Rancangan Baku Mutu Emisi PLTU Batubara Belum Tekan Polusi
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara untuk Revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tahun 2008 dinilai belum mampu menekan polusi udara akibat produksi pembangkit jenis ini.
Jika rancangan ini dimasukkan dalam revisi, hanya seperempat pembangkit yang melewati ambang batas dan harus menyesuaikan, sedangkan sisanya beroperasi seperti biasa.
Peneliti Greenpeace, Adila Isfandiari, di Jakarta, Kamis (22/2), menyatakan, rancangan Baku Mutu Emisi (BME) yang ditentukan untuk revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 21/2008 tidak begitu ketat.
Ia berujar, potensi polusi udara yang timbul akibat aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batubara tidak akan berubah signifikan jika standar ini diberlakukan.
Padahal, ujar Adila, polusi akibat aktivitas PLTU Batubara mampu berdampak buruk kepada kesehatan, dengan persebaran polusi yang luas. Untuk membuktikannya, berdasarkan permodelan yang dilakukan oleh lembaga ini, konsentrasi PM 2,5 di udara mampu tersebar hingga 100 kilometer. PM 2,5 atau partikel debu berukuran kurang dari 2,5 mikrometer ini adalah partikel yang menyebabkan kanker paru, stroke, dan penyakit pernafasan lainnya.
Saat ini, Jakarta dikelilingi sembilan PLTU yang masih aktif dan akan bertambah menjadi 14 pada 2024. Adila mengatakan, meskipun rancangan BME diberlakukan, PLTU di sekitar Jakarta tetap beraktivitas seperti biasa karena lolos dari baku mutu.
”Jika dilihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017-2026, Jakarta akan menjadi kota terbanyak yang dikelilingi PLTU dalam radius 100 kilometer. Jadi, PLTU yang berada di sekeliling Jakarta berkontribusi mengirimkan partikel berbahaya ini di Ibu Kota. Sementara emisi PLTU yang baru setara dengan 10 juta mobil,” tuturnya.
Adila juga menyebutkan, partikel ini dapat menyebabkan kematian dini pada bayi dan anak balita jika sering terhirup.
Adelia menyarankan pemerintah untuk memperketat lagi BME dengan perhitungan 100 mg/Nm3 (miligram per normal meter kubik) untuk SO2 (sulfur dioksida) dan NO2 (nitrogen dioksida), serta 10 mg/Nm3 untuk PM.
Menurut permodelan CALMET-CALPUFF yang kerap dilakukan oleh Agen Lingkungan Hidup Amerika Serikat (USEPA), standar ini mampu menurunkan emisi SO2 hingga 72 persen dan NO2 serta emisi PM sebesar 79 persen.
Dihubungi terpisah, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago menjelaskan, penentuan BME seketat itu sulit diterapkan di Indonesia saat ini, dengan melihat aspek sosial, ekonomi, dan teknologi. Dasrul berujar, dampak sosial akan timbul karena biaya produksi yang tinggi. Hal ini akan membuat tarif dasar listrik naik sehingga masyarakat terbebani.
”Standar seperti ini membutuhkan teknologi mutakhir dan biaya produksi yang tinggi. Teman-teman dari ESDM juga meminta saya mempertimbangkan BME yang diberikan,” ujarnya.
Dasrul mengatakan, pemerintah tidak bisa langsung menetapkan standar yang tinggi sehingga harus dilaksanakan secara bertahap. Pemerintah, kata Dasrul, akan mengkaji kebijakan ini lima tahun ke depan sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi ekonomi.
”Jadi bertahap, tidak bisa langsung. Lebih baik melangkah sedikit demi sedikit daripada diam di tempat,” katanya.
Dasrul menambahkan, kontribusi PLTU Batubara terhadap persebaran PM 2,5 di Jakarta tidak dominan. Menurut dia, polusi dari kendaraan bermotor adalah sumber dominan dari partikel berbahaya ini, yaitu mencapai 70 persen. (DD12)