JAKARTA, KOMPAS -- Banyaknya kepala daerah yang ditangkap akibat terlibat korupsi, mengindikasikan pemilihan kepala daerah 2018 rawan melahirkan koruptor. Rasa krisis terhadap korupsi harus dikampanyekan oleh seluruh elemen masyarakat jika tak menginginkan pilkada menjadi pintu masuk bagi politikus korup untuk menggerus hak rakyat.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah Robert Jaweng, Selasa (20/2), menyampaikan, untuk menumbuhkan rasa krisis terhadap korupsi di masyarakat, itu perlu kampanye terus-menerus yang menyajikan dampak korupsi. Kampanye itu dapat dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat.
Untuk menumbuhkan rasa krisis terhadap korupsi di masyarakat, diperlukan kampanye terus-menerus yang menyajikan dampak korupsi
Demikian pula terhadap politik uang maupun politik identitas yang kerap digunakan elit politik untuk memengaruhi pilihan rakyat, itu harus dikampanyekan sebagai kerawanan. Hingga terbangun kesadaran masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai calon kepala daerah.
“Idealnya kita tetap membutuhkan elit politik dalam membangun kesadaran politik di tengah publik. Meskipun harapan itu seperti menggantang asap (harapan yang sia-sia). Karena kenyataannya politikus itu lebih menyukai air keruh dibandingkan kolam yang jernih, warga yang cerdas,” jelasnya.
Selama 2017, menurut catatan Indonesia Corruption Watch, jumlah kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni naik dari 482 kasus menjadi 576 kasus. Nilai kerugian negaranya pun ikut naik dari Rp 1,5 triliun menjadi Rp 6,5 triliun.
Pemerintah kabupaten mendominasi tempat terjadinya korupsi, yakni sebanyak 222 kasus dengan kerugian Rp 1,17 triliun
Pemerintah kabupaten mendominasi tempat terjadinya korupsi, yakni sebanyak 222 kasus dengan kerugian Rp 1,17 triliun. Disusul oleh pemerintah desa sebanyak 106 kasus dengan kerugian Rp 33,6 miliar, dan pemerintah kota dengan 45 kasus dan kerugian negara Rp 159 miliar. Sebanyak 30 kepala daerah dari 29 kabupaten pun terjerat korupsi. Dari 29 kabupaten itu, 12 kabupaten diantaranya akan melaksanakan pilkada serentak pada 2018 ini.
Korupsi dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan di Kabupaten Jombang, salah satunya, merupakan kasus korupsi yang memiliki dampak terhadap pemenuhan hak masyarakat atas pelayanan kesehatan. Dana kapitasi BPJS Kesehatan untuk 34 puskesmas di kabupaten itu dipotong 5 persen.
Dana hasil pemotongan itu dihimpun oleh Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Silestyowati, hingga terkumpul Rp 434 juta. Sebagian dari dana itu, sebesar Rp 200 juta, disetorkan kepada Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Dari uang Rp 200 juta itu diduga telah digunakan Nyono sebesar Rp 50 juta untuk membiayai iklan kampanye dirinya sebagai calon kepala daerah untuk Pilkada 2018 ini.
Sementara praktik korupsi yang dilakukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, tak hanya menyebabkan praktik suap dalam penerbitan izin tambang. Dengan izin tambang yang diterbitkan secara ilegal, itu juga telah merusak lingkungan Pulau Kabaena yang dijadikan lokasi pertambangan. Kerusakan alam itu menimbulkan kerugian lebih dari Rp 2 triliun, baik kerugian akibat kerusakan alam maupun biaya rehabilitasi yang harus ditanggung.
Tantangannya saat ini, menurut Robert, adalah mengubah sikap dan pola pikir masyarakat dalam merespons pilkada. Hal itu karena pada umumnya masyarakat masih bersikap pragmatis, oportunistik, dan mengidolakan tokoh atau kepala daerah petahana meski mengetahui yang diidolakan itu melakukan korupsi. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan dari setiap kelompok masyarakat untuk terus menghadirkan fakta-fakta konkret dampak korupsi yang dilakukan pejabat.
“Meskipun dilakukan secara sporadis, gerakan sosial anti-korupsi itu harus terus ada sehingga menggelinding terus menjadi gerakan sosial di kalangan pemilih. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa korupsi merugikan publik dan menggerus hak dasar masyarakat,” jelasnya.
Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri pun menyampaikan, dengan begitu banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi, maka perlu ada partisipasi publik dalam mengawasi anggaran daerah. Kepala daerah pun harus bersikap transparan dengan membuka anggaran daerah kepada publik.
Dalam hal kampanye (pilkada), calon kepala daerah juga perlu meminimalkan biaya kampanye agar tak ada lagi potensi penggelapan anggaran daerah ketika terpilih sebagai kepala daerah
“Dalam hal kampanye (pilkada), calon kepala daerah juga perlu meminimalkan biaya kampanye agar tak ada lagi potensi penggelapan anggaran daerah ketika terpilih sebagai kepala daerah,” jelasnya.
Selain membangun kesadaran masyarkat, Febri menyampaikan, tetap dibutuhkan evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri dalam melakukan pembinaan terhadap kepala daerah agar tak lagi kepala daerah yang terjerat korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi juga perlu melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi terhadap daerah yang kepala daerahnya terjerat korupsi.
Sementara dari modus korupsi yang dilakukan pejabat, itu umumnya terkait anggaran pengadaan. Oleh karena itu, kata Febri, perlu ada pendampingan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) kepada setiap pemerintah daerah saat melakukan pengadaan barang dan jasa.
“Pemberian pendampingan itu bertujuan agar tak ada lagi potensi atau celah korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Selain itu mendorong optimalisasi penggunaan katalog elektronik untuk pembelian barang, dan penggunaan kontrak elektronik agar lebih transparan,” jelasnya.