Warga di Pedalaman Butuh Bantuan Alkitab
JAKARTA, KOMPAS — Warga di daerah terpencil dan di pedalaman, khususnya yang beragama Kristen, membutuhkan bantuan Alkitab. Dari pemantauan selama ini, sebagian besar warga Kristiani di daerah itu belum memiliki kitab suci.
Di sisi lain, kemampuan Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) untuk membantu warga itu semakin terbatas sehingga memerlukan dukungan dari umat yang lebih mampu.
Sesuai data Sensus Penduduk tahun 2010, yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristen Protestan dan Katolik mencapai 23,43 juta jiwa atau sekitar 9,87 persen. Sebagian warga Kristiani itu tinggal di kawasan Timur Indonesia, khususnya di daerah terpencil dan di pedalaman. "Jika ada lebih banyak lagi orang yang mendukung penyebaran Alkitab secara gratis ke daerah yang membutuhkan, akan banyak lagi umat yang mendapatkan Alkitab itu,"ungkap Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan LAI Pendeta Ishak Pamumbu Lambe saat pisah sambut organ Yayasan LAI di Jakarta, Jumat (23/2) sore.
Ishak Lambe terpilih kembali sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan LAI, bersama dengan Jasin Tedjasukmana sebagai Ketua Pengawas dan Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe. Mereka sebelumnya memimpin untuk kepengurusan periode 2013-2018, dan kini dilanjutkan untuk periode 2018-2023. Kepengurusan Yayasan LAI terdiri atas perwakilan dari gereja-gereja Kristen Protestan maupun Katolik.
Yayasan LAI, lanjut Ishak Lambe, saat ini memiliki sekitar 4.000 orang yang secara rutin mendukung program bantuan Alkitab secara gratis kepada umat yang membutuhkan. Pengurus berharap jumlah warga pendukung itu bisa ditingkatkan hingga 50.000 orang, sehingga bisa lebih banyak lagi umat yang terlayani. Selain itu, ada pula pengembangan Alkitab melalui platform digital yang bisa dengan mudah diakses oleh umat di manapun berada.
Benediktus Haro dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik Kementerian Agama memuji program Yayasan LAI yang hingga kini masih membagikan Alkitab secara gratis kepada warga yang membutuhkan. Ia pun berharap semakin banyak lagi warga yang tergerak untuk mendukung program pemberian Alkitab secara gratis kepada umat yang memerlukannya.
Yayasan LAI selama ini tak hanya mencetak Alkitab dalam Bahasa Indonesia. Menurut Soy Martua Pardede, Ketua Pengurus Yayasan LAI periode 2013-2018, yayasan itu hingga Desember 2017 bisa menerjemahkan Alkitab dalam 33 bahasa, terutama bahasa daerah dan menyebarkannya ke seluruh wilayah Indonesia. Namun, kemampuan yayasan untuk terus membantu warga kini menurun, sebab selain jumlah umat yang mampu secara ekonomi mendukung program itu belumlah banyak, juga hasil penjualan Alkitab kini semakin menurun.
Soy Pardede mengakui, penjualan cetakan Alkitab juga terpengaruh dengan perkembangan teknologi digital yang kini semakin masif. Tak sedikit umat Kristiani, khususnya di perkotaan, yang kini mengakses kitab suci dari perangkat gawainya, dan tak membeli cetakan Alkitab lagi. Penjualan cetakan Alkitab yang diproduksi Yayasan LAI tahun 2017 menembus angka kurang dari 1 juta eksemplar. Padahal, penjualan pada tahun-tahun sebelumnya masih mencapai 1 juta eksemplar per tahun.
"Puncak penjualan Alkitab selama ini terjadi tahun 2013, yakni mencapai 1,3 juta eksemplar,"ungkap Soy Pardede. Setelah itu, penjualan cetakan kitab suci pun terus menurun.
Selain mencetak dan mendistribusikan Alkitab, Yayasan LAI kini juga menjadi obyek wisata bagi pelajar dari berbagai daerah. Setiap bulan tak kurang dari 8.700 orang datang ke Yayasan LAI, termasuk ke percetakannya untuk mengetahui proses penerjemahan dan pencetakan kitab suci. Soy Pardede mendorong pengurus baru Yayasan LAI mengembangkan berbagai upaya lagi, sehingga pencetakan kitab suci tak sampai mati.
Sejarah LAI
Mengutip www.alkitab.or.id, sejarah pencetakan kitab suci bagi umat Kristiani di Indonesia bermula pada 4 Juni 1814 dengan didirikannya Lembaga Alkitab di Batavia (kini Jakarta) di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Lembaga Alkitab ini menjadi cabang pembantu Lembaga Alkitab Inggris, dan dinamakan Lembaga Alkitab Jawa (Java Auxiliary).
Pada 11 November 1940, keagenan Lembaga Alkitab tersebut dialihkan ke tangan orang Indonesia, yaitu Mr Giok Pwee Khouw yang berkedudukan di Bandung. Tahun 1945, agen Alkitab itu diserahkan kepada Lembaga Alkitab Belanda. Mr Giok Pwee Khouw dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan. Tahun 1950, agen Alkitab dipindahkan ke Jakarta. Pada tahun itu pula sejumlah tokoh Kristiani memprakarsai berdirinya LAI.
Lembaga Alkitab yang diprakarsai sendiri warganegara Indonesia baru terbentuk pada 9 Februari 1954, dengan akta Notaris Elisa Pondaag. Badan Pengurus Yayasan LAI yang pertama diketuai oleh Todung Sutan Gunung Mulia.
Tahun 1952, LAI diterima sebagai anggota madya (associate member) dari Persekutuan Lembaga Alkitab Sedunia pada persidangannya di Ootacamund, India; dan diterima menjadi anggota penuh (full member) pada persidangan Persekutuan Lembaga Alkitab Sedunia di Eastbourne, Inggris pada April 1954.