Ketika Tiga Wartawan ”Kompas” Tumbang oleh Malaria dari Asmat
Bayangan malaria langsung muncul di benak saya saat diminta meliput ke Asmat, Papua. Kantor redaksi di Jakarta memang telah meminta saya untuk sesegera mungkin bergabung dengan tim wartawan Kompas di Asmat untuk meliput bencana gizi buruk dan campak.
Mengapa saya membayangkan malaria? Nah, siapa yang tak tahu ganasnya malaria Papua. Papua adalah daerah endemis malaria. Banyak orang yang pernah bertugas di sana tersungkur dihajar malaria.
Para tentara sekalipun, dengan fisik sekuat mereka, belum tentu selamat dari malaria. Kematian akibat malaria bahkan biasa terjadi di Papua. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015 terdapat 438.000 kematian akibat malaria.
Sebagai wartawan Kompas yang tergabung di Biro Sulawesi dan Indonesia Timur, tentu saya pernah ke Papua. Pada 2017, saya pernah bertugas di Sorong dan Manokwari. Saat itu, saya lolos dari malaria karena mungkin saya hanya meliput di perkotaan.
Ketika menerima penugasan itu dari Kepala Biro Kompas untuk Sulawesi dan Indonesia Timur M Final Daeng (biasa kami sapa dengan panggilan Eng), saya kembali bertanya di dalam hati, ”Mungkinkah kali ini saya lolos dari malaria?”
Jawaban atas pertanyaan itu terabaikan karena kesibukan untuk mempersiapkan diri menghadapi liputan. Selasa (16/1/2018) itu ternyata tidak ada lagi penerbangan dari Ambon menuju Papua.
Hanya ada satu penerbangan tersisa, yakni rute Ambon-Makassar, Sulawesi Selatan, pada malam hari, untuk kemudian saya dapat terbang ke Papua. Untuk menuju Asmat di timur Ambon, saya harus terbang dulu ke barat sekitar 1.000 kilometer (setara jarak Anyer-Panarukan).
Tiba di Makassar, saya langsung mampir di kantor Kompas Makassar untuk mencari sejumlah literatur pendukung liputan. Saya juga berdiskusi dengan Eng terkait fokus liputan.
Di Makassar, saya sempat mencari obat antimalaria. Di sebuah apotek, seorang penjaga apotek—yang saya prediksi bukan apoteker—memberikan sebuah obat. Namun, tampak sekali dia tidak menguasai obat itu karena tidak mampu menjelaskan obat itu dengan meyakinkan.
Tampak sekali dia tidak menguasai obat itu karena tidak mampu menjelaskan obat itu dengan meyakinkan.
Karena ragu dengan penjaga apotek yang pertama, saya mencari apotek yang lain. Di apotek itu, saya diberi vitamin untuk menjaga kondisi tubuh. Tubuh yang lemah, katanya, menjadi pintu masuk malaria. Dia pun bertanya, ”Kapan ke Papua?”
”Nanti, dini hari,” jawab saya.
”Harusnya sudah diminum satu minggu sebelumnya,” lanjutnya, dengan nada suara mengeluh. ”Terlambat, kalau minum sekarang. Tapi, tidak apa-apa daripada tidak sama sekali. Jangan sampai perut kosong,” ujarnya lagi. Kali ini, dia membesarkan hati saya.
Setelah istirahat sekitar dua jam, Rabu (17/1/2018) pukul 00.30 waktu Makassar, saya berangkat ke Bandara Sultan Hasanuddin. Tadinya, pesawat akan diterbangkan menuju Timika, Kabupaten Mimika, Papua, pukul 03.00. Namun, hujan lebat yang mengguyur wilayah bandara membuat penerbangan kami ditunda sekitar tiga jam.
Menjelang pukul 10.00 waktu setempat, kami mendarat di Bandara Mozes Kilangin, Timika. Wilayah Timika yang dikenal sebagai ladang emas terbesar di dunia itu berbatasan dengan Kabupaten Asmat yang menjadi lokasi bencana gizi buruk dan campak.
Timika adalah pintu masuk menuju Asmat. Pesawat komersial dapat mendarat di Timika karena panjang landasannya memadai. Dari Timika, perjalanan dapat dilanjutkan ke Agats dengan kapal laut atau dengan pesawat berkapasitas tidak lebih dari sembilan penumpang.
Ketika tiba di Timika, saya mendapat kabar bahwa malam itu ada kapal yang berangkat ke Agats. Saya langsung memutuskan naik kapal itu, Kapal Motor Tatamailau, dengan pelayaran sekitar 10 jam.
Kamis (18/1/2018) sekitar pukul 07.00 waktu setempat, kapal sandar di Agats. ”Selamat datang di sarang malaria,” ujar saya dalam hati begitu turun dari kapal. Entah mengapa saya berkata demikian. Namun, reputasi malaria di Papua, dan khususnya di Asmat, begitu melegenda.
Hari itu, untuk pertama kali saya menjejakkan kaki di Agats, yang antarrumahnya terhubung dengan papan. Kota yang tumbuh di atas rawah-rawah itu unik. Sarana transportasinya juga sepeda listrik sehingga tak ada polusi. Hingga Januari lalu diperkirakan terdapat sekitar 2.000 sepeda listrik di kota berpopulasi sekitar 26.000 jiwa itu.
Ketika melintas di Jalan Missi, tepat di depan Rumah Sakit Umum Daerah Agats, saya melihat pemandangan memilukan. Beberapa anak dengan infus di tangan sedang dipangku orangtuanya di emperan rumah sakit tipe D itu.
Tampak warga dari kampung tertidur di halaman rumah sakit dengan hanya beralaskan tikar daun pandan. Mereka menunggu anak-anak yang sedang dirawat di rumah sakit itu.
Tidak jauh dari rumah sakit terdapat Hotel Sang Surya. Fabio M Lopes Costa, wartawan Kompas yang bertugas di Papua, sudah menanti saya di depan hotel itu. Fabio yang pertama kali mengungkap kasus gizi buruk dan campak itu ke publik.
Bersama Fabio sudah ada pewarta foto harian Kompas, Demitrius Wisnu Widiantoro. Foto-foto tentang gizi buruk dan campak yang menghiasi halaman muka harian Kompas selama seminggu penuh adalah karya Wisnu yang sehari-hari meliput di Jakarta.
Di Agats juga ada Josie Susilo Hardianto, wartawan Kompas yang diminta meliput, selain membawa bantuan kemanusiaan dari pembaca harian Kompas untuk para korban bencana kesehatan. Josie, yang sebelumnya pernah bertugas di Papua, kini menjadi editor di Jakarta.
Setiba di Agats, saya dan Wisnu langsung berangkat ke Kampung Kapi, Distrik Pulau Tiga, yang ditempuh dalam tiga jam. Kami mengikuti tim asistensi Keuskupan Agats yang membawa bantuan.
Malam itu, kami memutuskan menginap di Pastoran Kapi. Dengan bermalam di pastoran, kami berharap mendapat banyak informasi dari warga.
Pastor Hery Ola, Pr pun menginformasikan telah menyiapkan sebuah kamar bagi kami. Namun, ketika kami memasuki kamar itu, ternyata tidak ada tempat tidurnya. Hanya ada papan dengan alas karpet seadanya. Setelah makan malam, karena lelah, kami segera merebahkan badan di kamar itu.
Wisnu sedikit beruntung karena membawa sleeping bag. Sementara saya hanya mengandalkan jaket, jelana jeans, dan kaus kaki. Ternyata, pakaian saya mudah ditembusi ”jarum” nyamuk.
”Nyamuk di Papua ini sadis kawan. Semalam, dia berpesta pora di badan kita,” ujar Tinus, salah satu relawan keesokan harinya. Untuk menghindari nyamuk, Tinus dan teman-temannya memilih tidur di dalam gereja. Mereka bahkan membuat api unggun di dalam gereja, tapi nyamuk tetap gagal dihalau.
Digempur nyamuk
Ketika digempur nyamuk, perasaan saya sudah tidak enak. Saya merasa virus malaria sepertinya sudah mengalir di dalam darah. Meriang adalah gejalanya. Saya pun berdoa agar jangan sampai jatuh sakit. Jika saya sakit, siapa yang melanjutkan reportase Kompas di Asmat?
Apalagi, tidak lama setelah kedatangan saya, Fabio langsung pulang ke Jayapura. Tentu masih ada wartawan foto Kompas, tetapi mereka juga punya tugas untuk mewartakan bencana kesehatan ini. Selain memotret, mereka juga dituntut untuk membuat video.
”Tuhan, saya masih mau meliput. Beri kesempatan buat saya untuk mendedikasikan diri bagi masyarakat di pedalaman ini. Tolong saya, ya, Tuhan,” demikian inti doa saya. Tiap malam, saya mendaraskan doa itu sebelum beristirahat.
Selama di Asmat, saya tiga kali tidur di pedalaman. Kali pertama bersama Wisnu, sementara kali kedua dan ketiga bersama wartawan foto Kompas, P Raditya Mahendra Yasa. Raditya menggantikan Wisnu yang ditarik pulang ke Jakarta. Selain di Pulau Tiga, saya sempat bermalam di Distrik Atjs.
Selain dihajar nyamuk, salah satu tantangan meliput di pedalaman adalah jaringan internet. Wisnu dan Raditya mengandalkan modem satelit yang kadang tidak bisa berfungsi karena beberapa faktor seperti cuaca.
Karena sudah dijadwalkan untuk liputan tol laut, pada 26 Januari saya keluar dari Asmat. Saya langsung berangkat ke Saumlaki di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku.
Pulang dari Saumlaki pada Selasa (30/1/2018), pada hari Kamis (1/2/2018) saya berangkat ke Surabaya untuk mengurus visa. Kebetulan, pada Maret 2018 saya diminta ke Amerika Serikat sehingga harus mengurus visa terlebih dahulu.
Demam tinggi
Ketika berada di Surabaya, saya terserang demam tinggi. Saya mencoba berobat ke salah satu klinik, tetapi tidak tersedia tes serum malaria. Padahal, saya berfirasat terkena malaria karena demam. Di klinik itu, saya justru dinyatakan menderita tipes.
Senin (5/2/2018), saya memaksakan diri terbang ke Ambon. Setelah diambil darah di Ambon, saya dinyatakan positif malaria tertiana. Saya dirawat selama lima hari di Rumah Sakit Hative Ambon.
Beberapa hari sebelumnya, Wisnu dan Raditya juga terkena malaria. Menurut Wisnu, Jumat (2/2/2018) dia sempat bekerja seperti biasa. Pada siang hari, dia bahkan sempat meliput konferensi pers di Komnas HAM terkait penolakan terhadap Rancangan KUHP yang akan disahkan oleh DPR.
Namun, siang itu Wisnu merasa tubuhnya ”tidak normal”. Walau cuaca panas, dia tidak merasa perlu membuka jaket saat memotret di Komnas HAM. Seusai acara, dia langsung menuju kantor untuk tidur agar kondisinya pulih. Kantor redaksi Kompas memang dilengkapi dengan kamar tidur. Akan tetapi, setelah tidur selama satu jam, badannya malah mulai menggigil.
Tanpa berpikir lama, Wisnu langsung menyimpan tas kamera di lemari penyimpanan. Foto hasil liputan diserahkan kepada periset foto untuk diedit dan diberi keterangan foto.
Petugas keamanan sempat menawarkan Wisnu naik ambulans milik Kompas Gramedia yang biasanya diparkir di tempat parkir khusus wartawan Kompas. Wisnu menolak. Dia memilih naik ojek online supaya lebih cepat karena bertepatan dengan rush hour saat orang pulang kerja.
Dalam perjalanan selama 1,5 jam, tubuh Wisnu terus menggigil. Persoalannya, ketika tiba di UGD RS Pondok Indah Bintaro Jaya, permintaannya untuk langsung cek darah terkait malaria langsung ditolak dokter jaga. Alasannya, Wisnu baru mengalami demam di hari pertama.
Permintaannya untuk langsung cek darah terkait malaria langsung ditolak dokter jaga.
Positif malaria
Wisnu bahkan diminta untuk menunggu tiga hari sebelum dicek darah. Padahal, dia sudah menerangkan bahwa dirinya baru saja pulang dari Asmat.
Menurut Wisnu, ketika itu dia sudah yakin terserang malaria karena telah membandingkan kondisinya dengan teman-teman di Kompas yang juga terserang malaria. Ciri-cirinya antara lain demam tinggi, menggigil kedinginan, sakit kepala hebat, persendian sakit, dan mual.
Alhasil, Wisnu pulang ke rumah hanya dengan obat demam, obat lambung, dan antivirus. Pagi harinya, dia merasa sehat, tetapi menjelang maghrib hingga tengah malam kembali sakit.
Dua hari kemudian, dia mengalami kejadian serupa sehingga langsung kembali ke RS Pondok Indah Bintaro Jaya. Dengan sedikit berargumentasi, Wisnu langsung dicek darah dan ternyata dia positif terserang malaria.
Karena plasmodium malaria falciparum dalam darahnya hanya 0,1 persen, hal itu digolongkan sebagai malaria ringan. ”Ringan saja seperti itu bagaimana kalau kategori berat?” ujar Wisnu. Sebenarnya, Wisnu berbekal kina dalam liputannya ke Asmat meski ternyata tidak mampu mencegahnya dari malaria.
Kondisi Wisnu sempat memburuk sehingga kemudian dipindahkan ke bangsal isolasi agar tidak tertular penyakit dari luar. Setelah lima hari dirawat, kondisinya membaik, bahkan diperbolehkan pulang meski harus beristirahat total di rumah hingga Sabtu (17/2/2018).
Nasib lebih buruk dialami Raditya. Ibaratnya, dia tumbang sebelum meninggalkan tanah Papua. Sabtu (3/2/2018), ketika menunggu penerbangan Timika-Jakarta, badannya sudah terasa kedinginan. ”Awalnya, saya pikir kedinginan karena AC. Tapi, dalam enam jam penerbangan, badan saya menggigil dan saya pusing,” ujar Raditya yang tidak sempat minum antimalaria apa pun.
Mendarat di Semarang pada Minggu (4/2/2018), Raditya—anggota Biro Kompas Jawa Tengah—tidak pulang ke rumah tetapi langsung ke rumah sakit. Seperti halnya nasib Wisnu, sang dokter justru menyarankan Raditya untuk cek darah pada Selasa untuk mengetahui apakah terkena malaria atau tidak.
Karena merasa tidak kuat lagi, Senin (5/2/2018), Raditya mendatangi RS Elisabeth untuk langsung diopname. Hasil medis akhirnya juga memperlihatkan bahwa plasmoduim falciparum stadium tropozoid bersarang di dalam tubuhnya.
Mendengar Raditya positif terserang malaria tropikana, Kompas langsung bergerak untuk mencari obat malaria ke berbagai pihak karena obat itu sempat tidak tersedia.
Celakanya, dokter kembali mendiagnosis Raditya terkena demam berdarah dengan trombosit yang rendah. Terkena malaria sekaligus demam berdarah memaksa dirinya untuk menginap di rumah sakit selama seminggu penuh.
Meski akhirnya kami terkapar karena malaria, saya, Wisnu, dan Raditya tak pernah menyesal bertugas di Asmat. Kami justru bangga dapat ikut ambil bagian dalam kerja-kerja kemanusiaan untuk mewartakan kebenaran.
Namun, pengalaman terserang malaria itu menjadi catatan bagi siapa pun yang bertugas di daerah endemis itu agar sungguh-sungguh menyiapkan diri dengan baik. Jangan sampai tumbang lagi!