JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan industri digital yang memungkinkan sedikit orang membuat usaha rintisan baru dipandang perlu mendapatkan berbagai dukungan. Tidak terkecuali usaha rintisan teknologi finansial yang memerlukan ruang kerja bersama (co-working space) untuk mengembangkan usahanya.
Andy Zain, Direktur Eksekutif UnionSpace (pengelola co-working space berskala regional), mengatakan, setiap ruang kerja bersama yang baru dibangun harus memiliki ekosistem bisnis yang dapat menopang perusahaan yang bergabung. Ruang kerja bersama tidak boleh berfungsi sebatas penyewaan tempat kerja.
”Bagaimana nanti agar perusahaan yang sudah setengah mati masuk ke co-working space bisa kembali hidup,” kata Andy saat ditemui di Jakarta, Jumat (23/2).
Hari ini, UnionSpace menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan asal Australia Stone and Chalk, penyedia jasa ruang kerja bersama khusus bidang teknologi finansial.
Kerja sama yang disepakati UnionSpace dan Stone and Chalk adalah penyediaan ruang kerja bersama khusus bagi industri teknologi finansial di Indonesia.
Stone and Chalk dinilai perusahaan dapat memberikan edukasi sekaligus pengalaman bagi para industri teknologi finansial (tekfin) di Indonesia.
”Kolaborasi yang disepakati dari hal ini adalah kedua belah pihak dapat saling mengakses pasar tekfin di antara keduanya. Selain itu, kedua belah pihak dapat berbagi ide untuk pembelajaran bersama,” ujar Menteri Perdagangan dan Industri Negara Bagian New South Wales Australia Niall Mark Blair yang juga hadir dalam penandatanganan nota kesepahaman tersebut.
Laporan Asosiasi Fintech (Aftech) per Desember 2017 menyebutkan, 235 perusahaan tekfin beroperasi di Indonesia.
Perusahaan tekfin pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi bertambah sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan POJK No 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Per 15 Januari 2018, perusahaan yang mendapatkan izin dari OJK sebanyak 30 perusahaan.
Pinjaman per Desember 2016 mencapai Rp 284,15 miliar yang kemudian meningkat menjadi Rp 2,56 triliun per Desember 2017. Jumlah peminjam dana dari luar Jawa naik dari 1.275 orang per Desember 2016 menjadi 22.316 orang per Desember 2017. Porsi peminjam dari Jawa sudah 237.319 pada akhir 2017 (Kompas, 18/1).
Executive Director of the Indonesian Fintech Association Ajisatria Suleiman menilai keberadaan ruang kerja bersama khusus tekfin akan membantu para tekfin mengembangkan usahanya. Pertukaran ide di antara banyaknya tekfin di satu ruangan yang sama akan membantu.
”Untuk startup fintech yang baru mulai pasti ruang kerja bersama dibutuhkan. Kalau tekfin sudah besar tentu mereka akan memerlukan tempat yang lebih besar,” ujar Aji.
Menurut Aji, usaha rintisan di sektor tekfin berbeda dengan usaha rintisan di bidang lain, seperti transportasi atau pembayaran yang cenderung konsolidasi atau pemusatan terhadap satu perusahaan.
”Kalau tekfin kan bermacam-macam jenis pinjamannya dan sekmen pasarnya juga berbeda-beda, jadi cenderung akan banyak jumlah tekfinnya, tidak ada satu perusahaan besar yang mendominasi,” kata Aji.
Menanggapi perkembangan tekfin di industri keuangan, sebelumnya ekonom dari Bank UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, menyampaikan, faktor risiko konsumen masih menjadi perhatian masyarakat. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat menerbitkan regulasi yang lebih rigid terkait industri tersebut.
”Kami perbankan masih tetap optimis, karena perkembangan tekfin itu masih baru, jadi masyarakat cenderung masih agak ragu-ragu karena potensi risiko yang masih dianggap lebih besar,” kata Enrico. (DD14)