Tiga Situ di Depok Hilang, Ancaman Banjir Meningkat
Oleh
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Tiga situ yang hilang di Depok, Jawa Barat, beralih fungsi menjadi permukiman dan lahan kosong. Apabila dibiarkan terus-menerus, wilayah ini akan terancam banjir.
Kota Depok tergolong dalam wilayah tengah atau di antara hulu dan hilir. Dosen Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air Institut Teknologi Bandung (ITB), Yadi Suryadi, mengatakan, situ-situ di wilayah tengah berfungsi untuk mengurangi limpasan air dari sungai sehingga mencegah terjadinya genangan atau banjir. Selain itu, situ tersebut juga berfungsi sebagai resapan air sehingga dapat meningkatkan tinggi muka air.
Limpasan air dari hulu sungai dapat berkurang karena ditampung di situ terlebih dahulu. ”Saat dialirkan ke hilir, situ dapat diintegrasikan ke drainase atau pipa tertentu. Jika muka air sungai di hilir lebih tinggi daripada situ, aliran dapat dibantu dengan pompa,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (20/2).
Eks Situ Krukut
Secara fisik, ada 20 situ yang masih ada di Depok. Situ yang hilang meliputi Situ Ciming di Kecamatan Sukmajaya serta Situ Krukut dan Situ Pasir Putih di Kecamatan Limo. Kepala Seksi Operasional dan Pemeliharaan Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Depok Bahtiar Ardiansyah memaparkan, Situ Pasir Putih telah menjadi tanah kosong, Situ Ciming menjadi Perumahan Mekar Perdana, dan Situ Krukut menjadi permukiman.
Selain rumah warga, terdapat juga bangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri 13 Depok. Di sekitar rumah warga, terutama di Jalan Jama dan Gang Haji Umar, terdapat kolam-kolam pemancingan.
Bahtiar mengatakan, wilayah bekas Situ Krukut sering terkena banjir. Ada sungai kecil yang mengalir sejajar dengan Jalan Jama.
Berdasarkan pantauan, Selasa, Perumahan Mekar Perdana berada di dataran yang lebih rendah dibandingkan dengan sekitarnya. Jalan menuju kompleks ini cenderung berupa turunan.
Alih fungsi ruang ini tidak diketahui oleh pihak pemerintah kota. ”Kondisinya sudah begini. Situ secara fisik sudah tidak ada,” kata Bahtiar saat ditemui di kantornya, Depok, Selasa (20/2).
Sejak 2015, perizinan penggunaan lahan tidak berada dalam ranah pemerintah kota. Bahtiar mengatakan, wewenangnya terhadap situ-situ di Depok sebatas optimalisasi dan revitalisasi. Bentuknya berupa pengerukan dan pembersihan.
Kegiatan pengerukan dan pembersihan situ ini bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam mengoptimalkan daya tampung air di situ.
Eks Situ Ciming
Wewenang penentuan garis sempadan situ (atau garis batas situ dengan daratan di sekitarnya) dan perencanaan pengembangan wilayah di sekitar situ juga tidak di bawah tanggung jawab pemerintah kota. ”Selama ini kami berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Di sana anggarannya lebih besar,” ujar Bahtiar.
Jika dikelola oleh pemerintah kota, anggarannya terbatas. Bahtiar mengatakan, anggaran dari pemerintah kota hanya cukup untuk mengelola sekitar tiga situ per tahun.
Selain itu, pemerintah kota juga memiliki fungsi sosialisasi kepada masyarakat terkait pemeliharaan dan penggunaan lahan di sekitar situ. Mulai 2018 fungsi ini akan dilakukan.
Pendataan situ di Depok dilakukan oleh pemerintah kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat. ”Untuk memvalidasinya, kami cek silang satu sama lain,” ujar Bahtiar.
Tumpang tindih wewenang
Menurut Yadi, selama ini wewenang pengelolaan situ berdasarkan anggaran. ”Seharusnya wewenang masing-masing pihak pemerintah dikaji dan dikelompokkan berdasarkan fungsi, luas situ, dan wilayah situ,” ujarnya.
Fungsi situ dapat ditinjau dari dampaknya terhadap skala kota/kabupaten, provinsi, atau nasional. Wilayah situ dapat ditentukan dari daerah aliran sungai (DAS) tempat situ itu berada.
Yadi berpendapat, jika tumpang-tindih wewenang ini berlanjut terus-menerus akan berdampak pada masalah administrasi. Sementara terkait situ-situ yang hilang akibat alih fungsi, perlu dibangun situ di lahan yang baru untuk penampungan air dan daerah resapan. (DD09)