Garis Pantai Terpanjang Kedua di Dunia, Mengapa Indonesia Masih Impor Garam?
Memiliki garis pantai sepanjang 54.716 kilometer atau menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tidak sepatutnya Indonesia masih mengimpor garam. Demikian pemikiran yang melekat di sebagian besar benak warga Indonesia. Ada apa dengan industri garam Indonesia?
Berdasarkan data Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), kebutuhan garam dalam negeri pada 2017 mencapai 4,23 juta ton. Rinciannya sebesar 3,48 juta ton untuk kebutuhan garam industri antara lain untuk industri petrokimia (1,6 juta ton), pulp dan kertas (450.000 ton), aneka pangan (450.000 ton), pakan ternak (200.000 ton), dan lain-lain. Sisanya sebesar 750.000 untuk kebutuhan garam konsumsi atau yang lebih akrab disebut garam dapur.
Sementara itu, kapasitas maksimal produksi garam nasional sebesar 2,6 juta ton per tahun. Kapasitas produksi maksimal itu hanya tercapai apabila dalam satu tahun itu pancaran matahari maksimal dan curah hujan minim.
Fluktuasi cuaca yang akibatkan curah hujan meningkat itu mengakibatkan produksi garam fluktuatif. Pada 2010, curah hujan tinggi membuat pengeringan garam tidak maksimal sehingga produksi garam jeblok di angka 30.000 ton, sedangkan pada 2014 saat kemarau panjang menyengat, jumlah produksi garam Indonesia mencapai 2,19 juta ton.
Besar selisih kebutuhan dengan produksi itu akhirnya harus dipenuhi dengan impor dari sejumlah negara, seperti Australia, India, China, dan Jerman. Artinya, Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan garam.
Dengan garis pantai sepanjang 54.716 kilometer, mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini ”hanya” ada 26.064 hektar yang dijadikan lahan produksi garam nasional. Meski memiliki pantai di seluruh pulau, nyatanya produksi garam tidak dilakukan di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, dan Pulau Papua.
Selain sentra produksi garam hampir di sepanjang pantai utara (pantura) Pulau Jawa serta Pulau Madura, produksi garam juga dilakukan di beberapa daerah lain, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sebagian Pulau Sulawesi.
Meski garam tercipta akibat perubahan proses kimia dari air laut yang dipanaskan, nyatanya tidak semua pantai di Indonesia itu bisa dijadikan lahan produksi garam.[caption id="attachment_2077414" align="alignnone" width="720"] Dua pekerja mengepak garam briket beryodium di industri garam rakyat yang berada di kawasan Jalan Kokrosono, Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara, Semarang, Rabu (7/7/2017). Industri garam yang memenuhi kebutuhan warga Semarang itu merupakan satu-satunya yang masih bertahan hingga kini di Semarang. Bahan baku garam dipasok dari kawasan Kabupaten Demak dan Jepara. [/caption]
Ahli kimia garam Universitas Indonesia, Misri Gozan, menjelaskan, meski garam tercipta akibat perubahan proses kimia dari air laut yang dipanaskan, nyatanya tidak semua pantai di Indonesia itu bisa dijadikan lahan produksi garam.
Ia menjelaskan, banyak faktor yang diperlukan untuk menjadikan daerah pesisir itu menjadi lahan produksi garam. Faktor-faktor itu adalah cuaca, curah hujan, tingkat kelembaban udara, kecepatan angin, dan kekuatan ombak laut.
”Petani garam di Indonesia masih menggunakan metode produksi yang sangat sederhana yang hampir sepenuhnya mengandalkan sinar matahari. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung membuat produksi garam itu tidak maksimal,” ujar Misri pada pada diskusi dan peluncuran buku Hikayat Si Induk Bumbu: Jalan Panjang Swasembada Garam”, di Jakarta, Kamis (22/2).
Turut hadir dalam acara itu Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jenderal Kelautan KKP Muhammad Abduh Nurhidayat, ekonom Faisal Basri, anggota Komisi IV DPR Daniel Johan, dan Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Industri (AIPGI) Tony Tanduk.
Pesisir Sumatera, misalnya, sulit menjadi lahan produksi garam karena ombaknya kuat. Terjangan ombak yang kuat, lanjut Misri, menyebabkan tambak garam hancur dan menggagalkan proses produksi garam. Sementara sentra-sentra produksi garam saat ini memenuhi kriteria-kriteria itu.
Tidak hanya dari sudut pandang ilmiah, ditinjau dari sudut pandang ekonomi, tidak semua pantai berubah menjadi lahan produksi garam karena pantai itu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang bisa menghasilkan nilai ekonomis lebih tinggi.
”Misalnya di Bali, pantainya indah sekali. Tentu lebih baik dijadikan obyek wisata yang memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang dimanfaatkan menjadi lahan produksi garam,” ujar Faisal Basri.
Basri menjelaskan, 1 hektar lahan produksi garam bisa menghasilkan panen sebesar 50-100 ton per tahun. Adapun garam itu dijual dengan harga Rp 1.100 per kilogram.
Artinya, setelah menanti proses produksi berupa penjemuran hingga lima bulan, hasil panen yang diperoleh berkisar Rp 5,5 juta-Rp 11 juta. Maka dalam sebulan, petani memperoleh uang Rp 1,1 juta-Rp 2,2 juta. Itu pun dengan catatan cuaca cerah dan curah hujan rendah sehingga proses penjemuran bisa maksimal.
”Maka ada kecenderungan lebih baik pantai itu dijadikan obyek wisata yang bisa mendatangkan nilai ekonomi lebih besar ketimbang lahan produksi garam,” ujar Faisal.
Kondisi dunia
Perlu diketahui, negara yang memiliki garis pantai yang panjang tidak serta-merta menjadi jawara di industri garam. Dikutip dari buku Hikayat Si Induk Bumbu: Jalan Panjang Swasembada Garam (2018) yang ditulis Gozan dan Basri, Kanada, negara dengan panjang pantai 202.080 kilometer atau yang terpanjang di dunia, hanya menduduki peringkat ke-8 dengan produksi pada 2016 sebesar 10 juta ton.
Negara yang memiliki garis pantai yang panjang tidak serta-merta menjadi jawara di industri garam. Kanada, negara dengan panjang pantai 202.080 kilometer atau yang terpanjang di dunia, hanya menduduki peringkat ke-8 dengan produksi pada 2016 sebesar 10 juta ton.
Gelar jawara produsen garam terbesar di dunia diraih China dengan produksi pada 2016 sebesar 58 juta ton. Padahal, China hanya menduduki peringkat ke-12 garis pantai terpanjang dunia.
Di saat bersamaan, China juga menduduki peringkat ketiga importir garam terbesar dengan nilai impor 2016 sebesar 189,2 miliar dollar AS atau 5,9 persen dari total impor dunia.
Amerika Serikat (AS) yang memiliki garis pantai terpanjang kesembilan di dunia dengan panjang 199.924 kilometer menjadi importir garam terbesar dengan impor pada 2016 sebesar 479,2 juta atau 15,1 persen dari total impor dunia. Seperti halnya China, AS juga eksportir garam terbesar dunia, yakni di peringkat ketiga dengan besar ekspor 155,5 juta dollar AS.
Uniknya, meski memiliki produksi terbesar, China bukanlah eksportir terbesar garam. Eksportir garam terbesar di dunia adalah Belanda. Negara yang dibangun dengan tanah reklamasi itu mengekspor garam pada 2016 sebesar 232 juta dollar AS (Rp 3,01 triliun) atau 10,3 persen dari total ekspor dunia.
Meski menjadi raksasa produsen dan eksportir garam, China dan AS juga masih perlu impor. Basri menjelaskan, mereka juga perlu impor garam karena kebutuhan garam industrinya besar.
”Negara-negara pengimpor garam itu adalah negara industri. Kebutuhan garam untuk produksinya begitu besar, jadi mereka juga perlu impor. Padahal mereka juga negara produsen garam,” ujar Basri.
Kondisi ini, tegas Basri, menunjukkan bahwa adalah mitos belaka negara dengan pantai panjang dan produsen garam tidak boleh atau tidak layak impor garam.
”Kita harus hapuskan mitos dan persepsi keliru itu di masyarakat,” ujar Basri.
Swasembada garam
Meski demikian, bukan hal yang keliru untuk mewujudkan swasembada garam di tanah air. Swasembada garam perlu terus didorong pencapaiannya di Indonesia.
”Garam itu harus swasembada. Jangan seluruhnya dipenuhi dengan impor, nanti kita sangat bergantung sepenuhnya oleh asing. Kalau tidak produksi sendiri, pengaruhnya bisa meluas ke mana-mana,” kata Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jenderal Kelautan KKP Muhammad Abduh Nurhidayat.
Untuk mencapai swasembada garam, KKP membenahi sektor hulu, yakni pemberdayaan petani garam. Pemerintah akan mendorong intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan produksi garam nasional.
Untuk intensifikasi, Abduh menjelaskan, pihaknya sudah menyiapkan teknologi yang memungkinkan pengolahan garam bisa selesai dalam waktu 7 hari dari sebelumnya 70 hari.
Tidak hanya mempercepat proses, Abduh mengatakan, teknologi itu memungkinkan pengolahan garam tidak bergantung pada cuaca matahari sehingga bisa selesai tepat waktu.
Adapun mengenai upaya ekstensifikasi, pihaknya sudah menyiapkan tambahan lahan seluas 10.000-15.000 hektar untuk meningkatkan kapasitas produksi. Dengan asumsi 1 hektar dapat menghasilkan 50-100 ton, tambahan produksi yang bisa dihasilkan mencapai 500.000-1.500.000 ton. Lahan baru pertanian itu terdapat di wilayah Nagakeo, Nusa Tenggara Timur.