Direktur Pembinaan Pers Departemen Penerangan Anwar Luthan menyebutkan, oplah 159 surat kabar, termasuk mingguan, Indonesia tahun 1970 hanya mencapai 912.500 eksemplar. Hampir separuh produk terbitan Jakarta. Terjadi stagnasi sirkulasi karena jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 1955 yang saat itu ada 106 surat kabar. Penyebab oplah mandek antara lain kesulitan percetakan dan daya beli masyarakat yang rendah.
Serikat Perusahaan Pers (SPS) mencatat oplah media cetak Indonesia mencapai puncaknya tahun 2011. Saat itu total oplah surat kabar mencapai 25.245.076 eksemplar dari 1.361 media yang terdiri dari 401 surat kabar harian, 284 mingguan, 411 majalah, dan 265 tabloid.
Jumlah di atas lebih dari 25 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1970. Setelah 2011 terjadi penurunan terus-menerus oplah surat kabar sehingga pada 2017 tercatat total oplah hanya 17.175.238 eksemplar atau turun sekitar 30 persen dalam waktu 6 tahun. Oplah itu berasal dari 793 media cetak yang jumlahnya juga turun sekitar 45 persen.
Matinya media cetak paling banyak terjadi di surat kabar mingguan dari 284 anjlok menjadi 67 pada 2017, alias tersisa sekitar 23 persen. Berikutnya majalah dari 411 menjadi 194 dan tabloid dari 265 menjadi 133.
Faktor utama adalah banyak media yang bangkrut karena kurang pendapatan, terutama dari iklan, meskipun penelitian AC Nielsen menunjukkan nilai belanja iklan media cetak tumbuh 21 persen dari tahun 2011 ke 2016. Artinya, media cetak secara ekonomis masih di-support iklan walau kalah dari televisi dari segi jumlah rupiah dan kalah dari media online dari segi persentase pertumbuhan.
Faktor lain penyebab kematian media cetak adalah kemajuan teknologi yang membuat masyarakat lebih suka mendapat informasi gratis dari perangkat komunikasi, seperti ponsel, dan kecenderungan pembaca muda yang tidak lagi membaca surat kabar. Dari kondisi ini, maka masih akan terjadi penurunan oplah dan kematian media cetak di tahun-tahun ke depan meski banyak perusahaan media berupaya bertahan dengan berbagai cara. (HCB)