Berbagi Kehidupan di Kelab Malam
Membaca atau mendengar kata “kelab malam”, yang pertama terpikir adalah tempat hiburan dengan penerangan ruang yang temaram. Mereka yang suka menghabiskan waktu di kelab malam umumnya para pria berkantong tebal. Bagi sebagian orang, kelab malam sering dianggap sebagai tempat orang bersantai, bebas mengonsumsi minuman keras sambil menonton pertunjukan di panggung.
Sebagian orang juga menilai kelab malam identik dengan tempat pria “hidung belang” beraksi. Bahkan sebagian orang pun mencurigai kelab malam adalah tempat terselubung untuk prostitusi. Meskipun tak menyebut diri sebagai kelab malam, tetapi Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis di Jakarta sempat menjadi perbincangan sebagian masyarakat.
Alhasil Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kemudian mengambil kebijakan “belum dapat memproses tanda daftar usaha pariwisata” yang diajukan perusahaan pengelola Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis. Izin usaha itu berakhir tanggal 29 Agustus 2017, dan pengelolanya mengajukan perpanjangan izin pada September 2017.
Dengan tak memproses permohonan itu, menurut Gubernur DKI Anies Baswedan, pengelola Alexis tak memiliki izin sehingga kegiatannya tidak lagi legal (Kompas, 31 Oktober 2017). Alexis hanya satu dari 2.525 tempat hiburan di Jakarta (data September 2017) yang terdiri dari bioskop, diskotek, karaoke, spa, mandi uap, bar, biliar, griya pijat dan live music (Kompas.ID, 9 November 2017).
Orang boleh beranggapan positif maupun negatif terhadap tempat hiburan malam, namun pajak penerimaan Pemprov DKI dari hotel, restoran dan tempat hiburan itu relatif besar. Sekadar contoh, tahun 2014 Pemprov DKI mengantongi sekitar Rp 3,7 triliun. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 4,6 triliun pada 2016.
Bagi Jakarta yang menyebut diri sebagai kota metropolitan, keberadaan tempat hiburan malam sudah mengundang pro dan kontra sejak awal tahun 1970-an. Simak kutipan pada berita pada harian Kompas yang terbit tanggal 23 Februari 1974 atau tepat 44 tahun lalu ini!
“Pemerintah DKI Jakarta belum berencana menutup kelab malam dan mandi uap di wilayahnya. Sebanyak 30 tempat mandi uap dan 19 kelab malam masih menjalankan usahanya dengan lancar. Keberadaan kelab malam dan mandi uap masih diperlukan di Jakarta. Namun bila penutupan diharuskan oleh pemerintah pusat, pelaksanaannya akan dirundingkan dengan para pengusaha di bidang itu.”
Sikap pro dan kontra terhadap kelab malam seperti tergambar dalam berita tersebut, kemudian memunculkan kompromi. Misalnya, salah satu pertunjukan di Miraca Sky Club Jakarta tahun 1970 dengan judul “Europe By Night”. Kejaksaan Agung yang semula melarang pertunjukan itu, kemudian “mengizinkan” dengan catatan pakaian yang dikenakan para pemainnya harus diubah sedemikian rupa agar sesuai dengan etika susila bangsa Indonesia (Kompas, 25 Februari 1970).
Larut malam
Pada awal tahun 1970-an kelab malam biasanya baru ramai pengunjung setelah lewat pukul 21.00. Semakin larut malam, semakin banyak pengunjung yang datang. Salah satunya di Club 69 di jalan Cikini Jakarta. Ini antara lain tampak dari semakin banyaknya mobil yang parkir di sekitar lokasi kelab malam tersebut.
Di Club 69, perempuan tanpa “pengawal” dilarang masuk. Kebijakan ini diambil, agar kelab malam tidak menjadi tempat berkencan. Ruangan kelab malam ini seluas sekitar 15x5 meter, dengan 15 meja untuk sekitar 50 pengunjung (Kompas, 18 April 1970). Orang asing yang datang ke kelab tanpa pasangan, tak perlu khawatir karena di sini ada hostes yang bisa menemani dengan tarif yang dihitung per jam.
Untuk mereka yang ingin bersantai sekaligus “mengadu nasib”, sebagian kelab malam juga menyediakan mesin jackpot. Sementara untuk pengunjung yang datang bersama pasangannya, ada musik hidup yang mengiringi mereka di lantai dansa dengan lagu-lagu berirama soul.
Derap kehidupan di kelab malam berdetak kuat sampai sekitar pukul 02.30 dini hari, bahkan hingga sekitar pukul 06.00. Masing-masing kelab malam umumnya memiliki “keunggulan” sendiri. Bila Club 69 punya band 69Four untuk mengiringi pengunjung berdansa, maka La Casa Cosyndo atau LCC menyediakan 27 macam minuman dan beragam makanan.
Pengunjung bisa menikmati makanan dan minuman sambil ditemani hostes. Tak kurang dari 60 perempuan bekerja di LCC sebagai hostes. Sementara di Miraca yang banyak dikunjungi orang asing, ada 23 hostes dengan rentang usia 17 sampai 30 tahun. Jumlah tamu kelab malam pun bervariasi setiap harinya, mulai puluhan hingga 350 orang.
Awal 1971 pemilik dan pengelola kelab malam membentuk organisasi yang dinamakan INCA, singkatan dari Indonesia Night Club Association. Tugas INCA antara lain mengatur kode etik antar-kelab malam dan mengadakan pembinaan untuk karyawan dan hostes (Kompas, 15 Januari 1971).
Hostes
Setiap orang bisa berpandangan apa pun terhadap mereka yang bekerja sebagai hostes. Faktanya, Kompas, 26 September 1970 mencatat, minat untuk menjadi hostes relatif tinggi. “Saya terpaksa sering menolak karena banyak lamaran (untuk menjadi hostes). Kami membatasi hanya sampai 35 hostes saja,” kata Surjodjatmiko, direktur kelab malam Cleopatra.
Sampai akhir September 1970 di Jakarta ada 9 kelab malam, dengan jumlah hostes pada masing-masing kelab malam sekitar 30-90 orang. Tak sampai tiga bulan kemudian, jumlah kelab malam bertambah menjadi 11 (Kompas, 11 Desember 1970).
Kelab malam baru itu adalah Indonesia Golden Gate di kawasan Kemayoran dan Wichita di Jalan Sabang yang mempekerjakan 20 hostes. Pada akhir 1970 muncul lagi kelab malam baru, Nite Club Marcopolo (Kompas, 30 Desember 1970).
Awal 1971 bertambah lagi kelab malam di Jakarta, Galaxy di Jalan Veteran. Gubernur DKI kala itu, Ali Sadikin sempat mendapat julukan: gubernur kelab malam. “Saya hanya mengizinkan kelab malam bertaraf internasional, bukan kelab malam picisan, supaya pengunjungnya terbatas pada golongan yang mampu dan membutuhkannya. Jika saya izinkan kelab malam picisan, ini berarti saya menjerumuskan moral masyarakat,” kata Bang Ali (Kompas, 4 Januari 1971).
Kompas, 19 Januari 1971 mencatat, di Jakarta terdapat 21 kelab malam yang mempekerjakan tak kurang dari 600 hostes. Belum sampai dua bulan kemudian, jumlah hostes naik menjadi lebih dari 680 orang (Kompas, 4 Maret 1971). Selain itu, kelab malam juga mempekerjakan para koki, bartender, pemandu wisata, petugas kebersihan dan keamanan. Bang Ali menyebut sekitar 5.000 orang dan keluarganya mendapat penghasilan dari kelab malam (Kompas, 3 Februari 1971).
Hostes di kelab umumnya bekerja dengan sistem bagi hasil, sesuai kesepakatan dengan pengelola kelab malam, ada yang menerapkan sistem 50-50 persen dan ada pula yang 60-40 persen. Keberadaan hostes juga menumbuhkan tempat-tempat kursus dansa. Ini karena salah satu persyaratan menjadi hostes adalah bisa berdansa. Tahun 1970 di Jakarta ada 12 tempat kursus dansa (Kompas, 26 September 1970).
Artis asing
Salah satu daya tarik kelab malam adalah pertunjukan panggungnya. Mereka biasanya manggung setiap malam selama seminggu, bahkan bisa lebih lama. Di Miraca Sky Club misalnya, ditampilkan pula band Lady Birds yang beranggotakan dara-dara dari Swedia, Perancis dan Jerman. Mereka tampil dengan pakaian minim. Ada pula Princess Sheba Kim dari Korea dengan tarian erotisnya (Kompas, 21 Februari 1970).
Sekadar contoh, untuk mendatangkan enam penari dari Australia diperlukan dana lebih dari 2.000 dollar AS per bulan. Sedangkan untuk band dari luar negeri sekitar 1.200 dollar per bulan. Biaya itu belum termasuk menyediakan tempat tinggal, konsumsi dan transportasi mereka. Semua itu menjadi tanggungan pengelola kelab malam (Kompas, 15 Oktober 1970).
Namun tak semua pemain asing yang tampil di kelab malam menampilkan pertunjukan erotis. Miraca Sky Club juga memberikan panggungnya kepada lima penari tradisional Korea, lengkap dengan pakaian khas dan lagu-lagu Korea. Mereka muncul dengan judul “The Sugar/Bell’s Show” (Kompas, 4 April 1970).
Ada pula penari akrobatik asal Perancis, pasangan Regine dan Burt yang tampil di kelab malam Tropicana Jakarta, juga di kelab malam kota Surabaya dan Medan (Kompas, 16 Januari 1971).
Di sisi lain, keberadaan pemain asing membuat para penari lokal berbenah. Mereka pun unjuk kemampuan. Beberapa grup penari lokal kemudian turut mengisi pertunjukan panggung kelab malam. Beberapa di antaranya adalah Larina Starlets, The Venus Girls, The Flowers dan The Aphrodites.
Untuk satu kali pertunjukan grup penari dalam negeri itu mendapat honor sekitar Rp 40.000 atau 100 dollar. “Kita bisa membawakan tarian yang cukup seksi, tetapi tidak dengan pakaian minim. Tarian yang baik itu bila musik pengiring dan gerak penarinya harmonis, pendengaran dan penglihatan harus sama,” kata Nanny Lubis, pemimpin sekolah dansa modern Namarina (Kompas, 15 Oktober 1970).
Mendongkrak
Keberadaan kelab malam juga berpengaruh pada popularitas para penyanyi dalam negeri. Beberapa penyanyi baru justru menjadikan penampilan mereka di kelab malam untuk mendongkrak popularitas, salah satunya adalah Ivonne Susan (Kompas, 11 Oktober 1971).
Di kelab malam Tropicana misalnya, muncul antara lain band The Disc, penyanyi Emilia Contessa, Poppy Tiendas, dan Trio Visca. “Kami tidak hanya mengambil keuntungan komersialnya, tetapi juga berkewajiban meningkatkan karier para artis Indonesia. Emilia Contessa misalnya, dikontrak dua bulan. Dalam peraturan tak diperkenankan mengambil pekerjaan di luar, tetapi karena kami menyadari kariernya harus berkembang, kesempatan itu diberikan asal tak mengganggu jadwal di sini,” kata Abulhajat dari Tropicana.
Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng dan Iskak yang tergabung dalam grup lawak Kwartet Jaya bahkan sampai bersiap menuntut orang-orang yang merekam penampilan Kwartet Jaya antara lain di kelab malam Latin Quarter Jakarta dan Diamond Surabaya. Sebab, lawakan Kwartet Jaya itu diperjualbelikan dalam bentuk kaset sampai ke Samarinda, Balikpapan dan Manado.
Selain perekaman dan penjualan kaset itu tak seizin Kwartet Jaya, menurut Bing Slamet, rekaman itu juga tak patut disiarkan untuk umum karena isinya hanya cocok untuk konsumsi pengunjung kelab malam (Kompas, 2 Januari 1974).
Seiring berjalannya waktu semakin banyak artis dalam negeri yang mengisi panggung kelab malam. Tak hanya tarian, tetapi lagu-lagu yang didendangkan pun lagu lokal. Hal ini diperkuat dengan adanya ketentuan dari Kepala Direktorat Kesenian Departemen P dan K yang antara lain menyebutkan agar pengisi acara dari dalam negeri diutamakan. Ketentuan ini berlaku mulai 5 Januari 1972 (Kompas, 26 Januari 1972).
Dirjen Pariwisata menambahkan, umumnya wisatawan asing yang datang ke Indonesia ingin menikmati hal-hal yang tidak mereka dapatkan di negaranya. Oleh karena itu, sebaiknya para pelaku pariwisata, termasuk kelab malam lebih menonjolkan hal-hal yang berkaitan dengan budaya Indonesia (Kompas, 31 Agustus 1972).
Sampai sekitar 1982 artis lokal mengisi panggung kelab malam, seperti Wiwik Abidin dan Fransiska di Seaside Ancol, Eveline Gaspersz di LCC, Euis Darliah di Tropicana, dan Ike Sato di Casanova dan Marcopolo. Selain menyanyi di kelab malam, sesekali mereka pun masuk dapur rekaman (Kompas, 14 Desember 1980 dan 6 Juni 1982).
Lomba dansa
Kelab malam juga menjadi tempat diadakannya berbagai acara seperti peragaan busana, pemilihan ratu-ratuan, dan olah raga. Kompas, 5 Desember 1970 antara lain menulis tentang peragaan busana pantai dengan judul “Erotic Fashion Night”. Peragaan busana pantai yang diadakan Andi’s Beauty, pimpinan Andi Nurhajati ini berlangsung di Miraca dan Metropolitan Night Club.
Pernah pula diadakan lomba dansa bertajuk “Marathon Dance Competition” di kelab malam Indonesia Golden Gate. Sebanyak 38 pasangan peserta dari Surabaya, Medan dan Jakarta berdansa selama 15 jam, dan yang berhasil melewati kompetisi awal ini ada 27 pasangan (Kompas, 16 Februari 1971).
Mereka berdansa diiringi band Eka Sapta, Golden Gate Orchestra, juga lantunan suara dari Patti Bersaudara, Tanty Josepha, Henny Purwonegoro dan Koes Hendratmo. Para peserta kompetisi berdansa diiringi lagu berirama waltz, cha-cha-cha, jive dan slow-foxtrot.
Sementara kelab malam Galaxy menampilkan antara lain “Ngibing Semalam” bersama Benjamin S, Ida Royani, Rahmat Kartolo, dan Rita Zahara diiringi orkes gambang kromong. Tampil pula di panggung kelab malam ini Lenong Modern Naga Mustika (Kompas, 10 Mei 1971). Sedangkan perebutan gelar tinju Pro nasional diselenggarakan di The Palace, jalan Gajah Mada (Kompas, 5 April 1988).
Di sisi lain, ada saja kelab malam yang “nakal” demi mendapatkan keuntungan. Kompas, 16 November 1972 mencatat tiga tempat hiburan disegel Pemda DKI karena menyalahi ketentuan, antara lain menyediakan ruang tertutup individual untuk pengunjung.
Meredup
Usaha kelab malam meredup pertengahan 1970-an karena bangkrut. Kalau pada 1971 di Jakarta ada 31, maka tahun 1974 tinggal 19 kelab malam (Kompas, 10 Januari 1974). Akhir 1975 jumlahnya berkurang lagi menjadi 15 (Kompas, 25 November 1975), dan tahun 1978 tinggal 11 kelab malam (Kompas, 15 Desember 1978).
Selain itu, Dewan Stabilisasi Ekonomi mengeluarkan keputusan, secara berangsur-angsur menutup tempat mandi uap dan kelab malam. Keputusan ini antara lain berdasarkan survei bahwa wisatawan asing datang ke Indonesia karena keramahan penduduknya (82,3 persen), disusul dengan daya tarik alamnya (Kompas, 16 Januari 1974).
Di sisi lain, kelab malam juga dicurigai menjadi tempat peredaran morfin dengan konsumen antara lain para hostes. Diperkirakan sekitar 10 persen hostes adalah pemakai morfin (Kompas, 17 Mei 1975). Meskipun para hostes sudah diberi pengetahuan tentang berbagai jenis narkotika dan bahayanya, termasuk morfin, namun jumlah pemakainya justru meningkat menjadi sekitar 40 persen (Kompas, 23 Juli 1975).
Tahun 1978 Gubernur DKI Tjokropranolo menutup tiga kelab malam karena tak membayar pajak (Kompas, 15 Desember 1978). Pengelolanya beralasan tengah mengalami masa sulit karena pengunjung terus berkurang.
Pada 1979 Pemda DKI membatasi lokasi kelab malam hanya di sekitar Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Pintu Besar Selatan dan Utara, Jalan Kali Besar Timur dan Barat, Pancoran, Jalan Pinangsia, dan Jalan Mangga Besar (Kompas, 18 Desember 1979).
Sekitar awal tahun 1990-an gemerlap kelab malam tak lagi menarik banyak orang. Mereka yang haus hiburan malam umumnya mengunjungi diskotek, pub, dan karaoke. Di tempat-tempat itu mereka mengobrol, kadang berdansa, atau sekadar menikmati musik. Diskotek mendapat catatan khusus, karena dicurigai dijadikan tempat peredaran ecstasy (Kompas, 14 Juli 1996).
Ketika krisis moneter melanda pada 1998, tempat hiburan malam pun terkena dampaknya. Setidaknya 35 dari 139 diskotek di Jakarta tutup karena kekurangan pengunjung. Jumlah pengunjung tempat hiburan ini menurun hingga 75 persen. Efek lanjutannya, tak kurang dari 1.500 orang kehilangan pekerjaan (Kompas, 28 Februari 1998).
Tahun 2000-an kelab malam kembali dengan “wajah baru”. Dragonfly misalnya, mengandalkan kepiawaian disc jockey atau DJ dalam menyajikan musik yang membuat pengunjung betah (Kompas, 21 Juni 2009). Alunan musik suguhan masing-masing DJ menjadi daya tarik bagi pengunjung kelab malam, entah sampai kapan.
Tempat hiburan malam akan terus silih berganti bentuknya. Teringat kita pada Bang Ali, sang gubernur legendaris tentang Jakarta dengan kehidupan 24 jamnya. “Saya inginkan Jakarta bergerak 24 jam lamanya. Kehidupan malam itu mulai pukul 21.00-22.00... nanti menjelang subuh baru mulai loyo,” katanya seperti dikutip Kompas, 4 Januari 1971 atau 47 tahun yang lalu, dan terbukti hingga kini.