JAKARTA, KOMPAS—Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Hal itu berpengaruh pada terdiskriminasinya hak-hak individu atau kelompok minoritas dalam suatu agama karena sifatnya yang multitafsir.
Pengujian Undang-Undang (UU) tersebut telah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada 2009 dan 2013. Dalam kedua kali pengujian tersebut, permohonan beberapa pihak yang terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktivis, atas penafsiran konstitusional terhadap UU itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Pada 2017, mereka kembali mengajukan permohonan itu. Hingga saat ini, prosesnya masih berlangsung.
Berdasarkan temuan Setara Institute, total sudah ada 97 kasus tentang penodaan agama dari 1965 hingga Mei 2017. Sebanyak 9 kasus terjadi pada periode 1965-1968. Lalu, 88 kasus terjadi pada periode 1999-2017.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Pengkajian dan Penelitian M Choirul Anam, Rabu (21/2), mengatakan, UU itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan tata kelola negara yang lebih menghormati hak asasi manusia. “Karena, PNPS ini sendiri lahir di tahun 1965 dalam nuansa tata kelola negara yang jauh berbeda dengan saat ini,” kata Choirul, saat dihubungi dari Jakarta.
UU itu dibuat pada masa revolusi. Itu sudah tidak relevan sama sekali dengan zaman sekarang
Hal serupa disampaikan pula oleh Direktur Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia mengatakan, UU tersebut tidak relevan dengan zaman. “UU itu dibuat pada masa revolusi. Itu sudah tidak relevan sama sekali dengan zaman sekarang,” kata Asfinawati, saat ditemui, di Jakarta, pada Rabu (21/2).
“Dari hukum, kita sudah punya amandemen konstitutusi. Kalau dulu hanya ada agama, sekarang kita punya pasal tentang kebebasan kepercayaan. Dan, pasal itu tidak disatukan dengan agama-agama,” kata Asfinawati. “Selain itu, kita sudah meratifikasi kovenan internasional atas hak sipil dan politik lewat UU Nomor 12 Tahun 2005, yang didalamnya ada kebebasan beragama dan berkeyakinan.”
Asfinawati beranggapan, ada konteks politik yang juga tidak sesuai apabila UU itu masih diberlakukan. Ia menjelaskan, saat UU itu dibuat, ada kondisi di mana pemimpin negara yang sedang berkeinginan untuk menata kehidupan politik dan mengurangi lawan politiknya dengan membatasi gerak masyarakat.
Tafsiran
Choirul mengatakan, UU Nomor 1/PNPS tahun 1965, memasuki ruang penafsiran keagamaan. Padahal, ruang tersebut merupakan ruang yang seharusnya tidak boleh dimasuki dan diatur karena dapat menyebabkan berbagai penafsiran.
Yang diperlukan adalah UU untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah diakui oleh konstitusi
“Yang diperlukan adalah UU untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah diakui oleh konstitusi,” kata Choirul.
Choirul menambahkan, pengaturan kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak boleh mengintervensi forum internum. Forum internum adalah esensi dari meyakini agama atau kepercayaan. Hal yang boleh diatur adalah ekspresi keagamaan.
“Negara boleh mengatur bagaimana pelaksanaan kegiatan keagamaan atau kepercayaan agar tidak mengganggu kepentingan public, seperti jalan raya, kegaduhan dan lain-lain. Hal itu untuk menciptakan perasaan saling menghormati antara pemeluk agama,” kata Choirul.
Sementara itu, Asfinawati mengatakan, UU itu bersifat multitafsir karena tidak ada penjelasan yang rinci tentang apa yang diatur. Dalam UU itu, ditambahkan satu pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu 156 A.
Berdasarkan hal itu, terdapat tiga perbuatan yang diatur adalah permusuhan dalam agama, penyalahgunaan agama, dan penodaan terhadap suatu agama. Asfinawati menyatakan, untuk poin penodaan agama tidak ditemukan rinciannya dalam KUHP. Di dalam UU itu pun, tidak disebutkan perbuatan seperti apa yang dianggap menodai agama.
Semisal, mencuri itu mengambil barang punya orang lain. Itu jelas. Ketika menodai agama, itu ukurannya seperti apa? Belum ditemukan indikator yang jelas
“Semisal, mencuri itu mengambil barang punya orang lain. Itu jelas. Ketika menodai agama, itu ukurannya seperti apa? Belum ditemukan indikator yang jelas,” kata Asfinawati. Hal yang dikhawatirkan olehnya adalah desakan publik bisa memengaruhi keputusan hakim dalam sebuah kasus penodaan agama.
Asfinawati mengharapkan agar Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Pemerintah memerhatikan keberlangsungan UU tentang penodaan agama itu. “Hukum ini alat perubahan sosial. Saya melihat, UU ini justru merubah kehidupan sosial secar negative. Kohesi sosial dan toleransi itu diubah dengan pasal ini,” kata Asfinawati.
Asfinawai menilai, UU itu berbahaya karena dapat mengakibatkan seseorang memidanakan orang lain dengan alasan penodaan agama. Padahal, orang yang dipidanakan itu belum tentu melanggar. Tanpa adanya indikator, peluang seseorang untuk dipidanakan meski tak bersalah kian tinggi karena penilaian bersalah atau tidak bisa dibuat lewat desakan publik.
“Jadi akhirnya, hukum ini menjadi alat untuk memecah kohesi sosial itu,” kata Asfinawati. (DD16)