Perawatan Bahasa Daerah Bertumpu pada Generasi Milenial
Oleh
DD18
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan bahasa daerah kian terancam karena kesadaran orang tua untuk menurunkannya kepada anak masih kurang. Padahal, bahasa daerah tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga pengenalan jati diri. Penutur muda pun menjadi target pemulihan bahasa daerah di tahap awal dunia pendidikan.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar mengatakan, setiap tahun selalu ada penurunan status atau ancaman kepunahan dari 652 bahasa daerah di Indonesia. Salah satu penyebab terbesarnya adalah penyusutan jumlah penutur bahasa daerah di masyarakat.
"Upaya penghidupan kembali bahasa daerah di dalam keluarga cenderung tergerus sehingga dikhawatirkan anak-anak tidak lagi menjadi pewaris budaya. Kehilangan bahasa berarti kehilangan keberagaman," ujar Dadang, dalam diskusi bertemakan "Kebinekaan Bahasa Daerah sebagai Potensi Pemajuan Bangsa" di kantor Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (21/2).
Sebelumnya, Badan Bahasa sepanjang tahun 2011-2017 telah menguji vitalitas atau daya tahan terhadap 71 bahasa daerah. Hasilnya, sebanyak 11 bahasa daerah dikategorikan punah, 4 bahasa kritis, 19 bahasa terancam punah, 2 bahasa mengalami kemunduran, dan 16 bahasa berada dalam kondisi rentan.
Dari 11 bahasa daerah yang punah, sembilan bahasa terdapat di Maluku dan Maluku Utara, yakni bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Sementara itu, dua bahasa daerah lainnya yang juga punah berasal dari Papua, yakni bahasa Tandia dan bahasa Mawes. (Kompas, 21/2)
Pengantar pendidikan
Dadang mengatakan, saat ini Badan Bahasa fokus menargetkan upaya revitalisasi bahasa kepada penutur muda. Menurut Dadang, penguatan bahasa daerah dapat dimulai sebagai media pembelajaran pada tahap awal pendidikan. Hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Kita perlu jaga para penutur muda agar tidak makin meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Itu bisa dimulai dari bahasa pengantar pendidikan dari kelas 1 hingga 3 Sekolah Dasar pakai bahasa daerah," ujar Dadang. Namun demikian, lanjut Dadang, pelajaran Bahasa Indonesia tetap tidak boleh ditinggalkan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid menuturkan, bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang memegang kekayaan budaya. Menurut Farid, bahasa daerah tidak hanya sekadar sarana komunikasi, tetapi penanda jati diri.
"Banyak hal dalam hidup kita tidak cukup diekspresikan hanya dengan Bahasa Indonesia. Bahasa daerah adalah alat sentral dan penting sebagai perekat kebangsaan," ujar Hilmar.
Kepala Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur (NTT), Valentina Lofina Tanate, mengatakan, dari 25 bahasa di NTT, satu bahasa masuk kategori terancam punah (bahasa Beilel) dan dua bahasa masuk kategori kritis (bahasa Reta dan bahasa Nedebang).
Sikap budaya lemah
Valentina menjelaskan, kebudayaan di NTT, para orang tua cenderung enggan mengenalkan bahasa daerah kepada anaknya karena merasa tidak membantu mereka dalam dunia kerja. Para orang tua lebih memilih untuk mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anaknya.
"Itu yang membuat bahasa derah tidak berkembang secara turun-temurun. Mereka perlu dituntun bahwa tujuan pewarisan bahasa lebih kepada nilai budaya," ujar Valentina.
Kepala Kantor Bahasa Maluku Asrif bercerita soal kepunahan bahasa Maluku. Bahasa tersebut sudah mulai berkurang ketika bangsa Portugis masuk ke Maluku sekitar 600 tahun yang lalu. Masyarakat Maluku dilarang untuk menggunakan bahasa daerahnya. Selain itu, adanya suku pendatang dan perkawinan campur juga menjadi faktor penyusutan penutur bahasa Maluku itu.
"Bahasa pribumi pun jadi minoritas dibandingkan bahasa pendatang," ujar Asrif.
Asrif menilai, hal itu disebabkan sikap budaya masyarakat Maluku yang juga lemah. Masyarakat, lanjut Asrif, seolah acuh tidak acuh terhadap pewarisan bahasa daerah mereka sendiri.
"Saya selalu coba menyuarakan bahwa ada massalah kepunahan bahasa yang begitu dahsyat, tetapi tidak ada satupun pihak yang berurai air mata untuk itu," ujar Asrif.
Ahli linguistik Universitas Indonesia Dwi Puspitorini mengatakan, pelestarian bahasa derah tidak dimungkiri harus mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan penuturnya dari generasi milenial. Karena itu, kehadiran media sosial dinilai bisa menjadi media baru dalam upaya pelestarian bahasa daerah.
"Media sosial ini kan gabungan lisan dan tulis, penyebarannya pun makin luas. Jadi ada kencederungan bahasa daerah bangkit dengan media baru ini. Dengan media sosial, orang juga semakin berani menunjukkan jati dirinya," ujar wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Program Studi Sastra Jawa UI.