Menanti Kelanjutan Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran
Pekan kedua November 2017, 10 negara anggota ASEAN menandatangani Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran. Konsensus ini keluar lebih dari sepuluh tahun setelah Cebu Declaration on Promotion and Protection The Rights of Migrant Worker pada Januari 2007.
Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran tentunya bukan hasil final. Selain sifat konsensus yang tidak memiliki kekuatan hukum kuat dan mengikat, masih banyak pekerjaan rumah yang menyangkut perbaikan perlindungan penempatan.
Program Manager Advokasi Hak Asasi Manusia ASEAN di Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra yang dihubungi Kamis (22/2) menceritakan, perwakilan masyarakat sipil dari kesepuluh negara ASEAN mengapresiasi hasil tersebut walaupun mereka sejatinya lebih berharap implementasi Cebu Declaration on Promotion and Protection The Rights of Migrant Worker berupa konvensi.
”Lebih memiliki kekuatan hukum yang kuat,” katanya.
Menurut laporan Bank Dunia Migrating to Opportunity:Overcoming Barriers to Labor Mobility in Southeast Asia (Oktober 2017), migrasi intra-regional lingkup negara ASEAN meningkat signifikan selama kurun 1995 dan 2015. Malaysia, Singapura, dan Thailand menjadi hub migrasi intra-regional dengan total migran mencapai sekitar 6,5 juta orang. Sebanyak 96 persen di antaranya merupakan pekerja migran.
Pada tahun 2013, Organisasi Buruh Internasional (ILO) bahkan memperkirakan ada 10.206.000 migran internasional bekerja dan tinggal di ASEAN. Dari jumlah itu, sekitar dua pertiga di antaranya adalah warga negara ASEAN.
Remitansi yang dikirim dalam lingkup negara ASEAN rata-rata mencapai sekitar 62 miliar dollar AS pada tahun 2015. Bank Dunia menyebutkan, remitansi berkontribusi terhadap 10 persen produk domestik bruto (PDB) Filipina, 7 persen terhadap PDB Vietnam, 5 persen terhadap PDB Myanmar, dan 3 persen terhadap PDB Kamboja.
”Masing-masing negara anggota ASEAN memiliki regulasi nasional terkait pekerja migran. Hanya saja, pertanyaan kritisnya adalah sejauh mana substansi dalam regulasi itu yang mengacu ke acuan internasional perlindungan hak asasi manusia. Beberapa negara anggota bahkan masih menyebut pekerja luar negeri (foreign worker) bukan pekerja migran,” ujar Daniel.
Dia menyebutkan, baru dua negara anggota ASEAN yang sudah meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, yakni Indonesia dan Filipina.
Di luar Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, masih banyak acuan perlindungan standar internasional. Sebagai contoh, pada September 2016, ILO mengadopsi ILO Principles and Guidance for Fair Recruitment atau Prinsip dan Panduan untuk Rekruitmen yang Fair bagi buruh migran sebagai hasil dari ILO Tripartite Meeting of Experts on Migrant Workers. Fair recruitment mencakup empat prinsip, yaitu biaya perekrutan gratis, tidak ada toleransi untuk kontrak tak langsung, pendekatan hak asasi manusia dalam tata kelola migrasi, dan mempromosikan etika perekrutan.
Selain itu, pada waktu yang sama, PBB juga mengadopsi New York Declaration on Migrants and Refugees sebagai hasil UN Summit on Migrants and Refugees. Deklarasi New York ini menegaskan pentingnya komitmen global dalam menjamin rasa aman, martabat, dan hak asasi buruh migran yang rentan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi dan diskriminasi.
”Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran yang sudah ada sekarang harus dijalankan negara anggota ASEAN. Kami berharap, pemerintah negara anggota tidak berhenti di situ. Mereka setidaknya perlu menyusun rencana kerja nasional ataupun regional yang terukur dan partisipatif,” kata Daniel.
Poin rekomendasi
Dalam acara Regional CSOs Consultation Meeting on the Implementation of ASEAN Consensus yang berlangsung Rabu (21/2) di Jakarta, sejumlah perwakilan masyarakat sipil ASEAN menyusun poin-poin rekomendasi kelanjutan Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran.
Poin pertama menyangkut persoalan administrasi. Pendekatan kriminal yang selama ini dilakukan oleh negara terhadap pekerja migran tidak berdokumen harus dihentikan. Sebagai gantinya, kebijakan yang membantu pekerja migran itu memperoleh dokumennya kembali.
Poin kedua berkaitan dengan akses untuk keadilan. Negara anggota ASEAN didorong mempunyai Undang-Undang Bantuan Hukum. Ini bertujuan mengakomodasi akses bantuan hukum kepada seluruh pekerja.
Kemudian, poin mengenai penyesuaian regulasi perlindungan pekerja migran nasional ke acuan internasional. Pembaruan nota kesepahaman perlindungan antarnegara penerima dan pengirim perlu dilakukan.
Poin berikutnya tidak kalah penting adalah akses kerja dan tempat tinggal layak. Ini bisa dituangkan dalam standar kontrak kerja.
”Masalah krusial sekarang adalah upah murah bagi pekerja migran, terutama kepada sektor informal. Rezim upah murah ini masih kami temui,” kata Daniel.
Rhodora Abano dari Center for Migrant Advocacy Filipina berpendapat, tarik-menarik kepentingan antarnegara cukup kuat. Ini menghambat realisasi aksi nyata implementasi Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran.
Stephanie Chok dari Humanitarian Organisation for Migration Economics Singapura mengatakan, langkah konkret sekarang adalah menyusun sistem hukum penempatan pekerja migran yang tidak diskriminatif. Negaranya tergolong sebagai negara yang memberikan upah tinggi kepada pekerja migran. Pemerintah negaranya diharapkan mengeluarkan sikap.
Adapun Sumitha Shaanthinni Kishna, Co-Coordinator Migration Working Group Malaysia, mengungkapkan, porsi pekerja migran di negaranya cukup besar. Hanya saja, dia mengakui, isu perlindungan hak-hak pekerja migran belum terlalu menjadi perhatian pemerintah di sana.
”Masyarakat sipil di negara kami memonitor langkah-langkah pemerintah, terutama dalam penegakan hak asasi manusia, termasuk kepada pekerja migran. Kami berharap Konsensus ASEAN menjadi dasar untuk membangun sistem rekrut pekerja migran yang transparan dan aman,” kata Sumitha.
Upaya Indonesia
Awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan menjalin kerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) terkait pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Nota kerja sama ditandatangani Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Maruli A Hasoloan dan Kepala Perwakilan IOM Indonesia Mark Getchell.
IOM adalah organisasi internasional bidang pekerja migran yang menginduk pada PBB. Di Indonesia, organisasi ini fokus pada penanganan isu tindak pidana perdagangan orang di 6 kabupaten di Nusa Tenggara Timur, yakni Belu, Sikka, Manggarai, Ende, Kupang, dan Timor Tengah Utara. Sejak 2005, IOM Indonesia telah membantu lebih dari 8.900 korban TPPO dengan berbagai macam bentuk, misalnya pemberdayaan ekonomi.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menegaskan, Indonesia menggunakan pendekatan desa migran produktif (desmigratif). Pendekatan ini berupaya membangun sistem perlindungan dimulai dari desa asal calon pekerja migran.
Pada tahap awal kerja sama Pemerintah Indonesia dengan IOM, kedua belah akan menyasar pada desmigratif. Desmigratif ini akan dikembangkan lebih luas dengan program yang sudah digagas IOM Indonesia.