan melaut setelah menganggur sejak awal tahun.
- English Version: Heading to Sea Under in Tumultuous \'Clouds\'
Suasana Bajomulyo, satu-satunya pelabuhan perikanan di Juwana, Pati, siang itu lebih ramai daripada sebelumnya. Meski cuaca tak menentu, sebagian kapal siap berlayar lagi, termasuk kapal cantrang yang belakangan terkendala izinnya. ”Kami siap-siap berangkat,” kata Samiin, nakhoda Kapal Motor Mekarsari.
Siang itu Samiin mengawasi anak buah kapal (ABK)-nya yang merapikan tali tambat. Mereka juga menyiapkan 50 ton es balok yang digunakan untuk mendinginkan hasil tangkapan, seperti ikan mata goyang dan kuniran. Persiapan itu mereka lakukan sambil menunggu surat keterangan melaut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan setelah kapal mereka didata.
Sudah sebulan lebih Samiin dan 17 ABK Kapal Motor (KM) Mekarsari tak melaut. Selain faktor cuaca, mereka terganjal Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 2 Tahun 2015 yang diubah menjadi Peraturan Menteri KP No 71/2016 yang berlaku per 1 Januari 2018.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, kapal cantrang boleh kembali melaut hingga peralihan alat tangkap selesai. Untuk mendapat izin, kapal-kapal didata, diverifikasi, dan dicek fisik disertai pernyataan mau beralih ke alat tangkap ramah lingkungan dari pemilik kapal.
Bagi para nakhoda dan ABK, mereka cuma ingin melaut lagi. ”Sebulan terakhir, kami menganggur karena tidak punya keahlian lain. Untuk hidup sehari-hari, kami terpaksa memakai uang tabungan dan kadang mengutang,” kata Samiin.
Raut wajah pria itu sontak berubah kala disinggung soal penggantian cantrang. Kesan cemas tak bisa disembunyikan. Bagi Samiin, banyak hal yang harus disiapkan untuk beralih ke alat tangkap lain yang disarankan pemerintah. Tak cuma biaya, tetapi juga soal kebiasaan.
Selama ini, kapal cantrang ukuran sedang di Pati biasa berlayar di Laut Jawa, hingga sekitar Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, selama 10 hari hingga sebulan. ”Kalau memakai gillnet atau jaring milenium, untuk mendapat ikan, kami harus ke Laut Arafura. Bisa tiga-empat bulan di laut,” ujarnya.
Menurut Samiin, selain lebih berisiko karena melaut lebih jauh, ia belum yakin hasil tangkapan jaring gillnet sepadan dengan cantrang. Selain itu, mereka belum terbiasa lebih lama meninggalkan keluarga.
Selama ini, Samiin bersama 17 ABK melaut dengan modal sekitar Rp 150 juta. Dalam sebulan, mereka biasa mendapat sekitar 50 ton beragam jenis ikan, seperti mata goyang, kuniran, dan pirik. Dengan pendapatan Rp 300 juta-Rp 400 juta, keuntungan dibagi dua antara pemilik dan nakhoda serta ABK. Rata-rata perolehan ABK berkisar Rp 2,5 juta-Rp 4 juta.
Matuqqin (45), nakhoda kapal cantrang di Rembang, mengaku belum siap jika harus beralih alat tangkap. Faktor ekonomi menjadi alasan. Ia menilai cantrang membawa kesejahteraan.
Ia siap jika harus beralih alat tangkap, tetapi harus ada kepastian soal hasil tangkapan dan penghasilan. ”Kalau sudah ada contoh, nelayan yang beralih ke gillnet bisa meraih pendapatan sama dengan cantrang, kami siap,” katanya.
Ikan kecil terbuang
Penelusuran Kompas, mata jaring cantrang yang selama ini diributkan itu berukuran 1,3 cm x 1,3 cm. Jaring itu diikat di tali selambar dan lalu ditebar ke laut. Dalam menjaring ikan, tali selambar ditarik dengan mesin penarik berupa gardan. Perlu empat orang untuk menariknya. Saat proses penarikan jaring, kapal melaju dengan kecepatan normal.
Seorang ABK kapal cantrang di Pati, Joko (25), mengatakan, ikan-ikan kecil, seperti ikan rucah, kerap terangkut ke jaring cantrang. Karena kurang laku, ikan-ikan itu biasanya dibuang. Namun, saat tangkapan utama kurang optimal, dia tak mengelak bahwa ikan-ikan kecil tetap dibawa ke darat untuk dijual.
Di sela-sela pendataan dan verifikasi kapal cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Rembang, Selasa (13/2), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, umumnya kapal cantrang dengan ukuran 70-100 gros ton (GT) membuang 1 kuintal hingga 1 ton ikan rucah.
”Kalau kapal besar-besar, 100 GT ke atas, mungkin buangnya setengah ton sampai 1 ton per hari. Kalau 1.000 kapal, sudah buang 500 ton. Kalau ikan itu jadi besar, berapa uang yang dihasilkan? Ini yang harus dipikirkan supaya nanti nelayan kecil lebih bagus lagi tangkapannya,” kata Susi.
Bagaimanapun, dalam pendataan dan verifikasi oleh KKP, para pemilik kapal di pantai utara Jateng menyatakan mau beralih alat tangkap meski tanpa batas waktu. Setidaknya satu langkah telah dilakukan, mau beralih ke alat yang lebih ramah lingkungan.