Kaum Miskin dan Marjinal Masih Sulit Dapat Identitas Hukum
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan identitas hukum bagi sejumlah masyarakat di Tanah Air hingga kini menjadi persoalan bangsa Indonesia yang tak kunjung selesai.
Kendati program penerbitan kartu tanda penduduk elektronik dan akta kelahiran anak telah dijalankan pemerintah, sejumlah masyarakat miskin dan kelompok marjinal masih kesulitan mengakses kartu keluarga, akta kelahiran, dan akta perkawinan.
Selain masyarakat miskin, saat ini sejumlah masyarakat dalam komunitas adat, perempuan-perempuan kepala keluarga, anak-anak yatim piatu, serta orang-orang yang meninggalkan keluarga juga kesulitan mendapatkan identitas hukum.
Untuk mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi persoalan tersebut serta mengawal proses pemenuhan identitas hukum bagi kelompok tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) membentuk kelompok kerja untuk identitas hukum (Pokja Indentitas Hukum).
Pokja tersebut beranggotakan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kemitraan Partnership for Governance Reform, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik), Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), dan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi).
Selama ini advokasi seputar identitas hukum belum sepenuhnya dijalankan dengan baik.
”Selama ini advokasi seputar identitas hukum belum sepenuhnya dijalankan dengan baik,” ujar Koordinator Pokja Identitas Hukum Muhammad Jaedi, Rabu (21/2) di Jakarta, saat acara pencanangan Pokja Identitas Hukum.
Salah satu penyebabnya, identitas hukum belum terpenuhi adalah vakumnya Konsorsium Catatan Sipil, konsorsium multipemangku kepentingan yang menggagas Undang-Undang Catatan Sipil yang kemudian menjadi bagian Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Puncaknya adalah ketika revisi pertama Undang-Undang Administrasi Kependudukan dilakukan pemerintah nyaris tanpa pengawalan dari masyarakat sipil publik ketika revisi UU tersebut disahkan dengan meninggalkan begitu banyak persoalan administrasi kependudukan yang tak tertampung dalam peraturan yang ada.
”Hal ini berbeda dengan perdebatan sengit di pertengahan tahun 2000-an ketika UU Administrasi Kependudukan untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dibahas dan diperdebatkan di DPR,” ungkap Jaedi.
Mendukung kebijkan inklusif
Karena itu, Jaedi bersama pimpinan OMS yang tergabung dalam Pokja Identitas Hukum, Santi Kusumaningrum (Puskapa), Alexander Mering (Kemitraan-Partnership for Governance Reform), Eddy Setiawan (IKI), Nursyahbani Katjasungkana (LBH Apik), Nani Zulminarni (Pekka), dan Ari Masyhuri (Gandi) menyatakan akan terus mendukung pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan yang inklusif, nondiskriminatif, dan akuntabel agar semua penduduk dari berbagai kelompok sosial ekonomi, etnis, agama, keyakinan dan jender mendapatkan identitas hukum.
”Pokja mengandalkan bukti-bukti empiris sebagai basis argumentasi dan mendorong munculnya diskursus berbasis bukti. Dengan begitu, berbagai rekomendasi Pokja kepada pemerintah akan selalu dapat diuji secara ilmiah,” ujar Santi.
Karena itulah, Pokja Identitas Hukum mengundang semua organisasi untuk bergabung dan bekerja bersama-sama mewujudkan sistem identitas hukum yang inklusif, nondiskriminatif, dan akuntabel dengan menggabungkan berbagai sumber daya yang tersedia.
”Kami yakin kerja-kerja advokasi akan memberikan kontribusi yang semakin besar pada pembangunan sistem pencatatan sipil di Indonesia agar setiap orang Indonesia memiliki identitas hukum,” ujar Alaxander Mering.
Pemenuhan identitas hukum, menurut Nursyahbani, adalah tanggung jawab negara, seiring dengan komitmen agenda global, yakni Sustainable Development Goals/SDG atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), khususnya tujuan ke-5 mewujudkan kesetaraan jender, dan tujuan lainnya.
Sejauh ini, dari data Kementerian Dalam Negeri, penduduk wajib kartu tanda penduduk yang telah melakukan perekaman KTP elektronik adalah 97,4 persen.
Sisanya 2,6 persen ditargetkan selesai pada triwulan pertama tahun 2018. Pemerintah Indonesia juga telah mencapai target RPJMN 2015 2019, yakni 85 persen cakupan anak pada 2017.
Banyak persoalan serius yang dialami masyarakat miskin dan kelompok marjinal dalam memenuhi kebutuhan identitas hukum.
Kendati demikian, dari capaian tersebut, Pokja Identitas Hukum menilai masih banyak persoalan serius yang dialami masyarakat miskin dan kelompok marjinal dalam memenuhi kebutuhan identitas hukum.
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 mencatat biaya dan prosedur yang rumit masih menjadi kendala masyarakat dalam mendapatkan identitas hukum.
”Penerbitan identitas hukum memang gratis. Namun, absennya pelayanan hingga tingkat desa menyebabkan pengurusan identitas hukum tetap menguras biaya. Persoalan ini diperburuk dengan lemahnya koordinasi yang memperkecil peluang penyedia layanan untuk menjangkau masyarakat miskin dan kelompok marjinal. Dua kelompok tersebut dinilai kerap tertinggal dalam proses pembangunan,” kata Jaedi.
Perbaikan infrastruktur
Menurut Ari Masyhuri dari Gandi, lemahnya akses untuk mendapatkan identitas hukum bagi masyarakat marjinal dan miskin dipengaruhi oleh sejumlah kondisi dan kebijakan pemerintah selama ini.
”Misalnya, pemutihan akta kelahiran dan perkawinan yang masih menggunakan nomor Staatsblad. Kami berharap ke depan dibuat prosedur pelayanan sehingga akta kelahiran sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan,” katanya.
Ia berharap pemenuhan identitas hukum menjadi prioritas nasional dan perbaikan infrastruktur pelayanan dilakukan pemerintah sampai tingkat kecamatan.
Pengalokasian sebagian dana desa untuk pemenuhan identitas akta lahir dan mati, perlindungan data penduduk yang ada di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), serta pelayanan yang sama tanpa diskriminasi.
Nani mengungkapkan, Pekka mendukung Pokja Identitas Hukum. Hingga kini lebih dari 60 persen anggota Pekka yang berjumlah sekitar 55.000 orang, yang tersebar di sekitar 1.000 desa di 20 provinsi, menghadapi berbagai persoalan dalam mendapatkan identitas hukum.
Pemenuhan identitas hukum yang menjadi prioritas nasional diharapkan bisa dilakukan pemerintah sampai tingkat kecamatan.
Pekka mendampingi perempuan yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, penjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarganya.
Komunitas Pekka mencakup perempuan yang ditinggal/dicerai hidup oleh suaminya, perempuan yang suaminya meninggal dunia, perempuan yang membujang atau tidak menikah dan memiliki tanggungan keluarga, perempuan bersuami, tetapi oleh karena suatu hal, suaminya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga, sera perempuan bersuami, tetapi suami tidak hidup dengannya secara berkesinambungan karena merantau atau berpoligami.
Santi menambahkan, Puskapa berharap pemenuhan identitas hukum bagi warga negara yang didorong Pokja Identitas Hukum ini akan didukung sejumlah data, selain SIAK dan Susenas, juga data-data dari berbagai organisasi dan lembaga serta studi khusus.