Setelah Peralihan Alat Tangkap
Peralihan alat tangkap ke ramah lingkungan di pantura Jawa Barat menyisakan masalah baru. Selain penggantian yang belum merata, bantuan alat tangkap yang diterima juga tidak sesuai kebutuhan nelayan. Kondisi ini memicu nelayan kembali ke alat tangkap tidak ramah lingkungan.
Bantuan alat tangkap pengganti yang dinilai nelayan tidak sesuai kebutuhan antara lain alat tangkap berupa bubu rajungan. Di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, nelayan terpaksa mengeluarkan biaya untuk memodifikasi bubu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Kami harus menghabiskan Rp 500.000 untuk membeli tambang dan jaring karena memodifikasi 100 bubu yang diberikan pemerintah,” ujar Ari (45), nelayan setempat, kepada Kompas, Sabtu (17/2). Tidak hanya uang, Ari bersama dua nelayan lainnya membutuhkan waktu enam hari untuk memodifikasi bubu itu. Nelayan pun terpaksa tidak melaut.
Perubahan bubu tersebut terpaksa dilakukan karena bubu bantuan pemerintah berbentuk lingkaran tidak umum digunakan nelayan di pantura. Bubu yang kerap dipakai nelayan berbentuk kotak. Menurut Ari, pada bubu bulat, jarak antara umpan dan perangkap dekat sehingga rajungan dapat menghindar ketika mengambil umpan.
Sementara pada bubu kotak, jarak antara umpan dan perangkap jauh sehingga seluruh tubuh rajungan mudah tertangkap. “Kami sudah coba bubu bundar. Tidak ada hasilnya,” lanjutnya.
Di pasaran, bubu kotak seharga Rp 18.000 per buah. Sementara bantuan alat tangkap pengganti bubu rajungan sebanyak 100 buah. “Daripada enggak kepakai lebih baik bubu bantuan ini diubah meskipun butuh biaya dan waktu,” lanjutnya.
Menurut Ari, nelayan telah mencoba protes terkait bantuan alat pengganti tersebut. Apalagi, lanjutnya, tidak ada pendampingan cara menggunakan alat itu.
Selain itu, nelayan juga mengeluhkan jumlah alat tangkap bubu rajungan yang dinilai sedikit, hanya 100 buah. Nelayan dengan kapal ukuran 5 gros ton (GT) biasanya menggunakan bubu hingga 1.000 buah. Alasannya, alat tangkap yang banyak akan menghasilkan tangkapan melimpah.
Di Ambulu, terdapat 13 perahu yang mendapatkan alat tangkap pengganti bubu rajungan. Sementara 60 perahu mendapatkan jaring milenium masing-masing 9 helai. Menurut Ketua Nelayan Ambulu Samsurudin, penggantian alat tangkap diberikan kepada nelayan yang bersedia menukarkan alat tangkap tidak ramah lingkungan miliknya, seperti garuk dan arad.
Garuk merupakan alat tangkap yang bagian bawahnya terdapat besi layaknya garpu yang dapat mengaduk dasar lautan. Adapun arad atau yang disebut mini trawl memiliki jaring berbentuk kantong dengan pemberat dan beroperasi di dasar lautan. Keduanya ditarik menggunakan mesin.
Menurut Samsurudin, bantuan alat tangkap pengganti yang tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan berpotensi membuat nelayan kembali ke alat tangkap tidak ramah lingkungan. “Di beberapa tempat, ada nelayan yang menjual bantuan jaring milenium terus sewa tambak. Saya hanya bisa tepuk dada,” ujarnya.
Penjualan itu memberikan untung kepada nelayan. Di pasaran, jaring milenium minimal seharga Rp 2 juta per paket. Sementara alat tangkap garuk yang bagian bawah seperti ujung garpu hanya Rp 400.000 sampai Rp 5.000 per unit. Garuk kerap digunakan di pinggir laut sementara jaring milenium harus ke tengah laut. Padahal, perahu nelayan umumnya di bawah 5 GT yang tidak dapat melaut jarak jauh.
Samsurudin berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun dinas terkait untuk mengawasi pemanfaatan bantuan alat tangkap pengganti ke nelayan. Namun, di sisi lain, ia juga berharap nelayan didampingi agar tetap menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Sementara di Kota Cirebon, bantuan jaring milenium 9 helai dinilai tidak ideal. Menurut Sigit Cahyono (54), nelayan Panjunan, jaring milenium yang dibutuhkan minimal 25 helai. “Hasil tangkapannya hanya 30 persen dari tangkapan kami jika pakai arad,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dikeluhkan Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Indramayu Dedi Aryanto. Menurut dia, kapal yang menggunakan jaring milenium harus membayar anak buah kapal (ABK) hanya Rp 50.000 per orang. “Padahal, jika menggunakan dogol atau arad, setiap ABK bisa dapat Rp 100.000,” ujar Dedi.
Kondisi ini, lanjutnya, membuat nelayan enggan beralih ke alat tangkap yang dinilai pemerintah ramah lingkungan. Apalagi, menurut dia, skema bantuan permodalan oleh perbankan belum diketahui oleh nelayan.
Keberlanjutan ekosistem
Menurut Samsurudin, meskipun alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti dogol, arad, pukat cincin dan garuk memberikan hasil yang terbilang banyak, keberlanjutan ekosistem laut terancam. Sebab, alat tangkap tersebut merusak tiram dan kerang ecol yang merupakan tempat tinggal ikan di daerah pinggir laut.
“Dulu, 1980an, sebelum alat tangkap tidak ramah lingkungan digunakan, di pinggir saja kami bisa dapat puluhan kilogram ikan. Sekarang, satu kg saja susah,” ujar Samsurudin yang melaut sejak 1983. Sejumlah biota laut seperti udang dan ikan sembilang, lanjutnya, juga nyaris tidak ditemukan di perairan Losari.
Selain itu, biaya operasional alat tangkap tidak ramah lingkungan lebih besar dibandingkan yang ramah lingkungan. Untuk arad, misalnya, membutuhkan bahan bakar sampai 30 liter bensin setiap hari dengan wilayah tangkapan hanya di pinggir laut. Sementara alat tangkap bubu rajungan memakai 60 liter bensin untuk empat hari dengan jangkauan tangkapan mencapai Tegal, Jateng atau 12 mil.
Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan juga dapat mengurangi mutu hasil tangkapan. Sebab, ikan yang ditangkap tidak utuh. Misalnya, kepalanya terpotong akibat ditarik mesin sementara mata jaringnya kurang dari 1 inci.
“Harganya pun lebih murah. Kalau alat tangkap ramah lingkungan, rajungan yang ditangkap harganya mencapai Rp 70.000 per kg. Kalau alat tidak ramah lingkungan paling Rp 40.000 per kg karena selain kecil, rajungannya juga tidak utuh,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja juga mengakui bahwa kuantitas produksi dengan alat tangkap pengganti yang ramah lingkungan dapat berkurang. “Ini bukan soal volume, tetapi kualitas hasil tangkapan. Kalau kualitasnya bagus harganya pun demikian dan nelayan yang akan diuntungkan,” ujar Sjarief dalam kunjungan kerjanya ke Cirebon, Kamis (15/2).
Menurut dia, perairan di Natuna dan wilayah timur Indonesia telah pulih pasca pelarangan pengoperasian kapal asing. Kini, pihaknya fokus memulihkan perairan pantura yang memiliki potensi perikanan hanya 1,3 juta ton. KKP mencatat potensi perikanan nasional mencapai 12,5 juta ton pada 2016, atau naik dari 7,31 juta ton pada 2013.
Sjarief mengajak nelayan memanfaatkan potensi ini dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. Apalagi, sumbangan sektor perikanan kelautan terhadap PDRB Indonesia hanya 3,14 persen. Padahal, dua pertiga wilayah Indonesia merupakan laut.
Menurut dia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/2016 tentang Pelarangan Alat Tangkap tetap berlaku meskipun ada pengecualian bagi nelayan cantrang di pantura Jawa Tengah. Kapal nelayan di Jateng tengah diukur ulang karena ditemukan banyak marked down.
Penggantian alat tangkap tidak serta merta menyelesaikan masalah jika nelayan tidak didampingi
Untuk itu, pihaknya terus mendorong pengalihan alat tangkap ke ramah lingkungan. Sejak 2017 hingga kini, KKP telah menyerahkan 1.185 paket alat penangkapan ikan ramah lingkungan, seperti bubu dan jaring milenium kepada nelayan di Jabar.
“Praktis, secara kendala sudah teratasi. Untuk di bawah 10 GT semua sudah diganti. Tetapi, memang, jika ada yang tidak sesuai, nanti kami damping. Di atas 10 GT akan dilakukan secara bertahap,” ujarnya.
Namun, di lapangan, penggantian alat tangkap di bawah 10 GT belum merata. Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, Asep Suryana, mengatakan, penggantian alat tangkap ke ramah lingkungan telah mencapai 776 paket. “Kami sudah mengajukan 1.360 perahu. Namun, yang menentukan KKP, bukan daerah,” ujar Asep.
Penggantian alat tangkap tidak serta merta menyelesaikan masalah jika nelayan tidak didampingi. Apalagi, puluhan tahun sudah nelayan menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Belum lagi soal konflik antara nelayan pengguna alat tangkap ramah dan tidak ramah lingkungan.
Mudakkir (49), nelayan asal Desa Bandengan, Kecamatan Mundu, Cirebon, mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah yang tetap mengizinkan kapal cantrang melaut. Sebab, nelayan kecil sepertinya akan sulit mencari ikan.
Nelayan di daerahnya umumnya menggunakan alat tangkap payang tanpa mesin penarik dengan pengoperasian maksimal kedalaman laut l2 meter. Berdasarkan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI), payang dapat digunakan di seluruh WPPI.
Ini berbeda dengan alat tangkap pukat cincin maupun cantrang yang dilarang beroperasi di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Menurut dia, selama ini, kapal nelayan yang kurang dari 5 gros ton kerap bertemu dengan kapal cantrang dan pukat cincin. Padahal, area penangkapan nelayan setempat hanya 4 kilometer dari bibir pantai di daerah Gunung Jati, Cirebon.
“Akhirnya, alat tangkap tidak ramah lingkungan itu menangkap benur ikan dan merusak dasar laut. Mereka melaut siang hari. Saat kami melaut malam hari, ikan sangat sulit didapat,” ujarnya. Dia mencontohkan, setiap hari ia rata-rata hanya mendapatkan 5 kuintal ikan. Padahal, sebelum 2010, minimal hasil tangkapannya mencapai 1 ton. Sejumlah jenis ikan, seperti ikan kembung tak lagi pernah muncul.
Mudakkir berharap, pemerintah dapat meninjau ulang keputusannya terkait penggunaan alat tangkap cantrang yang kembali diizinkan melaut dengan sejumlah ketentuan. Jadi, sembari memperluas penggantian alat tangkap sekaligus mendampingi nelayan, pemerintah perlu mengatur jumlah dan batas wilayah penangkapannya.