Produk DPR Buruk dari Kuantitas hingga Kualitas
JAKARTA, KOMPAS -- Produk legislasi yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat pada awal 2018 dinilai buruk dari kuantitas dan kualitas. DPR baru menyelesaikan 1 dari 50 target prolegnas prioritas. Selain itu, Revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang diselesaikan malah memicu kontroversi.
Revisi UU MD3 merupakan satu-satunya produk legislasi yang diselesaikan DPR pada masa sidang III dari 9 Januari 2018 – 14 Februari 2018. Sementara itu, untuk mencapai target, DPR masih harus menyelesaikan 49 Rancangan UU sepanjang tahun 2018.
“Masa sidang III kan awal bagi DPR untuk merealisasikan target Prolegnas Prioritas 2018 sebanyak 50 RUU. Namun, hanya satu yang disahkan. Mereka akan gagal memenuhi target legislasi secara kuantitas seperti tahun-tahun sebelumnya. Apalagi ini adalah tahun politik, fokus mereka akan terbelah,” ucap Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, Kamis (22/2), pada acara Diskusi Forum Kamisan, di Kantor Formappi, Jakarta.
Adapun, sejak 2014, DPR hanya berhasil menyelesaikan 20 RUU Prioritas. Capaian tertinggi dalam setahun terjadi pada 2016 dengan 10 RUU Prioritas, sedangkan pada 2017 hanya 6 RUU saja yang rampung.
Sementara itu, produk legislasi yang dihasilkan pun patut dipertanyakan. Menurut Lucius, Revisi UU MD3 yang awalnya ditujukan untuk menambah pimpinan DPR dan MPR malah melebar. UU itu membuat DPR menjadi superior, apalagi dengan Pasal 122 yang seolah ingin membungkam kritik masyarakat.
Revisi UU MD3 memicu perdebatan di masyarakat. Rabu lalu, elemen masyarakat sipil mengguggat uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan, pegiat media sosial membuat petisi untuk menolak revisi itu lewat situs Change.org. Sampai Kamis sore, sekitar 188 ribu orang sudah menandatangani petisi itu.
Revisi ini pun mengagetkan Presiden Joko Widodo. Alhasil, Jokowi belum memutuskan untuk menandatangai revisi tersebut. Lewat akun resmi Twitter @jokowi, dia mengingatkan, jangan sampai kualitas demokrasi menurun.
Lucius mengatakan, hal itu menandakan potret buruknya kinerja DPR dalam segi kuantitas maupun kualitas. “Janji DPR untuk serius menggenjot kinerja legislasi hanya terlihat sebagai jargon, tetapi tidak terwujud,” katanya.
Menanggapi itu, Anggota Komisi III DPR Asrul Sani mengatakan, masih terlalu prematur bila mengkhawatirkan produktivitas DPR pada Februari. Menurut dia, DPR optimistis akan menyelesaikan lebih banyak RUU menjadi UU pada 2018.
"Kan masa sidang itu dimulainya dari awal Oktober. Kalau melihat sekarang baru Februari, tentunya terlalu cepat untuk mengukur kinerja legislasi tahunan. Apalagi banyak RUU yang sudah selesai atau hampir selesai, seperti RUU Terorisme, RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," sebut Asrul.
Meski demikian, Asrul juga mengingatkan pentingnya publik dan media agar selalu mengingatkan anggota dewan. Hal itu untuk menghindari aktivitas politik yang mengganggu kerja-kerja legislasi. Apalagi, tahun 2018 dan 2019 terdapat Pemilu Kepala Daerah serta Pemilu Legislatif dan Presiden serentak
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, lebih mengedepankan kualitas untuk pembahasan RUU. Namun, dia menyadari penilaian masyarakat akan kinerja dan citra DPR diukur dari produktivitas legislasi. Untuk itu, Bambang mengajak semua anggota untuk lebih sungguh-sungguh dalam pembahasan RUU.
Selain itu, Bambang juga mengharapkan pemerintah juga memiliki semangat sama untuk mengakselerasi penyelesaian RUU. Hal itu sesuai fungsi legislasi yang juga berada di tangan Presiden.
Dari Prolegnas RUU Prioritas 2018, sebanyak 23 (dua puluh tiga) RUU masih dalam proses pembahasan, termasuk 3 (tiga) RUU Kumulatif Terbuka. Sisanya, 15 (lima belas) RUU masih dalam proses penyusunan di DPR, 5 (lima) RUU menunggu Surat dari Presiden, sedangkan 8 (delapan) RUU dalam proses penyusunan di tangan Pemerintah.
Terkait kualitas Revisi UU MD3, pada (Kompas, 21/2), Bambang mengakui, revisi itu bermasalah. Untuk itu, dia mendorong masyarakat sipil untuk mengajukan uji materi ke MK.
Tata kelola
Dalam hal kuantitas, Lucius menilai rendahnya produktivitas DPR karena tata kelola yang buruk. Prioritas Prolegnas hanya dijadikan wadah untuk mengumpulkan usulan RUU dari berbagai lembaga tanpa dilihat kegentingannya.
“Tidak ada desain kerja. Banyak usulan dari kementerian lembaga, DPD, Pemerintah, dan fraksi-fraksi di DPR. Usulan itu tidak dipertimbangkan dulu kepentingannya dengan pertimbangan untuk misi pembangunan. Semua hanya dikumpulkan dalam Prolegnas. Akhirnya jadi seperti keranjang sampah,” kata Lucius.
Salah satu RUU yang masuk kategori tidak penting adalah larangan minuman beralkohol. RUU itu sudah final sejak 2015, tetapi sampai saat ini hanya digantungkan. Lucius mengatakan, tidak melihat urgensi pada produk legislasi itu.
“Kalau penting harusnya sudah diselesaikan karena waktu itu hanya tinggal pembahasan nama UU. Tetapi hingga kini menggantung, berarti hal itu tidak penting. Terlihat sekali kelemahan perencanaan yang tidak melibatkan naskah akademik di dalamnya,” tuturnya.
Menurut Lucius, ke depannya DPR harus menyeleksi RUU yang masuk. Prioritas RUU itu didasarkan pada kebutuhan untuk menujang pemerintahan. Harusnya, rancangan itu berasal dari komisi di DPR. Per komisi cukup menghasilkan dua RUU, itupun dengan catatan satunya cadangan.
Target Prolegnas, kata Lucius, terlihat sangat bombastis dengan penyelesaian 50 RUU. Seharusnya, DPR memfokuskan dahulu 21 RUU yang sudah dalam proses pembicaraan tingkat 1. RUU itu sudah menghabiskan banyak uang dan tinggal satu langkah lagi menuju Paripurna. “Tidak perlu 50 karena tidak akan tercapai juga, lebih baik selesaikan 21 RUU itu dulu,” katanya.
Sementara itu, hadir juga peneliti bidang kelembagaan Formappi I Made Leo Wiratma. Menurut dia, buruknya hasil Revisi UU MD3 karena pembahasan yang kacau. Menurut dia, revisi itu menyimpang dari kebiasaan proses pembahasan RUU. DPR dinilai tidak melibatkan masukan publik atau meminta pendapat ahli.
“Mereka seperti sengaja menghindari partisipasi publik dengan menyembunyikan isu. Publik mulai mengetahui setelah pemahasan masuk fase akhir mendekati pembahasa pada Paripurna,” sebut Made.
Meski begitu, menurut Bambang, revisi UU MD3 sudah sesuai dengan tahapan penyusunan perundangan-undangan. Bahkan, proses pembahasan pun sudah mendapatkan masukan dari masyarakat, seperti para ahli tata negara. (Kompas, 21/2) (DD06)