Pemprov DKI Belum Berpihak kepada Pesepeda
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai belum berpihak kepada pesepeda. Ketersediaan jalur sepeda paling kecil dibandingkan dengan moda transportasi pribadi, umum, dan pejalan kaki.
Pengamat tata kota Nirwono Joga di Jakarta, Selasa (20/2), mengatakan, dalam konsep piramida transportasi berkelanjutan, pejalan kaki menempati posisi teratas. Kemudian disusul oleh sepeda, angkutan umum, dan kendaraan pribadi.
”Namun, yang terjadi di Jakarta itu terbalik, kendaraan pribadi mendapatkan tempat paling banyak di jalan, kemudian angkutan umum, pejalan kaki, baru pesepeda,” kata Nirwono. Hal itu tampak dari ketersediaan jalur untuk setiap moda transportasi tersebut.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, panjang jalur khusus atau lajur bertanda khusus yang menyatu dengan jalur angkutan-angkutan lain saat ini mencapai 26 kilometer. Bentangan 26 kilometer itu pun terbagi ke dalam beberapa titik.
Di Cipinang-Pondok Kopi sepanjang 7 kilometer, Pondok Kopi-Marunda 14,8 kilometer, Taman Ayodya-Kantor Wali Kota Jakarta Selatan 2,2 kilometer, dan Imam Bonjol-Diponegoro 2kilometer. Selain itu, Jakarta juga memiliki jalur khusus sepeda yang terpisah dari angkutan lain, yaitu di sisi Kanal Banjir Timur (KBT) sepanjang 23,5 kilometer.
Jumlah total jalur dan lajur khusus sepeda itu masih jauh di bawah panjang trotoar untuk pejalan kaki. Menurut data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, pada 2007-2015 panjang trotoar mencapai 540,337 kilometer. Pada 2016, Pemprov juga menargetkan pembangunan trotoar hingga mencapai 2.600 kilometer di seluruh Ibu Kota.
Adapun total panjang jalan raya di seluruh Ibu Kota mencapai 7.650 kilometer. Sementara itu, berdasarkan Pasal 25G, 45B, dan 62 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib memiliki lajur sepeda.
Di samping jumlahnya yang rendah, pengamanan di lajur ataupun jalur sepeda juga minim. Berdasarkan pantauan, di sepanjang Jalan Antasari hingga Jalan Melawai, Jakarta Selatan, lajur sepeda hanya dilengkapi dengan marka jalan. Tidak ada satu pun petugas pengamanan yang menertibkan jalan.
Akibatnya, para pengendara sepeda motor dan mobil menyerobot lajur sepeda dengan leluasa. Bahkan, di depan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kebayoran Baru, lajur sepeda justru dijadikan tempat parkir, dari sepeda motor, mobil, hingga bajaj.
Begitu pula di jalur KBT, Jakarta Timur. Di setiap perpotongan jalur sepeda dan jembatan yang menghubungkan dengan jalur angkutan lain terdapat portal tertutup dan marka larangan melintas untuk sepeda motor.
Namun, di sepanjang jalur tersebut, beberapa motor tampak masuk ke dalam. Salah satu di antaranya ialah sepeda motor milik pekerja prasarana dan sarana umum (PPSU) yang tengah menyapu jalur. Selain itu, beberapa mobil juga diparkir di dalam. Pengusaha tambal ban pun menempatkan peralatannya di sisi-sisi jalur.
Menurut Nirwono, kesemrawutan itu menunjukkan ketidakseriusan Pemprov dalam menata infrastruktur sepeda. Penataan jalur dan lajur sepeda bukan prioritas dalam agenda pembangunan. Aparat pun belum menganggap sepeda sebagai salah satu alat transportasi kota.
Secara terpisah, pendiri komunitas Bike To Work Toto Sugito mengatakan, selain pembangunan fasilitas, Pemprov juga perlu menerbitkan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Regulasi turunan dibutuhkan untuk penegakan hukum terhadap para pengendara kendaraan bermotor yang melanggar jalur dan lajur sepeda.
”Kebutuhan utama bagi kami bukan penambahan jalur atau lajur sepeda, tetapi peraturan. Sebab, jika pemerintah membuat fasilitas tanpa ada peraturannya, itu percuma. Berbagai pelanggaran akan tetap terjadi karena tidak ada hukuman yang tegas,” ujar Toto.
Tidak aman
Kondisi penataan infrastruktur sepeda yang semrawut juga berakibat pada kecelakaan yang menimpa para pesepeda. Berdasarkan data yang dihimpun Bike To Work, terdapat 18 pesepeda yang meninggal di jalan sepanjang 2017. Sebanyak 13 orang di antaranya meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Memasuki 2018, kecelakaan kembali terjadi. Pesepeda, Raden Sandy Syafiek (37), tewas ditabrak mobil di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, pekan lalu.
”Bersepeda di Jakarta itu tidak aman,” kata Anthony Ladjar, pegiat komunitas sepeda asal Tangerang, Banten.
Anthony yang sehari-hari bekerja di Jakarta sudah beberapa tahun mengayuh sepeda menuju kantornya. Selama itu, ia tidak pernah sepenuhnya merasa aman. Ia selalu berebut jalan dengan pengemudi sepeda motor dan mobil meski sudah mengambil lajur paling kiri.
Ia menambahkan, rasa aman hanya muncul ketika memasuki kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. ”Ketika larangan bagi sepeda motor memasuki Jalan Thamrin masih diberlakukan, tidak ada pesaing yang berarti bagi kami saat di jalan,” ujar Anthony.
Akan tetapi, lanjutnya, kondisi berbalik sejak Pemprov menghentikan larangan tersebut beberapa pekan lalu. Sepeda motor mendapatkan lajur paling kiri jalan yang lebarnya sekitar dua meter. ”Saya tidak berani bersepeda dari rumah ke kantor ketika larangan sepeda motor melintas di Jalan Thamrin dihapus,” kata Anthony.
Nirwono menilai, selain persoalan keamanan lalu lintas, bersepeda di Jakarta tidak bisa bebas dari ancaman polusi udara. Hal itu menyebabkan tidak banyak warga yang bersedia untuk bersepeda untuk kegiatan utama sehari-hari. Kebanyakan dari mereka bersepeda pada kesempatan hari libur.
”Saya juga anggota komunitas sepeda, tetapi sekarang hanya berani bersepeda di sekitar kompleks perumahan saya,” kata Nirwono. ”Keselamatan bersepeda di dalam kota itu tidak terjamin,” ujarnya.
Cetak biru
Menurut Toto, pembangunan infrastruktur sepeda di Jakarta tidak dibuat dengan cetak biru yang komprehensif. ”Pemprov sekadar menyenangkan hati warga untuk membuat fasilitas bersepeda, tetapi tidak ada perencanaan yang jelas,” ucapnya.
Adapun infrastruktur sepeda mulai dibangun pada masa Gubernur Fauzi Bowo. Sebelum gubernur membangun jalur sepeda di KBT, mantan Wali Kota Jakarta Selatan Syahrul Effendi juga membangun lajur sepeda dari Taman Ayodya sampai Kantor Wali Kota Jakarta Selatan.
Akan tetapi, menurut Toto, pembangunan infrastruktur tersebut masih parsial. Pembangunan terbatas pada jalan untuk sepeda.
Pada 2011, Bike To Work telah menyerahkan cetak biru pengembangan transportasi tidak bermotor, termasuk master plan jalur sepeda di Jakarta. Cetak biru tersebut dibuat berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030 untuk mengembangkan sistem transportasi yang ramah lingkungan, membangun jalur pejalan kaki dan jalur sepeda.
Di dalam cetak biru tersebut, pembangunan infrastruktur sepeda bukan hanya persoalan jalur, melainkan juga perihal membangun ekosistem. Oleh karena itu, di samping jalur, akan dibangun pula tempat parkir, bengkel, toko sepeda, tempat sewa sepeda, ruang ganti, warung makan, warung internet, dan loker perorangan. Selain itu, ada pula layanan transit sepeda dan transportasi massal, informasi rute sepeda dan transit, ruang titik-titik kumpul, serta tur sepeda ekowisata.
Menurut Toto, pembangunan infrastruktur transportasi seperti itu terbukti mampu mengubah mental masyarakat. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan di Bogota, Kolumbia, pada 2009, pembangunan serupa dilakukan oleh Wali Kota Bogota.
Sepeda dijadikan salah satu moda transportasi utama kota di samping bus. Sepeda mendapatkan tempat di jalan yang terbagi dalam tiga lajur, yaitu untuk bus, pejalan kaki, dan sepeda. ”Di Bogota terbukti bahwa masyarakat yang semula berkarakter individual bisa berinteraksi sosial secara intens berkat pengubahan sistem transportasi,” ujarnya.
Nirwono yang saat itu terlibat dalam penyusunan cetak biru infrastruktur sepeda bersama Bike To Work dan Dishub mengatakan, hingga hari ini Pemprov tidak menindaklanjuti rencana tersebut.
Sebelumnya, Wakil Kepala Dishub Sigit Wijanarko mengatakan, pihaknya akan menambah titik lajur khusus sepeda dalam Rencana Induk Transportasi Jakarta (Kompas, 19/2). Ketika dihubungi untuk meminta keterangan lebih lanjut, Sigit belum bersedia memaparkan ihwal detail rencana tersebut. (DD01)