BOGOR, KOMPAS — Pemberantasan penyalahgunaan narkotika di Indonesia kian berat seiring membanjirnya narkoba jenis-jenis baru. Apalagi, narkoba jenis lama pun tidak kalah merepotkan karena pengedar membuat wujud dan modus penyebarannya bervariasi. Aparat mendapat beban ganda.
Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mencatat, periode 2009-2016, terdapat 739 jenis narkotika baru atau new psychoactive substance (NPS). Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga akhir 2017 mendapati 68 jenis di antaranya beredar di Indonesia.
Sementara itu, delapan dari 68 jenis tadi—yang tak disebut namanya—belum digolongkan sebagai narkotika berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
”Untuk yang baru, setelah ada kejadian orang bereaksi, seperti pengguna narkoba, baru bisa ditelusuri memakai apa. Dari sisa bahannya,” ujar Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kamis (22/2), seusai meresmikan Pusat Laboratorium Narkotika di Lido, Bogor, Jawa Barat.
Penelusuran jenis baru tidak mudah karena peralatan laboratorium belum memadai. Sejumlah elemen pengujian di laboratorium masih manual dan tidak jarang perlu pembuktian ulang karena ada keraguan.
Hasil pengujian untuk mendapat kepastian jenis dan karakter (misalnya turunan bahan kimia tertentu) butuh 4-8 hari per sampel. Itulah yang mendorong inisiasi pembangunan laboratorium nasional berstandar internasional di Lido.
Dengan peralatan canggih dan serba terkomputerisasi, Budi mengklaim para analis bisa memastikan hasil uji per sampel dalam sehari. Deteksi NPS di Indonesia pun lebih cepat.
Alat canggih di Pusat Laboratorium Narkotika antara lain alat kromatografi gas-spektrometri massa (GCMS) pengidentifikasi jenis sampel narkotika.
Kecepatan mendeteksi NPS dibutuhkan mengingat jenis baru bisa lebih merusak daripada narkoba seperti sabu, ekstasi, dan ganja. ”Flakka lebih berbahaya daripada sabu dan ekstasi. Tembakau gorila lebih bahaya ketimbang ganja,” kata Budi.
Kian sulit
Di tengah gempuran NPS, Indonesia juga terus terancam narkoba jenis lama. Bahkan, penegak hukum makin direpotkan dengan model barang dan modus yang kian beragam. ”Sama-sama sulit (menangani kasus NPS dan narkoba lama) karena jaringan yang sudah biasa dengan ekstasi atau sabu, misalnya, itu modusnya berubah-ubah,” ujarnya.
Ia mencontohkan, sabu tak lagi hanya berwujud kristal, tetapi juga bisa cair, seperti diproduksi di diskotek MG, Jakarta Barat. Ekstasi bahkan bisa dibuat lembaran kertas, tak hanya tablet.
Kerepotan meningkat karena tempat produksi bertambah. China semula dikenal sebagai sumber utama sabu bagi Indonesia. Kini, bandar juga memperoleh sabu dari Myanmar.
”Dulu Myanmar hanya mengirim bahan, tidak berupa narkotika. Sekarang, jaringan cenderung ingin mengelola sendiri sehingga bersaing,” kata Budi.
Kemarin, petugas Bea dan Cukai Bandara Ahmad Yani, Semarang, menggagalkan penyelundupan sabu 538 gram yang dibawa EW (41) asal Pematang Siantar, Sumatera Utara. Sabu disembunyikan di organ vital dan ditutupi pembalut wanita.
Di Bali, Bea dan Cukai Ngurah Rai menyerahkan dua WNA pembawa narkotika, ASH (48, Inggris) dan SKAR (55, Jerman), ke Polda Bali. ASH ditangkap saat mendarat dari Bangkok. (JOG/DIT/COK)