MK: Tak Perlu Izin Presiden untuk Periksa Anggota DPR Tersangka Korupsi
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali dalam putusannya, Rabu (21/2), Komisi Pemberantasan Korupsi bisa memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terkait dalam perkara korupsi tanpa memerlukan izin dari Presiden. Izin tertulis dari Presiden itu dikecualikan dari perkara tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Intisari putusan MK itu muncul di dalam pertimbangan putusan Nomor 95/PUU-XV/2017 dan 96/PUU-XV/2017 yang dibacakan kemarin di Jakarta. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Kedua perkara itu diajukan oleh mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto melalui kuasa hukumnya saat itu, Fredrich Yunadi. Novanto mempersoalkan dua pasal di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam dua permohonan uji materi yang terpisah, yakni Pasal 46 UU KPK (95/PUU-XV/2017), dan Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU KPK (96/PUU-XV/2017).
Novanto menilai Pasal 46 UU KPK merugikan dirinya lantaran ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, ketentuan pemeriksaan tersangka pada dirinya yang diatur oleh UU lain menjadi tidak lagi berlaku. Ia harus diperiksa mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UU KPK.
Pemohon mendalilkan pasal itu merugikan dirinya yang ketika itu masih menjadi anggota DPR. Sebagai anggota DPR, Novanto memiliki hak imunitas, sehingga sesuai dengan putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014, pemeriksaan terhadap anggota DPR itu harus seizin dari Presiden.
Hakim konstitusi Saldi Isra yang membacakan pertimbangan MK menyebutkan, dalil pemohon tidak beralasan karena pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pemohon dilakukan terkait dengan perkara korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, di mana hal tersebut masuk ke dalam ruang lingkup tindak pidana khusus yang diatur di dalam Pasal 245 Ayat (3) Undang-undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (MD3).
Pasal 245 Ayat (3) itu menjelaskan permohonan izin dari presiden itu tidak berlaku bila anggota DPR itu tertangkap tangan melakukan tindak pidana; diancam dengan pidana mati, seumur hidup, melakukan tindak pidana kejahatan kemanusiaan, dan keamanan negara; atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
“Oleh karena tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 46 Ayat (1) UU KPK, dengan demikian dalil pemohon yang merasa atau setidak-tidaknya menganggap dirinya mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya a quo sesungguhnya tidak terjadi. Oleh karena itu, mahkamah berpendapat pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Saldi.
Novanto juga dinyatakan tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU KPK, karena saat ia mengajukan permohonan itu dirinya telah berstatus tersangka, bahkan kini telah menjadi terdakwa.
Pasal 12 Ayat (1) huruf B UU KPK itu berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :...(b) memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
Statusnya sebagai tersangka menggugurkan dalilnya lantaran ia mengacu pada Putusan MK Nomor 40/PUU-IX/2011 yang membatalkan frasa “penyelidikan” dari Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU KPK.
“Setelah mahkamah membaca dengan cermat permohonan a quo ternyata permohonan pemohon itu diajukan setelah status pemohon menjadi tersangka, bahkan saat ini telah berstatus menjadi terdakwa yang sedang menjalani sidang pada Pengadilan Tipikor Jakarta. Oleh karena itu menurut mahkamah, pemohon telah kehilangan relevansinya untuk mempermasalahkan adanya anggapan telah mengalami kerugian konstitusional terhadap ketentuan Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU 30/2002,” ujar Hakim Suhartoyo.